x

Ilustrasi : Aksi Perjuangan Kaum Buruh Indonesia

Iklan

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

Mahasiswa Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta
Bergabung Sejak: 15 September 2023

Selasa, 19 September 2023 18:44 WIB

Isu Kesetaraan Gender Tidak Bisa Lepas dari Politik

Masih banyak buruh perempuan yang tidak diberikan cuti haid, padahal hal itu tercantum dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Sebagian besar karyawan perempuan belum tahu hak mereka untuk cuti haid, khususnya pekerja di sektor informal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara tentang kesetaraan gender, kita juga tidak boleh lupa bahwa hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari politik. Misalnya gerakan perempuan yang meletus pada tahun 1789 (Revolusi Prancis) yang lahir akibat suasana politik yang sangat represif terhadap hak-hak perempuan pada masa itu. Lalu gerakan perempuan menjamur hingga Inggris dan Amerika Serikat.

Kemudian Internasional Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional adalah titik tolak sejarah para perempuan anggaota Partai Komunis dan Partai Sosialis di Rusia, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa pada masa Perang Dunia I.

Gerakan tersebut menuntut hak memilih dalam pemilu. Salah seorang tokohnya adalah Clara Zetkin, seorang perempuan dari kubu sosialis di Jerman yang mengusulkan hari perempuan pekerja internasional untuk mengampanyekan hak memilih dan kesetaraan hak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah Revolusi Februari di Rusia, pada bulan juli 1917, perempuan yang umurnya di atas 20 tahun diberikan hak untuk memilih dan memegang jabatan publik. Kesempatan untuk menggunakan hak tersebut baru diperoleh pada pemilhan Majelis Konsituante pada bulan 1917. Perjuangan perempuan di Indonesia pun menumpuh jalan panjang, hingga akhirnya disahkan Undang-Undang (UU) Pemilu, Pasal 65 Ayat 1 Tahun 2003.

Budaya Patriarkal yang Mengakar Kuat di Indonesia

Apakah kita masih ingat ucapan Prilly Latuconsina di podcast Puella yang berjudul Cinta Laura & Prilly Latuconsina: Kenapa cowo takut sama kita? pada dua tahun yang lalu. Di podcast tersebut, Prilly menyatakan pendapatnya mengenai kesetaraan gender.

Mengutip perkataan Prilly, “Jadi sebagai perempuan kamu harus mandiri. You don't know what's gonna happen. Kamu ga bisa ketergantungan sama laki-laki karena kamu ga tau laki-laki itu bakalan ada terus di samping kamu atau ngga. Dan ga usah ngomongin laki-laki deh, kamu ga bisa ketergantungan juga sama orang tua.”

Menurutnya sebagai perempuan jangan mau dianggap lemah. Misalnya, perempuan harus di dapur, atau jadi ibu rumah tangga saja. Kemudian Prilly mengatakan perempuan untuk mematahkan stigma tersebut, ”You can be a mother, you can be wanita karir, you can be anything you want”.

Sekilas kita bisa mengatakan bahwa akar ketidakadilan gender bagi perempuan adalah budaya patriarkal yang telah mengakar kokoh di negeri ini. Saya sendiri tidak setuju dengan penyebutan wanita. Kata ’wanita’ berasal dari bahasa Sanskerta ’vanita’ yang memiliki arti yang diinginkan.  

Dengan demikian, sosok wanita seolah-olah hanyalah objek yang diinginkan oleh laki-laki. Makna wanita pun memiliki turunan, yakni kewanitaan dan merujuk pada wanita khas keraton. Di sisi lain, ’perempuan’ memiliki mankan konotasi yang berbeda. ’Perempuan’ berasal dari kata ’empu’ yang berarti tuan.

Menurut Engels dalam buku Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia karya Soekarno kekelahan terbesar perempuan adalah ketika sistem matriarkal menjadi patriarkal.  Pada mulanya perempuan adalah induk cultuur. Perempuanlah yang melakukan pemilihan atas makanan, meracik makanan, membuat tingkatan pertanian yang lebih tinggi, dan berburu.

Kesetaraan Gender Bukan Sekadar Kata Mandiri dan Enggak Butuh Lelaki

Pendapat Prilly tentang kesetaraan gender boleh kita acungi jempol karena mampu merobek budaya patriarkal yang telah tumbuh subur di negeri ini. Namun sayangnya, pendapat Prilly masih bersifat individualis dan apolitis.

Masih banyak buruh perempuan yang tidak diberikan cuti haid, padahal cuti haid sudah tercantum dalam undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Direktur Lembaga Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum, mengatakan sebagian besar karyawan perempuan masih belum tahu tentang hak mereka akan cuti haid, khususnya pekerja di sektor informal.

Dalam pasal 13 ayat (1) UU 12 tahun 1948 menyebutkan, ”Buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua haid.” Kemudian dalam perjalanannya undang-undang mengalami pergesaran, terutama sejak UU No. 13 tahun 2003 yang berbunyi, ”Pekerja peremupuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib berkerja pada hari pertama dan kedua waktu haid.”

Selain tercantum dalam UU No. 13 tahun 2003, haid juga termasuk dalam UU No. 7 Tahun 1984 tentang kesehatan seksual reproduksi dan dalam HAM, UU No. 11 tahun 2005 tentang sosial budaya, The Convention on The Elimination of All Forms of Dicrimination against Women (CEDAW).

Ini baru kasus cuti haid. Masih banyak diskriminasi lainnya yang masih dilakukan oleh perusahaan untuk memberikan perlindungan saat pekerja perempuan hamil, upah saat hamil dan biaya persalinan, hak dan fasilitas menyusui. Semoga beberapa tahun ke depan, masyarakat sudah melek dan berani melawan diskrimanasi terhadap hak-hak perempuan dengan bersama-sama.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Ridwan Tri Wibowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB