x

Petani Lereng Gunung. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

Seftyana Nisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 September 2023

Rabu, 13 September 2023 07:42 WIB

Punggung-punggung Menunduk di Bawah Gunung Sumbing-Sindoro

Di balik magisnya keelokan bumi, ada banyak punggung-punggung kecil yang senantiasa menggantungkan kehidupannya pada alam tersebut. Seperti misalnya para petani tembakau yang berjalan di bawah gagahnya Gunung Sumbing dan Sindoro.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petani-petani yang kepalanya dilindungi caping berjalan beriringan di jalan setapak yang kering. Sudah tiba waktunya untuk memanen daun-daun tembakau yang telah menghijau. Musim kemarau tahun ini tidak terganggu datangnya dan hujan pun sudah lama tidak turun, digantikan matahari yang hadir setiap hari. Dengan cuaca yang baik dan mendukung itu, panen tahun ini bisa dipastikan akan bagus dan harga tembakau dapat naik.

Dari lereng-lereng hingga ke bawah kaki Gunung Sumbing dan Sindoro, deretan rapat pohon tembakau berjejer bagai menyelimuti kedua gunung api tersebut. Di Kabupaten Temanggung saja luas perkebunan tembakau menurut DKPP (Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan) bisa mencapai 14.000-16.000 hektar. Setiap tahunnya, 14 dari 20 kecamatan yang ada rata-rata dapat memproduksi tembakau hingga 14.000 ton. Begitu banyaknya hingga tembakau menjadi komoditas penting dan utama di Temanggung hingga digunakan dalam logo daerahnya.

Adanya ketinggian tempat yang tepat, kondisi iklim yang cocok, tanah yang subur, ditambah dengan budidaya yang menganut kearifan lokal menjadikan wilayah lereng ini sebagai penghasil tembakau yang katanya terbaik di dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siklus

Pada bulan-bulan panen inilah, pemandangan di lereng Sumbing-Sindoro berjalan seperti sebuah siklus. Dari hijau rapat-rapat yang menandakan pohon tembakau yang sudah tumbuh tinggi tinggal menunggu panen yang beberapa waktu kemudian akan terdapat corak coklat penanda daun-daun tembakau yang telah berkurang kerapatannya sebab telah dipetik. Setelah itu tanah akan berubah coklat sepenuhnya lagi untuk disiapkan demi musim tanam berikutnya sebelum berakhir kembali menjadi hijau dipenuhi tanaman lain. Diantaranya, akan ada corak coklat yang luas di tanah-tanah lapang yang memperlihatkan irisan daun-daun tembakau yang sedang dijemur.

Dalam seluruh rangkaian siklus ini dan seterusnya, Gunung Sumbing dan Sindoro tetap biru dan berdiri gagah. Mengawasi punggung-punggung petani yang menunduk membuat siklus tadi tetap berputar.

Bergantung pada alam

Lereng-lereng Sumbing dan Sindoro beserta dengan bentangan luas perkebunan mulai dari tembakau hingga kopi memang menawarkan beragam magisnya kepada mata manusia. Bagi sebagian orang, wilayah-wilayah ini mungkin dapat menjadi obat cuci mata; lanksap menakjubkan dengan udara sejuk yang pas untuk melepas penat barangkali dari sibuknya perkotaan.

Akan tetapi, bagi sebagian yang lain tempat ini adalah tempat mereka menggantungkan kehidupan. Menurut Statistik Perkebunan Tembakau Indonesia yang dikeluarkan oleh Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian, di tahun 2018 ada sebanyak 58.544 petani yang mengolah lahan pertanian kurang lebih seluas 17.000 hektar di Temanggung. Bagi puluhan ribu orang ini, yang paling penting bukanlah tentang seberapa cantiknya dua gunung di hadapan mereka, tetapi adalah soal bumi Sumbing-Sindoro yang memberikan penghidupan dan pengharapan semoga cuaca berada di pihaknya.

Petani-petani inilah yang lebih dekat dengan alam dibandingkan mereka yang terpana sesaat sekaligus juga menjadi yang paling bergantung. Perubahan yang ada dapat sangat berpengaruh pada pendapatan mereka nantinya. Cuaca misalnya. Musim hujan yang berlangsung lebih lama dapat mengundurkan masa panen dari biasanya. Daun-daun tembakau yang dipetik pada saat hujan masih berlangsung akan membuat kualitas tembakau menurun drastis yang menurunkan daya jualnya. Pabrik semakin enggan membeli dan harga tembakau makin anjlok, seperti yang sempat terjadi pada 2021 lalu, yang berdasarkan laporan Kompas menyebutkan ribuan ton tembakau yang tetap menumpuk di tempat petani dan pedagang sementara yang sudah terjual dibeli dengan harga yang rendah.

Itu belum termasuk mempertimbangkan risiko perubahan iklim yang membuat cuaca sering ekstrim dan tidak menentu sama sekali. Atau soal potensi kerusakan tanah yang mungkin terjadi. Atau soal alih fungsi lahan yang--jangan sampai--bisa saja tiba-tiba datang. Bagi para petani ini, ada perubahan apa saja di alam bisa berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung terhadap nasib mereka.

Mengakui dan mengagumi betapa cantik dan magisnya alam memang bukan hal yang salah. Tetapi perlu disadari juga bahwa  ada bermacam proses sosial, budaya, dan ekonomi yang berdiri dan juga punya ikatan kuat dengan alam. Sehingga sudah sepatutnya bahwa kekaguman terhadap alam tidak hanya berhenti di pandangan mata, tetapi juga turun menjadi upaya untuk menjaga baik eloknya alam bumi maupun kehidupan di atasnya.

Ikuti tulisan menarik Seftyana Nisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB