Dua Sisi di Sungai Besar Itu
Selasa, 5 September 2023 18:56 WIBSeseorang yang melihat dengan mata kepalanya sendiri, dua sisi dari manusia.
Aku berlari di pagi itu seperti biasanya. Aku melewati pepohonan, bangku taman, manusia, dan sungai yang sama. Semuanya sama bagiku. Tidak ada api, tidak ada bara, dan tidak ada semangat di hatiku. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya berlari di pagi hari sebelum berangkat kerja di kantorku. Aku sempat terhenti melihat sungai yang selalu aku lewati. Sungai biasa dengan beberapa sampah. Pemandangan yang biasa di zaman ini. Sisi kanan sungai terdapat sebuah rumah sakit. Aku bisa melihat mereka yang memiliki keterbatasan fisik melihat ke arah kami yang sibuk dengan pagi harinya. Aku kemudian melanjutkan lariku. “Aku sebaiknya memakan nasi goreng pedas lima kali itu nanti sehabis pulang kerja. Aku harap itu membuat semangatku membara.”, ujarku. Besok juga hari Sabtu. Aku bisa begadang nanti malam.
Aku kembali lari pagi di jalur yang sama. Aku tidak tahu mengapa aku selalu melewati jalur ini. Apakah ada sesuatu yang akan membangkitkan semangatku di sini? Apa yang aku katakan? Aku hanya malas melewati jalur yang baru. Pagi itu aku diberikan sebuah brosur, sepertinya besok akan ada kegiatan susur sungai. Ada seorang guru dengan beberapa murid SD di sampingnya. Tanggung jawab yang besar pak. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan murid-muridmu? Aku mengambil brosurnya dan sengaja melemparnya saat guru itu melihat ke arahku. Aku harap kau membatalkan kegiatanmu ini. Aku tidak ingin jalur ini ditutup akibat keteledoranmu. Aku kembali melanjutkan lariku. Kepalaku sedikit sakit. Aku lebih baik tidak berlari setelah begadang tadi malam. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
Besoknya niatku berlari hampir batal karena hujan yang masih belum reda di jam lima pagi. Keajaiban datang di jam enam dan hujan pun reda. Lariku selanjutnya dibuat tidak enak ketika melihat kegiatan itu. Kegiatan itu membuat alisku berkerut. Mengapa susur sungainya tetap berjalan? Aku bahkan melihat beberapa mahasiswa yang ikut. Kalian lebih baik fokus skripsi kalian lalu mencari pekerjaan. Tidak ada gunanya melakukan hal semacam ini. Kalian hanya mencari bahaya. Aku kemudian melewati jembatan di atas sungai itu dan sengaja membuang sampahku. “Heh.”, ejekku kepada seorang bocah SD. Aku kemudian melanjutkan lariku.
Pagi itu ternyata bukanlah pagi yang rutin bagiku. Sebuah teriakan mengejutkanku. “Ada air besar!” Teriak seorang bapak-bapak. Semua yang berada di sungai masih sibuk mencari sampah. Seorang bocah SD juga masih pergi ke tengah mengambil sampah botol plastik. Bukankah itu sampahku? Hal yang mengerikan pun terjadi. Ada dua mahasiswa dan satu bocah SD yang ikut tersapu aliran air besar dari hulu itu. Apa yang aku katakan pak guru? Betul kan? Kalian hanya mencari bahaya. Aku melihat dia yang sudah panik tidak karuan melihat salah satu muridnya dan dua mahasiswa yang tersapu aliran itu. Aku ingin mengejeknya, namun kerumunan ini menghalangiku. Banyak orang yang mengambil video dan foto dengan hp miliknya. “Ada sebuah tangan!” Teriak sebuah ibu-ibu. Aku memang melihat sebuah tangan yang memegang sebuah ranting pohon besar. Aku melihat ke guru itu, namun dia tidak berani untuk menyelamatkannya. “Bukankah itu tanggung jawabmu?! Selamatkanlah dia!” Teriakanku membuat orang lain ikut meneriaki guru tersebut. Rasakan itu. Mengapa kau tetap melanjutkan susur sungai itu? Dasar.
Satu hal lagi mengejutkan pagiku waktu itu. Beberapa pasien rumah sakit keluar melalui pagar yang menghadap ke arah sungai. Mereka mencoba untuk menyelamatkan bocah itu. Ada dari mereka yang bahkan menggunakan kursi roda. Apa yang bisa kalian lakukan dengan kondisi seperti itu? Mereka mencoba membujuk guru tersebut untuk ikut membantu mereka. Mereka saling memegang tangan satu sama lain dengan guru itu di barisan paling depan, namun aliran airnya terlalu deras. Semua pasien rumah sakit itu mengambil semua alat yang sekiranya bisa membantu. “Apa yang kalian lakukan?! Cepat cari sesuatu untuk menolong anak itu!” Teriak bapak-bapak dengan hp miliknya yang tetap merekam kejadian itu. Aku juga sedikit kesal mendengar sikap bapak itu, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun di situasi seperti ini. Sebentar lagi petugas pasti akan datang.
“Hei, lihat!” Teriak perekam lainnya. Guru itu juga ikut terseret arus bersama dua orang pasien. Semua orang terlihat panik dengan hp milik mereka masing-masing. Pasien rumah sakit semakin banyak yang keluar untuk mencoba menolong. Pikiranku kemudian tersadarkan. Pemandangan apa yang sedang aku lihat ini? Ragaku tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu. Tetesan air mata juga turut ikut serta. Aku teringat pengalamanku menjadi anggota klub renang di sekolahku. Aku harus melakukan sesuatu. Ragaku berteriak seperti itu. Aku kemudian berlari menembus semua orang buta di sekitarku. “Hei! Kau menjatuhkan hp milikku! Dasar! Lari tidak melihat sekitarmu!” Aku ingin memukul pria itu di wajahnya. Perkataannya sangat berbeda dengan tindakannya. Apakah kalian hanya bisa berbicara? Aku kemudian mengambil sebuah ban mobil besar yang dibawa oleh salah satu pasien rumah sakit itu. Aku melihatnya dengan aneh. Di mana dia mendapatkan ini? Aku kemudian melihat kakinya yang hanya tinggal satu, namun matanya berbeda. Dia memiliki apa yang aku cari selama ini. Sebuah api. “Aku mengandalkanmu bang.”, ujarnya kepadaku. Sial, jangan buat aku menangis di saat seperti ini. Aku kemudian membuang ban tersebut dan melompat ke atasnya. Aku tetap dibawa arus, namun aku lebih bisa mengendalikannya. Aku mengarahkannya ke arah tangan bocah itu. Dia kuat sekali bertahan di situ. Aku kemudian melompat dan berenang ke arahnya.
Sulit sekali! Napasku terasa sesak! Aku bisa jadi sudah hanyut, tetapi ada sesuatu yang membuatku tetap ingin meraih tangan anak itu. Aku berhasil memegang batang pohon yang dipegangnya. “Bocah!” Dia melihatku seolah tahu siapa diriku. Aku merasakan rasa penyesalan yang besar. “Apakah ini salahku?” Ujarku. Bocah itu terlihat kebingungan. Sial, tidak ada waktu untuk ini. Aku pasti akan lebih menyesal jika tidak menyelamatkannya. “Hey! Tolong! Ada yang memiliki tali! Angkatlah anak ini!” Aku mencoba meminta tolong kepada orang-orang yang berada di atas jembatan ini, namun mereka yang berada di situ hanyalah sekumpulan perekam. Sial. “Hey! Tolong! Letakkan hp kalian dan bantulah anak ini!” Teriakanku membuat wajah mereka terlihat kesal. Seorang pengemis dengan kaki yang pincang memberikan tongkatnya ke arah kami. Aku berusaha mengangkat anak itu. Syukurlah dia dapat menjangkaunya, namun anak itu tetap tidak terangkat. Aku melihat pengemis itu kesulitan mengangkat anak itu sendirian dengan tongkatnya. “Hey! Apakah kalian hanya bisa melihat dan berbicara?! Bantulah bapak itu! Apakah kalian manusia?!” Teriakanku membuat seorang bapak paruh baya membantu pengemis itu. Banyak orang akhirnya juga ikut menariknya. Anak itu berhasil selamat, namun aku tidak melihat kedua pasien dan mahasiswa itu. Sial! Apakah mereka sudah hanyut? “Bang! Menepilah! Alirannya semakin deras!” Astaga. Aku melihat aliran selanjutnya yang akan datang. Apakah aku akan menelantarkan mereka? Apa yang harus aku lakukan? Untuk apa aku melatih kaki ini setiap hari? “Bang!” Teriakan itu spontan membuatku berenang ke sisi lainnya yang lebih dekat daripada sisi rumah sakit itu. Ada beberapa pria yang berusaha mengangkatku ke tepian. Hempasan air hampir saja mengenai kami. “Puas?” Seseorang sadar dengan perkataanku. “Apakah kalian sudah puas?! Apakah kalian sudah mendapatkan konten yang kalian inginkan?! Ayo rekam! Rekam aku! Rekam sungai ini! Rekam pasien-pasien itu! Rekam mayat-mayat yang kalian terlantarkan! Cari mayatnya di sungai ini lalu rekam sepuasnya! Sebarkan di media sosial! Ayo! Rekam! Rekam!” Kedua pria mencoba menahan tubuhku yang terlihat ingin menyerang warga sekitar. “Aku juga melihatmu membuang sampah yang membuat bocah SD itu pergi ke tengah sungai! Kau juga sama bersalahnya dengan kami! Menyelamatkan bocah itu tidak akan menghapus kesalahanmu! Jika kau tidak melempar sampah itu ke sungai, semua ini pasti tidak akan terjadi!” Seorang pria paruh baya dengan hp miliknya yang masih merekam kejadian itu. “Kau!” Aku berlari ke arahnya dan memukul hp yang ada di tangannya hingga jatuh ke sungai. Kami berdua akhirnya terlibat perkelahian.
Beberapa menit kemudian, petugas Basarnas datang dan mencoba mencari korban yang selamat dari kejadian ini. Kedua mahasiswa dan kedua pasien itu tidak dapat terselamatkan. Aku dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan kejadian. Pagi itu, aku melihat sesuatu yang nyata. Sesuatu yang menjalar di kehidupan zaman ini. Aku melihat dua sisi. Aku juga sempat bertanya kepada diriku. Apakah aku berada di sisi kanan sungai itu tepat di tempat pasien-pasien itu berada? Atau aku berada di sisi kiri sungai itu? Aku kemudian diperbolehkan pergi dari kantor polisi. Aku melihat kondisi sungai yang sudah kembali normal. Aku berusaha pergi ke rumah sakit di sisi kanan sungai itu. Aku masih ingat dengan wajah-wajah mereka kemarin yang sangat berapi-api. Apakah aku bisa seperti itu? “Bang! Kau abang penyelamat kemarin! Ada apa datang ke rumah sakit ini?” Ujar orang yang sama yang memberikanku ban mobil kemarin. “Ah, aku bukan pahlawan bang. Abang dan teman-teman abang di rumah sakit inilah yang berhak dipanggil itu. Aku hanya mencoba membersihkan kesalahanku. Akulah yang membuat anak itu pergi ke tengah sungai.”, ujarku. Mereka kebingungan melihatku. “Tapia bang tetap menyelamatkan anak itu kan?” Aku melihat mereka yang tersenyum kepadaku. Sial, aku pasti terlihat jelek sekali. Aku tak kuasa menahan tangisku di depan mereka. Seorang bocah juga datang dengan tangan kiri yang diperban dari kerumunan pasien itu. “Terima kasih banyak ya bang.”, ujarnya dengan senyuman terima kasih. Ah, aku ingin berapi-api seperti mereka. “Sama-sama!”
Penulis Indonesiana.
0 Pengikut
Kolak Pisang
12 jam laluAku yang Selalu Mengelak dan Kau yang Selalu Menunggu
Selasa, 20 Agustus 2024 09:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler