Sensasi Terjun Payung Penghabisan Purnawirawan Para Komando KNIL (98 Tahun)

Senin, 28 Agustus 2023 08:07 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini bagian dari proyek menulis: Membaca Indonesia dalam Narasi De Telegraaf.

Artikel ini ditulis oleh Martijn Schoolenberg, pewarta Hit & Run, De Telegraaf. Tayang 25 Mei 2023. Pada versi berita online De Telegraaf, artikel ini ditempatkan pada rubrik DALAM NEGERI, dengan judul Oud-paracommando (98) maakt laatste parachutesprong: ’Bij de vrije val kwam de spanning wel’.

Namanya Loek Middel. Usia 98 tahun. Fit secara fisik dan mental. Purnawirawan dari Ministerie van Defensie. Tinggal di Rosmalen, Noord-Brabant, Belanda. Kebetulan hari itu ada satu tempat kosong, Opa Loek mengajak putranya, Jeffrey Middel (70 tahun) ikut serta terjun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Opa Loek mendapat undangan dari Defensie Para School mengikuti penerjunan tadi. Pesawat take off dari Bandara Seppe, tidak jauh dari Breda. Undangan itu semacam penghargaan karena dalam tahun 40-an beliau adalah anggota pasukan para komando KNIL. Ia ikut serta dalam operasi militer dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Tapi dari pihak Belanda.

Sepanjang karir militernya sebagai anggota KNIL ia sudah terjun sebanyak 130 kali. Meskipun penerjunan resmi dalam operasi perang terakhir kalinya tahun 1949. Setelah kembali ke Belanda, Opa Loek bekerja di Kemenhan Belanda hingga pensiun. Sebagian masa dinasnya di kementerian itu di bidang administrasi.

Dalam penerjunan di Noord-Brabant itu Opa Loek mengenakan replika seragam para komando KNIL, lengkap dengan baret khasnya warna merah burgundia. Karena sudah sepuh, saat naik ke pesawat pun Loek harus dibopong dan didorong oleh beberapa penerjun lainnya. Oleh karena alasan usia itu pula, dia terjun tandem bersama seorang instruktur. Terjun dari ketinggian 3 km, 2 km pertama terjun bebas, setelah itu parasut baru terbuka. Ketika para penerjun melayang dan bergelantungan di udara, para handai-tolan menyaksikan dengan penuh harap dan cemas dari bawah. Untungnya, penerjunan aman dan lancar. Seluruh peserta mendarat dengan selamat di  Oudenbosch, sebuah kota kecil sekitar 5 km ke arah utara Bandara Seppe.

Opa Loek merasakan sensasi luar biasa saat terjun. Terutama ketika fase terjun bebas. Selama karirnya sebagai pasukan para belum pernah dia melakukan gaya tersebut. Karena termasuk generasi awal para komando, penerjunan selalu dengan payung langsung terbuka sesaat setelah meninggalkan pesawat.

***

Artikel ini dilengkapi 4 foto. Gambar pertama memperlihatkan Opa Loek didorong oleh dua penerjun lainnya untuk naik ke pesawat. Foto ini diberi keterangan Loek heeft wat hulp nodig om het vliegtuig in te komen. Dalam foto kedua Loek terlihat dalam posisi telungkup dengan lutut dilipat ke atas karena melatih postur saat melayang di udara khususnya ketika terjun bebas. Gambar ini diberi keterangan Loek oefent welke houding hij aan moet nemen. Foto ketiga memperlihatkan Loek saat akan naik ke pesawat yang tidak bertangga. Gambar ini tidak diberi keterangan. Sedangkan dalam foto terakhir terlihat Loek sudah mendarat dengan selamat. Ia didampingi putranya, Jeffrey, dan seorang instruktur. Gambar ini diberi keterangan Loek Middel, zoon Jeffrey en instructeur Mark Oostendorp beleven een dag om nooit te vergeten. „Sensationeel”, aldus de 98-jarige veteraan. Seluruh foto berasal dari koleksi Rias Immink.

Dari sumber lain, Stichting Oorlogsverhalen, diketahui bahwa Opa Loek ini lahir dan besar di Cimahi, Jawa Barat. Ayahnya orang Belanda, juga anggota KNIL hingga pensiun. Sedangkan ibunya orang Sunda. Ia anak keenam dari 12 orang bersaudara. Loek sangat bangga sebagai orang Indo. Dan satu-satunya dalam keluarganya – dari Hindia Belanda – yang masih hidup. Dalam masa pendudukan Jepang, dia ditahan di sebuah tangsi di Glodok, Jakarta.

Kemerdekaan Republik Indonesia disusul masa Bersiap, di mana kelompok-kelompok pemuda Indonesia tanpa garis komando yang jelas melakukan balas dendam terhadap pihak yang dianggap penjajah. Yang menjadi korban terutama orang-orang Belanda atau Indo. Ribuan terbunuh. Salah satu kompleks Belanda yang diserang ialah kawasan Bronbeek di Bandung. Setelah menyaksikan luluh-lantaknya kawasan Bronbeek tadi, Loek mendaftar menjadi anggota KNIL. Tujuannya agak dapat memberikan perlindungan kepada warga Belanda dari serangan para gerombolan pemuda. Dia menempuh pendidikan komandonya di Hollandia, Papua Barat serta mendapat wing penerjun di kota kelahirannya, Cimahi. Dari situlah perjalanan militernya sebagai seorang para komando dimulai. Salah satu misi yang dia ikuti ialah penerjunan ketika merebut Yogyakarta tahun 1948. Karena mencatat telah ratusan kali diterjunkan dalam aksi militer, tentu Loek berpartisipasi dalam banyak operasi lintas udara di Indonesia waktu itu.

Pasca penyerahan kedaulatan, awal tahun 1950 Loek berjumpa Anneke Pieters, juga seorang Indo, di Bandung. Sekitar dua bulan kemudian mereka menikah. Lalu keluarga muda itu bertolak ke Belanda. Pada masa awal tinggal di sana, mereka menempati Kamp Prinsenbosch di Gilze-Rijen, juga di Noord-Brabant. Barak kosong yang agak lapuk itu peninggalan pasukan Nazi Jerman. Mereka dikarunia dua orang putra.

Meskipun pernah berperang berhadapan dengan pihak republik, mereka sepertinya berhasil berdamai dengan diri masing-masing. Cukup sering suami-isteri itu berkunjung ke Indonesia.  Bagi mereka, Hindia yang kini menjadi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka.

Tulisan di atas tidak sepenuhnya tentang Indonesia. Tampaknya Indonesia – bahkan dari sumber lain – hanya menjadi sebagian locus dari kisah perjalanan hidup Opa Loek. Tetapi artikel yang ditulis Martijn Schoolenberg ini mengantar kita untuk menyelami betapa kompleksnya dan bernuansanya hubungan antara Hindia Belanda, orang Belanda serta Indo dengan kita dan Indonesia.

Artikel asli dapat dibaca di sini. Foto dari Pixabay.

Bagikan Artikel Ini
img-content
G. Yadi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler