x

Gus Dur dan Amien Rais. Foto: Wikipedia

Iklan

Geza Bayu Santoso

Philosophy Student, Faculty of Ushuluddin and Islamic Thought, State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bergabung Sejak: 26 April 2023

Rabu, 4 Oktober 2023 06:39 WIB

Seni Memahami Politik Gus Dur (3)

Gus Dur telah mencontohkan kepada kita untuk terus bersuara. Menjadi oposisi publik adalah satu dari banyak hal yang dilakukan Gus Dur untuk menjaga check and balances penyelenggaran demokrasi. Selain itu juga untuk mewujudkan demokrasi substansial yang Gus Dur inginkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memikirkan apa atribusi yang layak melekat kepada Gus Dur, sama sulitnya dengan bagaimana mewujudkan demokrasi substansial yang beliau gaungkan. Gus Dur adalah presiden yang budayawan, pemimpin yang  agamawan, dan esais sejati. Sengaja saya lekatkan atribusi esais kepada Gus Dur— karena hobinya yang satu ini jarang dibicarakan publik, bahwa Gus Dur adalah penulis tekun, persistensinya dalam menulis sangat mengagumkan, sungguh suri tauladan kepenulisan yang sangar. 

Saat Gus Dur pulang, 30 Desember 2009, saya masih belajar di taman kanak-kanak, kira-kira  usia saya baru 7 tahun. Jujur, saya iri dengan mereka yang saat Gus Dur pulang, sudah mengenal gagasan dan pribadinya. Iri betul karena mereka bisa menangisi kepergian guru bangsa, kepulangan champions demokrasi Indonesia. Saya juga ingin tersedu-sedu saat Gus Dur pulang, tapi sayang, saya 2009 tak mengerti siapa Gus Dur dan bagaimana perjuangannya.

Menangisi kepergian seseorang memang tak baik. Ini senada dengan ungkapan budayawan Sudjiwo Tedjo, orang meninggal harusnya disambut dengan kebahagiaan, sebab ia sudah pulang, tak ikut lagi menggubris problematika dunia yang remok ini. Sekarang, saya malah sering tertawa saat membaca, melihat, dan mengamati Gus Dur, taji kelucuan beliau tiada tanding, leluconnya menghibur masyarakat akar rumput.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gus Dur dan Demokrasi

Demokrasi Indonesia modern ini mengalami regresi yang menyedihkan, kebebasan berpendapat menjadi khayalan, paparan naskah akademik dilawan dengan undang-undang pencemaran nama baik. Kasus Haris-Fatia adalah contoh besar penurunan kualitas demokrasi Indonesia, penolakan intelektual publik Rocky Gerung di (Jogja dan Surabaya) juga jadi salah satu kasus yang menegaskan, bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Ada dua prinsip demokrasi yang dibangun oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur; demokrasi  prosedural dan demokrasi substansial. Sayangnya, bangsa Indonesia hingga saat ini baru bisa mengaplikasikan demokrasi prosedural (NU Online). Demokrasi substansial yang dimaksud Gus Dur adalah demokrasi yang orientasinya berfokus pada kemaslahatan dan keseimbangan.

Praktik Demokrasi Indonesia modern ini hanya berfokus pada agenda prosedural, memilih legislatif, memilih eksekutif, dan melakukan penyelesaian masalah dengan pendekatan keamanan, pendekatan yang dalam praktiknya terbukti represif kepada masyarakat. Seyogianya, Demokrasi substansial musti dijalankan dan diperjuangkan, praktik demokrasi yang berorientasi pada  penegakan nilai humanisme dan hukum berkeadilan.

Gus Dur juga masuk dalam inti permasalahan, masalah utama demokrasi adalah oposisi yang tidak solid dan rakyat yang terpecah belah, Gus Dur berupaya untuk menghidupkan kembali civil society, membangun masyarakat agar solid dan terkonsolidasi. Bagaimanapun juga, masyarakat akar rumput harus didampingi aktivis terbaik, pendidikan tinggi harus diisi oleh dosen berkualitas, dan tidak membiarkan banyak orang baik masuk parlemen, jika orang baik masuk parlemen semua, civil society bakal tak terisi, lemah dan tak siap bernegosiasi dengan negara.

Gus Dur dan Rocky Gerung: Oposisi Panutan

Perjalanan Indonesia pasca reformasi menelurkan banyak tokoh oposisi, intelektual publik Rocky Gerung salah satunya, oposisi dalam kehidupan demokrasi adalah harus, logika dan argumen oposisi adalah penyeimbang kekuasaan, praktik kekuasaan tanpa perlawanan oposisi hanya akan melahirkan otoritarianisme versi baru. Agar demokrasi substansial dapat diwujudkan, ruang publik bangsa ini musti harus riuh dengan ide, gagasan, dan perdebatan.

Kasus Rocky yang viral karena pernyataan “bajingan tolol” memang tak dapat dibenarkan, kalau kata Pak Goenawan Mohamad “makin keras ia memakai  kata-kata, makin tampak kosong isi pikirannya” pendiri Tempo ini kembali nge-tweet “Kata-kata kasar untuk dan tentang Jokowi, Prabowo, Anies, Ganjar tak akan memperbaiki demokrasi kita— atau memperbaiki apa saja”

Kata-kata kasar memang tak arif, apalagi diucapkan dalam mimbar-mimbar akademik. Saya setuju dengan gagasan substansial Rocky Gerung, tapi tidak dengan caranya menyampaikan. Namun, terlepas dari kasus diatas, Rocky dan Gus Dur punya kesamaan, sama-sama tokoh oposisi publik, Gus Dur menentang kekuasaan Orde Baru yang otoriter, Rocky merawat demokrasi pasca reformasi dengan logika oposisinya. 

Saat peluncuran Gusdurian Academy sesi “Gus Dur dan Demokrasi”. Pak Gaffar Karim sebagai narasumber menyampaikan, bahwa Gus Dur pernah mencela Soeharto dengan nada “stupid” karena tak menjalankan ide gagasan reformis yang ia sampaikan. Di tengah hegemoni kekuasaan orde baru, pernyataan Gus Dur tergolong sangat berani, jauh lebih berani ketimbang apa yang dilakukan Rocky Gerung.

Kita sebagai generasi penerus Gus Dur, musti merawat demokrasi dengan kritis dialogis,  Gus Dur telah mencontohkan kepada kita untuk terus bersuara, beliau aktif menyuarakan wacana kritis lewat media masa, karena hanya voice dan vote yang kita miliki. Berisik gagasan dan ide-ide segar di media sosial adalah upaya terbaik untuk merawat, memperjuangkan, dan mewujudkan demokrasi substansial.






Ikuti tulisan menarik Geza Bayu Santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB