Di Labuhan Deli, tak jauh dari jantung kota Medan, terdapat banyak cerita yang mengharukan tentang anak-anak yang terpaksa mengubur impian mereka karena himpitan ekonomi.
Salah satunya, kisah dari Desa Manunggal, Kecamatan Labuhan Deli. Di sana, beberapa anak berjuang dalam diam, terpaksa meninggalkan bangku sekolah yang seharusnya jembatan bagi mereka menuju cakrawala pengetahuan yang tak terbatas. Mereka adalah saksi hidup akan ketidaksetaraan pendidikan yang masih mewarnai masyarakat kita.
Cita-Cita yang Terkubur
Vikcy Fadhilah, seorang bocah berusia 10 tahun, bercita-cita menjadi guru. Namun, pahitnya kenyataan ekonomi membuat pintu pendidikan terasa tertutup rapat untuknya. Dalam suara yang penuh harap, Vicky mengungkapkan, "Cita-citaku menjadi guru, tapi mama dan bapakku tak punya uang sehingga tersendat bayar uang sekolah."
Cerita pilu juga dialami oleh adiknya, Sultan Ramadhan, yang baru berusia 9 tahun. Impiannya untuk mengejar pendidikan terhenti oleh persoanal finansial keluarga yang sedang sulit-sulitnya. Ayahnya kini tidak punya pekerjaan sedangkan ibunya terpaksa berangkat untuk merantau ke Arab demi mengadu nasib. Vicky dan Sultan harus merasakan pahitnya mengubur cita-cita di masa muda.
Kesedihan juga dirasakan oleh Clara Natalia Hondro, seorang siswi berusia 8 tahun. Ia terpaksa harus merelakan pendidikan yang seharusnya menjadi haknya. Gara-gara tak sanggup melunasi tunggakan biaya pendidikan yang mencapai Rp450 ribu rupiah. Clara pun akhirnya berhenti bersekolah.
Wanni Hutabarat, ibu dari Clara, terperangah oleh jumlah tunggakan yang begitu besar. Suaminya hanya seorang tukang pikul barang di sebuah gudang, tetapi penghasilannya tidak seberapa, sehingga membuat beban keuangan mereka semakin berat.
Wanni menjelaskan jika guru kelas anaknya menjanjikan bahwa akan ada keringanan waktu terkait tunggakan uang sekolah. Tetapi meskipun begitu, mereka tetap harus melunasinya nanti. Kondisi ekonomi yang memburuk semakin menambah tekanan bagi Wanni dalam mengatasi masalah ini. "Mau kekmana, suamiku cuma tukang pikul di gudang. Upahnya tidak seberapa," kata Wanni sedih.
Mengatasi Tantangan Bersama-sama
Meskipun berhenti dari sekolah, sebenarnya, niat dan keinginan Vicky, Sultan, dan Clara untuk kembali bisa bersekolah tetap menyala. Mereka seseungguhnya belum menyerah untuk menggapai cita-cita. Mereka masih berharap ada sedikit harapan yang bisa membantu mereka keluar dari persoalan ini.
Fakta-fakta ini juga sebenarnya mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam masyarakat kota Medan. Ketidaksetaraan pendidikan yang dihasilkan dari himpitan ekonomi masih menjadi problem serius yang harus diatasi. Pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan perlu bergandengan tangan untuk menawarkan solusi yang memadai. Program beasiswa, bantuan keuangan, dan dukungan psikologis adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu anak-anak seperti Vicky, Sultan, dan Clara.
Kita berharap, cerita-cerita seperti ini menjadi semakin langka. Anak-anak adalah aset berharga masa depan kita, dan mereka semua berhak untuk mengejar cita-cita mereka tanpa terkendala oleh himpitan ekonomi. Jika kita bersatu untuk memberikan dukungan dan kesempatan yang diperlukan kepada anak-anak ini, kita dapat membantu mereka mengubah takdir mereka, membuka pintu untuk mewujudkan impian-impiannya, dan menginspirasi generasi mendatang. (***)
Ikuti tulisan menarik Dedy lainnya di sini.