x

Image by <a href="https://pixabay.com/users/geralt-9301/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2097358">Gerd Altmann</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2097358">Pixabay</a>

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Senin, 11 September 2023 12:36 WIB

Siaga Menghadapi Infodemi Elektoral

Gejala Iinfodemi elektoral membuat publik seolah dimanjakan limpahan informasi. Namun sayangnya, di antara limpahan berita yang mengarus deras ini, konten hoax dan fakenews turut mewarnai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selama kuartal I tahun 2023 telah beredar sebanyak 664 hoax atau berita di ruang digital kita, 233 atau sekitar 35% diantaranya adalah hoax bermuatan isu-isu politik termasuk Pemilu di dalamnya. Data ini diungkapkan Linda Salma, peneliti Mafindo (Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia) beberapa bulan lalu, tepatnya Mei dalam sebuah Webinar di Jakarta (www.antaranews., com, 3 Mei 2023).

Pada awal Juli 2023 lalu, sebuah unggahan video beredar di media sosial, yang mengklaim bahwa ribuan kader Partai Demokrat di Provinsi Bali mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pada thumbnail video terdapat gambar sejumlah kader berkumpul di hadapan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ganjar Pranowo. Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, konten itu terbukti hoax (www.kompas.com., 1 Juli 2023).

Belum lama berselang, awal September kemarin, menyusul isu konflik Demokrat-Nasdem pasca dipilihnya Cak Imin sebagai bakal Capres oleh Anies Baswedan, beredar sebuah unggahan video di Youtube yang menarasikan telah terjadi pembakaran Posko Kemenangan Anies-Cak Imin oleh kader Demokrat. Hasil penelusuran cek fakta berbagai media, video ini terbukti hoax (www.suara.com., 5 September 2023).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rilis Mafindo dan penggalan kasus konten hoax di atas mengisyaratkan bahwa peredaran fakenews atau hoax yang berisi fitnah, adu domba, hate speech dan serangan terhadap tokoh atau institusi akan kembali marak menyertai perhelatan Pemilu 2024 seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 silam. Isyarat ini tentu mengkhawatirkan dan karenanya patut menjadi perhatian semua pihak untuk mengantisipasinya dengan sigap dan sedini mungkin.

Pada Pemilu 2019 silam, peredaran konten-konten hoax berlangsung massif melalui berbagai platform media di ruang digital kita. Sialnya, konten-konten hoax atau fakenews itu bertebaran, menyeruak di antara  berita/informasi yang sahih dan valid yang juga mengaru deras saban waktu. Akibatnya untuk membedakan mana berita valid dan mana yang hoax seringkali menjadi tidak mudah. Para ahli menyebut banjir informasi atau fenomena melimpahnya berita/informasi ini sebagai infodemi (pandemi informasi).

 

Pandemi Informasi

Konsep Infodemi diintrodusir oleh World Health Organization (WHO) dan menjadi populer sejak wabah Covid-19 melanda dunia. Secara harfiah infodemi atau infodemic diambil dari kata information dan pandemic, yang jika disanding dan dialihfrasakan ke dalam bahasa Indonesia kurah lebih menjadi “Pandemi Informasi”. WHO kemudian memaknainya sebagai terlalu banyaknya informasi yang beredar, termasuk informasi yang salah dan menyesatkan baik secara fisik maupun digital selama masa pandemi Covid-19 (World Health Organization, 2022).

Dengan uraian yang lebih elaboratif, Hermin Indah Wahyuni (2020) menjelaskan, bahwa infodemi merupakan fenomena saat informasi justru menjadi tak ubahnya pandemi karena kondisi-kondisi tertentu yang kurang ideal, di antaranya jumlah informasi yang berlimpah (overload of information) menyebar secara cepat walaupun tidak jelas akurasi dan ketepatannya.

Fenomena tersebut biasanya muncul pada situasi-situasi yang penuh ketidakpastian, salah satunya ketika pandemi. Biasanya di dalam kondisi-kondisi yang tidak pasti itu overload of information diiringi dengan kondisi equivocality atau kondisi ketika semua informasi seolah memiliki kebenaran yang sama (equal). Luapan informasi dan dominasi media baru membuat kebenaran suatu informasi sulit dipastikan (Jurnal Balaiirung, 2020).

Merujuk pada pemaknaan WHO dan substansi penjelasan fenomenologis Wahyuni, “Pandemi Informasi” sesungguhnya juga telah dan secara hipotetik potensial akan terus berlangsung menyertai perhelatan elektoral. Berbasis perspektif inilah istilah “Infodemi Elektoral” untuk menjelaskan pandemi atau wabah informasi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu digunakan. Yakni suatu fenomena dimana informasi-informasi seputar kepemiluan mengarus deras dan melimpah (overload of information) di ruang publik dengan tingkat akurasi yang rendah. Dalam konteks ini berita bohong (hoax), berita palsu (fakenews), kampanye hitam (black campaign), bahkan juga ujaran kebencian (hate speech) dan fitnah memperoleh ruang artikulasinya.

 

Kesiagaan Multipihak

Gejala infodemi elektoral menjelang Pemilu 2024 ini penting diwaspadai oleh para pihak yang terlibat dalam perhelatan Pemilu (peserta, pemilih, penyelenggara dan pemerintah termasuk aparatur penegak hukum), setidaknya karena beberapa argumen berikut.

Pertama, limpahan informasi kepemiluan dengan tingkat akurasi yang rendah dengan mudah dapat mendistorsi berita dan informasi yang benar yang seharusnya menjadi rujukan masyarakat dalam bersikap dan bertindak.

Kedua, Pemilu 2019 silam menunjukkan bahwa di tengah sebaran informasi kepemiluan yang sangat dinamis dari waktu ke waktu terserak luar biasa berbagai hoax, ujaran kebencian, kampanye hitam bahkan fitnah tanpa dasar.

Ketiga, infodemi elektoral berpotensi mengaburkan fokus, baik peserta Pemilu maupun masyarakat dari diskursus seputar visi, misi dan program para kandidat, baik personal maupun partai politik.

Akan lebih berbahaya lagi ketika infodemi elektoral ditingkahi pula dengan muatan atau konten-konten politisasi identitas oleh para kontestan dan diikuti secara massif oleh masing-masing kubu, baik yang berbasis agama, etnik maupun aspek-aspek primordialis lainnya. Dan menjadi “sempurna” daya rusaknya ketika infodemi elektoral serupa ini dikapitalisasi oleh para buzzers bayaran yang hanya peduli keuntungan pribadi dan kelompok yang dibelanya ketimbang keberhasilan pelaksanaan hajat demokrasi.

Pemilu 2019 silam telah lebih dari cukup memberikan contoh betapa berbahayanya membiarkan politik identitas digunakan sebagai instrumen pemenangan kontestasi elektoral. Polarisasi masyarakat terjadi dimana-mana, di berbagai ranah dan entitas, bahkan dalam skala yang sangat kecil : keluarga dan pertemanan.

Ringkasnya, fenomena infodemi elektoral yang tidak terkendali akan menjadi tanah subur bagi tumbuh dan berkembangnya pelbagai potensi non-teknikalitas elektoral yang secara hipotetik dapat melahirkan problematika pada Pemilu 2024 mendatang. Mulai dari hoax, ujaran kebencian, kampanye hitam, fitnah, atau komodifikasi identitas-identitas primordial yang natur itu untuk kepentingan pemenangan kontestasi politik.

Penulis Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB