x

ilustr: bramardianto.com

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Senin, 2 Oktober 2023 08:20 WIB

Menguatnya Isu Dua Poros Menunjukkan Cupu-nya Partai Politik

Menguatnya kembali isu dua poros semakin mengonfirmasi bahwa partai-partai politik saat ini sedang mengidap insecure syndrome. Mereka merasa rendah diri dan tidak berdaya di hadapan ambisi di panggung belakang politik elektoral. Menyedihkan!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tinggal dalam hitungan pekan pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden akan dibuka oleh KPU. Sementara hingga hari ini, baru satu poros yang sudah lengkap memiliki bacapres dan bacawapres. Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) adalah poros yang sudha siap, dan mereka bakal mengusung Anies-Cak Imin (AMIN).

Alih-alih menetapkan bakal calon wapres, poros PDIP-Ganjar dan KIM-Prabowo belakangan malah seperti dipaksa ikut sibuk merespon wacana lama yang kini menyeruak kembali ke panggung pra-kandidasi elektoral. Bahwa ada kemungkinan Pilpres bakal diikuti oleh hanya dua pasangan calon (Paslon).

Merujuk pada keyakinan Jazilul Fawaid (Waketum PKB), orang yang pertama kali melontarkan wacana dua poros ini beberapa waktu lalu, serta respon dan pernyataan dari sejumlah elit partai, kedua poros dimaksud bakal mewakili dua polar (kubu) agenda besar politik. Yakni poros KPP yang merepresentasikan semangat perubahan dan poros bauran (Ganjar-PDIP dan Prabowo-KIM) yang merepresentasikan pilihan sikap politik keberlanjutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lantas apa kira-kira yang sedang terjadi di panggung belakang proses pra-kandidasi Pilpres 2024 ini? Hingga demikian sulitnya kubu Prabowo-KIM dan kubu Ganjar-PDIP menentukan sosok untuk bacawapres masing-masing, lalu tetiba mencuat kembali isu dua poros capres-cawapres. Padahal stok figur di masing-masing kubu sudah lebih dari cukup. Seperti ada “beban politik” yang menindih pundak para elit di kedua kubu ini.

Merebaknya kembali wacana dua poros ini pastinya tidaklah muncul dari ruang hampa kepolitikan elektoral. Di awal fase tahapan Pemilu dimulai, tepatnya menjelang proses pra-kandidasi beberapa bulan lalu, sudah tersiar kabar bahwa ada pihak-pihak yang menghendaki Pilpres hanya diikuti oleh dua pasang calon yang keduanya merepresentasikan semangat keberlanjutan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Dalam kerangka keinginan itu hadirnya sosok Anies Baswedan yang sejauh ini diposisikan sebagai antitesa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dianggap merupakan ancaman. Karena itu sebisa mungkin Anies harus dihambat lajunya di pacuan kontestasi elektoral. Beberapa peristiwa politik mengindikasikan ini, dan jejaknya tersimpan di ruang digital.

Mulai dari penyelidikan kasus balapan mobil Formula E yang digelar Anies waktu menjabat Gubernur DKI, hubungan Surya Paloh-Jokowi yang kurang harmoni pasca Surya dan Partai Nasdem mempromosikan Anies ke orbit pencapresan, hingga ke gangguan terhadap legalitas Partai Demokrat kubu AHY oleh Moeldoko cs. Demokrat adalah pihak kedua setelah Nasdem yang mengikuti jejak Surya Paloh.

Fakta dinamis kemudian Anies lolos dari lubang jarum, lalu mengajak Cak Imin dan PKB bergabung, dan kini menjadi satu-satunya poros yang telah memiliki Bacawapres dan Tim Pemenangan serta siap mendaftar ke KPU. Berlatar belakang inilah ada beberapa fenomena hipotetik (atau lebih tepatnya spekulasi yang beredar) yang dapat dibaca sebagai “kode keras” di balik wacana dua poros sekaligus “syahwat” politik untuk mewujudkannya.  

 

Partai-partai Insecure

Pertama, menguatnya kembali isu dua poros ini semakin mengonfirmasi bahwa partai-partai politik saat ini sedang mengidap insecure syndrome, rendah diri, tak pede dan tidakk berdaya di hadapan ambisi dan kepentingan para pihak di panggung belakang politik elektoral.

Mereka seperti kehilangan kedaulatannya sebagai partai politik, bahu dimana aspirasi rakyat disandarkan. Lumpuh layu di saat harus segera memutuskan siapa calon pemimpin yang ditawarkan kepada rakyat untuk mendapatkan mandat amanah mereka. Sindrom ini bahkan diderita oleh PDIP, partai terbesar pemenang dua kali Pemilu terakhir dan memiliki figur kuat Megawati, dan Gerindra, partai kedua pemenang Pemilu yang juga memiliki sosok sekuat Prabowo.

Prabowo bisa memobiliasi sejumlah partai lain dan para relawan merapat kepadanya. Demikian juga Megawati. Tetapi (sementara) gagal, atau setidaknya belum memiliki keberanian untuk memutuskan siapa figur yang dimajukan sebagai Bacawapres masing-masing. Situasi ini diduga kuat karena keduanya belum mendapatkan “lampu hijau” atau semacam restu dari mastermind perihal siapa yang harus dipromosikan.

 

Potensi AMIN Menang

Kedua, menguatnya kembali isu dua poros boleh jadi juga karena semakin solidnya kubu KPP setelah deklarasi Anies-Cak Imin dan dukungan kencang dari PKS. Meski lembaga-lembaga survei masih menempatkan AMIN di posisi terbawah potensi elektabilitasnya, kemungkinan besar para mastermind memiliki data pembanding yang mereka lebih percayai. Atau setidaknya data ini membuat mereka merasa cemas. Bahwa AMIN berpotensi besar memenangi Pilpres.

Jangan-jangan data intelijen yang pernah diungkapkan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu itu sebagiannya terkait soal potensi besar kemenangan AMIN. Pernyataan Jokowi ini nyaris berbarengan dengan merebaknya kembali isu dua poros koalisi.

Memang agak aneh dan melawan nalar sederhana publik sebetulnya. Semua lembaga survei berkali-kali merilis posisi Anies selalu terbawah. Posisi satu dua, bolak balik gantian diraih   Prabowo atau Ganjar. Tetapi hingga saat ini baik Prabowo maupun Ganjar belum berani memutuskan siapa bakal pendampingnya.

Hingga saat ini pula trend kampanye negatif yang menilai Anies telah gagal kala memimpin DKI terus dihidupkan. Sejumlah isu yang potensial dapat mendegradasi Anies terus dihembuskan nyaris tanpa jeda. Di sisi lain berbagai sisi keberhasilan dan keunggulan Prabowo dan Ganjar dikedepankan setiap hari. Tapi anehnya, sosok Anies, terlebih setelah didampingi Cak Imin tampaknya kian menjadi sosok yang mencemaskan lawan-lawan politiknya.

 

Poros Bauran

Jadi menguatnya kembali wacana dua poros Pilpres ini boleh jadi mengonfirmasi ulang, bahwa ambisi dan kepentingan para mastermind seperti disinggung didepan tadi terbukti masih hidup. Dan menjadi kian kencang ketika sejumlah patahan puzzle elektoral tidak dapat dikendalikan sepenuhnya, bahkan mampu merangkai peta jalan politiknya sendiri.  

Kepentingan dan ambisi itu, sekali lagi adalah melahirkan kepemimpinan baru yang pro keberlanjutan, yang (hanya) harus meneruskan arah kebijakan dan sisa-sisa program pemerintahan Jokowi yang belum selesai. Dan strategi yang paling aman untuk mewujudkan kepentingan dan ambisi ini adalah dengan menciptakan poros bauran, yakni menyatukan dua poros kekuatan yang satu frekuensi menjadi satu : Prabowo-Ganjar atau Ganjar-Prabowo dengan gabungan kekuatan partai pengusungnya lebih dari dua pertiga.

Dengan demikian, potensi kemenangan diyakini ada dalam genggaman, Anies-Cak Imin diyakini bakal tumbang dan jadi pecundang. Lalu Pilpres cukup satu putaran, dan kepentingan para mastermind diyakini bakal aman.

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB