x

cover buku Harga yang Harus Dibayar

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 7 September 2023 08:33 WIB

Harga yang Harus Dibayar - Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia

Buku ini memberikan ulasan pergumulan etnis Cina di Indonesia dengan berbagai pisau analisis. Ulasan tentang pergumulan tersebut juga dilengkapi dengan contoh-contoh mendalam tentang harga yang harus dibayar sebagai etnis Cina.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Harga Yang Harus Dibayar – Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia

Editor: I. Wibowo

Tahun Terbit: 2000

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit:  Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina

Tebal: xxviii + 265

ISBN: 979-655-521-2

 

Pada umumnya masyarakat memandang etnis tionghoa sebagai orang yang berhasil, hidup enak dan bergelimang harta. Itu memang tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Meman gada orang tionghoa yang berhasil secara ekonomi. Bahkan menjadi konglomerat. Wibowo menunjukkan bagaimana penggambaran keberhasilan melalui film documenter, film dan buku-buku biografi. Penggambaran tentang etnis Cina di Asia Tenggara selalu dimulai dengan para imigran miskin dan tak berpendidikan, bekerja sebagai kuli, merintis usaha dan akhirnya menjadi konglomerat atau orang-orang yang berhasil secara ekonomi.

Namun harus disadari banyak juga etnis tionghoa yang hidup susah. Mereka yang sukses secara ekonomi pun bukannya tidak menghadapi suatu dilema. Mereka itu mengalami pergulatan untuk menentukan jati diri. Ada harga yang harus dibayar sebagai pihak yang dianggap liyan baik oleh masyarakat maupun juga diri sendiri.

Buku yang diedit oleh I. Wibowo ini diberi judul “Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Etnis Cina di Indonesia.” Buku yang merupakan Kumpulan tulisan dari para pemerhati masalah tionghoa ini menyajikan pergulatan identitas orang tionghoa di Indonesia dari berbagai cara analisis. Perbedaan cara analisis ini membuat kita menjadi semakin paham pergulatan etnis tionghoa dari berbagai sisi.

Wang Gungwu membuka diskusi tentang pergulatan orang Cina melalui pisau analisis orientasi sejarah masa lalu. Dengan sejarah yang mana seharusnya mereka mengidentifikasikan masa kini mereka? Wang mengajukan pendapat bahwa orang Cina mempunyai empat pilihan untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sejarah masa lalu. Pilihan pertama adalah mengidentifikasikan dengan sejarah leluhurnya. Pilihan ini membuat orang Cina di perantauan mengorientasikan dirinya kepada Negeri Tiongkok. Pilihan kedua adalah mengidentifikasikan masa kininya dengan sejarah negara dimana ia tinggal. Pilihan ini membuat orientasi masa kininya adalah untuk memperjuangkan kebaikan negeri dimana ia tinggal.

Namun dua pilihan ini tidak mudah dilakukan. Karena apa yang menjadi pilihan tidak hanya tergantung pada individu orang tersebut. Lingkungan, persepsi masyarakat dimana ia tinggal juga sangat menentukan orientasi masa lalu tersebut. Sulitnya menentukan pilihan sejarah masa lalu itu diperjelas dengan tulisan Andreas Susanto yang mengambil kasus orang Tionghoa di Jogjakarta. Andreas Susanto menunjukkan bahwa dalam kasus orang tionghoa di Jogjakarta, ada penerimaan dan penolakan yang datang dari dua arah. Sedangkan Rizal Bachrun dan Boby Hartanto dengan menggunakan analisis psikologi menunjukkan adanya krisis identitas di kalangan orang tionghoa. Demikian pun tulisan Thung Ju Lan yang menggunakan analisis sosial mengungkapkan sulitnya menjadi orang Cina.

Pilihan pemaknaan masa kini dengan melandaskan pada sejarah masa lalu ternyata sangat sulit bagi orang tionghoa di Indonesia. Ada dua pilihan lain yang disodorkan oleh Wang, pilihan ketiga adalah mendasarkan pada masa lalu kemanusiaan bersama. Artinya orang Cina bisa mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari umat manusia yang bergumul di bumi. Ia keluar dari batas-batas nasionalisme dan ras. Namun pilihan ini juga tidak cukup mudah karena bagaimanapun ia akan tetap dimasukkan oleh pihak lain ke konstruksi sosial yang sudah dibuat. Sedangkan pilihan keempat adalah meramu sejarah masa lalu untuk membangun identitas masa kini. Pilihan ini akan membuat dirinya bisa lebih menyesuaikan diri di tempat dimana mereka tinggal.

Sulitnya menjadi etnis tionghoa di Indonesia diulas lebih mendalam dalam tulisan-tulisan lainnya yang ada di buku ini. Anom Surya Putra membahas perjuangan pasangan yang menikah secara Agama Konghucu yang tidak mendapat pengakuan dari Catatan Sipil di Surabaya. Myra Sidharta menjelaskan nasip perempuan Cina, baik di Daratan Cina maupun di Indonesia. Huang Jin menggambarkan betapa mereka yang pulang ke China dengan semangat patriotik ternyata mendapati situasi yang tidak seperti yang mereka idamkan. Eddy Witanto dan Rene Pattiradjawane menyoroti kekerasan yang dihadapi oleh orang tionghoa dalam berbagai situasi.

Di bab terakhir I. Wobowo mengajak kita untuk mendiskusikan “kapan ke-Cina-an akan berhenti?” Wibowo mengungkapkan bahwa upaya untuk menghentikan ke-Cina-an ini telah dilakukan dengan berbagai upaya. Namun upaya ini tidak pernah berhasil selama istilah Cina ini masih terus diciptakan oleh para peneliti. 779

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini