x

Panorama Turki. Foto: fuat Tercanli dari Pixabay.com

Iklan

G. Yadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Desember 2022

Kamis, 21 September 2023 19:03 WIB

Akankah Turki Berpisah Jalan dari Uni Eropa?

Presiden Recep Tayyip Erdoğan menegaskan Turki bisa saja berpisah jalan dari Uni Eropa. Erdogan mengatakan itu setelah ada laporan Parlemen Eropa bahwa bergabungnya Turki menjadi anggota UE tidak akan dimulai dalam kondisi saat ini. Turki menyatakan laporan tersebut mengandung tuduhan sumir yang berdasar pada disinformasi, asumsi dangkal dan pendekatan tidak visioner.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sabtu, 16 September 2023, Presiden Recep Tayyip Erdoğan menegaskan bahwa Turki bisa saja berpisah jalan dari Uni Eropa. Pernyataan itu menurut Reuters disampaikan Erdoğan menanggapi laporan yang dikeluarkan Parlemen Eropa beberapa hari sebelumnya. Menurut laporan tadi proses bergabungnya Turki menjadi anggota UE tidak akan dimulai dalam kondisi saat ini. Laporan itu bahkan mendorong Brussel agar menempuh skema yang paralel dan realistis dalam hubungannya dengan Ankara. Laporan kritis itu disinyalir oleh Erdoğan sebagai upaya UE menjauh dari Turki.

Sebelumnya Kementerian Luar Negeri Turki menegaskan bahwa laporan tersebut mengandung tuduhan sumir yang berdasar pada disinformasi, asumsi dangkal dan pendekatan yang tidak visioner terhadap hubungan blok itu dengan Turki.

Bagaimana kita membaca isu ini? Ke arah mana ia akan berkembang? Untuk mencoba menjawab pertanyaan terhadap tema yang komplek ini kita perlu memperhatikan setidaknya lima faktor penting berikut ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, prospek negosiasi keanggotaan Turki. Turki mengajukan permohonan masuk dalam daftar negara calon anggota UE tahun 1987 yang baru disetujui Brussel 12 tahun kemudian sehingga negosiasi dapat dimulai tahun 2005. Tetapi perkembangannya sangat lambat. Ganjalan terberat bagi Brussel antara lain kondisi penegakan hukum, kebebasan media, dan HAM di Turkiye. Kebuntuan yang tidak menawarkan harapan positif ini berpotensi mendorong Ankara mencabut diri dari daftar negara calon anggota UE.

Faktor kedua, perbedaan politik. Aspek ini sesungguhnya bukan saja berpengaruh sejauhmana Turkiye dan UE akan berpisah jalan tetapi juga menjadi unsur penghambat kemajuan negosiasi keanggotaan di atas. Brussel menerima permohonan Turki menjadi calon anggotanya pada masa rezim di Ankara memiliki banyak titik temu dengan nilai-nilai Eropa.

Perubahan terjadi pada masa Presiden Erdoğan memegang tampuk kekuasaan. Barangkali Barat menilai sejak 2002 Turki semakin menjauh dari nilai-nilai liberal dan sekuler, sebaliknya semakin mengarah ke neo-Utsmani. Dalam pandangan hubungan internasional realisme, setiap kutub kekuatan dunia — termasuk UE — mengutamakan kepentingan nasional atau bloknya sehingga cenderung berprinsip bahwa siapa yang berkuasa di suatu negara tidak terlalu penting, tetapi bagaimana intensi, sikap dan perilaku serta apa kebijakan dan tindakan yang diambil oleh rezim yang berkuasa akan menjadi prioritas perhatian.

Apabila rezim yang berkuasa mendukung atau tidak mengancam kepentingan kutub tadi maka ia akan mendapat dukungan, perlindungan, bahkan kemudahan. Atau sebaliknya. Analogis dengan doktrin yang dinisbatkan kepada Deng Xiaoping, meski dalam konteks yang berbeda, bahwa tidak masalah kucingnya berwarna hitam atau putih asal hewan itu masih mau menangkap tikus. Kalau Ankara dan Brussel gagal mendekatkan perbedaan dalam unsur politik ini berpotensi menentukan apakah negosiasi berlanjut atau pupus.

Faktor ketiga adalah aspek ekonomi. Brussel kuatir jika Turki menjadi anggotanya dapat menambah beban anggaran struktural karena negara anggota UE berhak mendapatkan bantuan dana tersebut. Selain itu, ekonomi Turki dianggap masih belum cukup matang untuk masuk ke pasar tunggal Eropa, dan dunia industrinya dinilai masih belum mencapai standar yang diinginkan UE. Belum lagi mekanisme free movement of the labour force dapat membuka pintu bagi migran dari Turkiy membanjiri Eropa. Tetapi faktor ekonomi ini sekaligus juga yang membuat kedua belah pihak berat hati berpisah total karena dalam dunia yang onderling afhankelijk ini keduanya punya kepentingan ekonomi.

Keempat, isu keamanan. Dalam konteks geopolitik kontemporer Turkiye menjadi wilayah penyangga Eropa dari kawasan konflik di Timur Tengah, Laut Mediterania Timur dan Aegea, dan Ukraina-Rusia. Ankara menampung jutaan pengungsi khususnya dari daerah sangketa di Syria serta secara domestik, menghadapi ancaman separatis Kurdi, dsb. Ketika Ankara menerima alutsista S-400 dari Rusia tahun 2019, negara itu dikeluarkan dari konsorsium pembuatan pesawat tempur generasi kelima, proyek JSF. Padahal Turki beralih ke S-400 justru setelah keinginannya membeli alutsista pertahanan udara buatan AS, MIM-104 Patriot, ditolak Washington. Sebagai anggota NATO, Ankara tentu menyimpan kecewa atas perlakuan tersebut. Belum lagi dalam isu Siprus dan perbatasan dengan Yunani.

Isu keamanan ini kemudian disikapi Ankara secara positif sebagai cambuk akselerasi kemandirian industri alutsista domestik. Menurut Kementerian Pertahanan di Ankara, 80% kebutuhan pertahanan Turki telah mampu dipenuhi secara mandiri. Padahal tahun 2004, angkanya baru mencapai 20%. Meskipun nilai ekspor alutsista dari Turkiye baru menguasai 1,1% pasar senjata dunia, tetapi agregat nilai ekspor senjatanya naik sebesar 69% dalam kurun 2018-2022. Bahkan isu keamanan ini juga dimainkan Turkiye mengganjal keanggotaan Swedia menjadi anggota NATO.

Faktor kelima, pergeseran geopolitik regional dan global. Kutub kekuatan dunia selalu berubah dan dinamis. Transisinya kadang berjalan cepat adakalanya perlahan, bergeser dari unipoloritas, bipolaritas, tripolaritas dan multipolaritas. Siklusnya dapat berulang, meskipun terkadang tidak kronologis. Kutub yang kekuatannya mulai memudar tidak lagi menarik bagi negara lain yang membuat mereka beralih atau menciptakan kutub kekuatan baru. Munculnya BRICS, geliat dan dinamika di Global South, strategi dan peran Tiongkok dan Rusia yang makin asertif di Afrika, kudeta militer di banyak negara Afrika menumbangkan rezim yang dianggap pro-Eropa termasuk gejala pergeseran geopolitik tadi.

Perlu juga dicatat bahwa pergeseran tersebut tidak selalu bersifat liner, tetapi sangat dinamis, temporer, lintas sektoral serta spesifik sesuai kepentingan nasional masing-masing negara. Misalnya, dalam kasus intervensi di Syria dan Libya, Ankara dan Abu Dhabi sempat dalam faksi yang berlawanan. Kini keduanya sepakat bekerjasama dan bergandengan tangan. Begitu pula hubungan antara Ankara dengan Riyadh, Kairo, bahkan Tel Aviv/Yerusalem.

Menimbang faktor-faktor di atas sekaligus arah dan pola kebijakan luar negeri Turki di bawah Presiden Erdoğan, maka dapat diprediksi bahwa Ankara tidak akan mengambil langkah yang drastis yaitu sepenuhnya meninggalkan minat dan upayanya menjadi anggota UE. Dalam parameter faktor-faktor berpengaruh di atas, kita melihat situasi dan kondisinya saat ini belum menyentuh atau melewati garis merah yang dapat membakar Ankara mengambil kebijakan radikal tersebut. Meskipun kedua belah pihak saling membutuhkan, tetapi kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya bagi Ankara jika saat ini menarik diri sepenuhnya dari negosiasi menjadi anggota blok regional terbesar di dunia tersebut betapa pun samarnya impian itu akan jadi kenyataan. Dengan demikian, apakah ancaman Presiden Erdoğan di atas hanya gertak sambal? Sidang pembaca yang pantas memberi jawaban.

Ikuti tulisan menarik G. Yadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB