Kegagalan Total Pemerintah dalam Mitigasi Krisis Pangan
Sabtu, 7 Oktober 2023 07:28 WIB
Krisis (darurat) yang dimulai dari rapuhnya ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, bukan tidak mungkin akan meluas menjadi krisis multidimensional.
Mitigasi Krisis Pangan, adalah suatu tindakan mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan akibat terjadinya kelangkaan pangan yang dialami sebagian masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam, serta konflik sosial termasuk perang.
Menurut Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi, krisis pangan memiliki tingkatan tertentu. Suatu negara dikategorikan mengalami krisis pangan apabila sudah tidak bisa menjangkau makanan, tidak ada makanan yang tersedia, bahkan sampai kekurangan gizi dan mengalami gizi buruk.
Prognosa Neraca Pangan Nasional mencatat, sampai dengan akhir Desember 2022 komoditas yang mengalami surplus antara lain beras sebanyak 7,5 juta ton, jagung 2,8 juta ton, kedelai 250 ribu ton, bawang merah 236 ribu ton, bawang putih 239 ribu ton, cabai besar 53 ribu ton, cabai rawit 72 ribu ton, daging ruminansia 58 ribu ton, daging ayam ras 903 ribu ton, telur ayam ras 191 ribu ton, gula konsumsi 806 ribu ton, dan minyak goreng 716 ribu ton.
Dari sejumlah komoditas tersebut beberapa terjamin stoknya adalah karena setelah dilakukan importasi, bukan swasembada, seperti kedelai, bawang putih, daging ruminansia, dan gula konsumsi.
Krisis (darurat) yang dimulai dari rapuhnya ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, bukan tidak mungkin akan meluas menjadi krisis multidimensional. Sebab, pangan adalah variabel faktor fundamental dari kehidupan, mati hidupnya suatu bangsa akan ditentukan oleh ketahanan dan kedaulatan pangannya.
Menatap situasi dan kondisi negeri ini dalam kurun terakhir ini, maka bagaimanakah sebenarnya manakala pemerintah dalam menghadapi krisis pangan yang sudah mulai dirasakan kecenderungannya? Dan, krisis pangan dimaksud tak hanya negeri ini saja yang merasakannya. Namun sebagian besar negara-negara di dunia pun mengalami juga, tanpa terkecuali. Itulah yang pada akhirnya mengerucut menjadi dan bernama krisis global.
KESEIMBANGAN ALAM TERKOYAK, KRISIS PANGAN MENYERUAK
Tuhan menciptakan alam semesta dengan keseimbangan yang sempurna (QS. Al-Mulk 67:3-4). Namun keserakahan manusia telah merusak sistem keseimbangan ciptaan Tuhan sehingga mengakibatkan berbagai bencana.
"yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?" (QS. Al-Mulk 67: Ayat 3)
"Kemudian ulangi pandangan(mu) sekali lagi (dan) sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu tanpa menemukan cacat dan ia (pandanganmu) dalam keadaan letih." (QS. Al-Mulk 67: Ayat 4)
"yang membuat angin sebagai suruhan-suruhan-Mu, dan api yang menyala sebagai pelayan-pelayan-Mu," (Mazmur 104:4)
"yang telah mendasarkan bumi di atas tumpuannya, sehingga takkan goyang untuk seterusnya dan selamanya." (Mazmur 104:5)
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menginstruksikan jajarannya untuk mewaspadai situasi dunia yang tidak dalam kondisi normal serta mengantisipasi krisis pangan, energi dan keuangan global.
Arahan tersebut disampaikan Presiden saat memimpin Sidang Kabinet Parpurna (SKP) di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/6/2022).
"Krisis energi, krisis pangan, krisis keuangan sudah mulai melanda beberapa negara. Ada kurang lebih 60 negara yang dalam proses menghadapi tekanan karena utang sehingga menekan ekonominya, tidak ada devisa, dan masuk pada yang namanya krisis ekonomi, krisis keuangan negara itu. Contohnya satu, dua, tiga sudah mulai kelihatan dan dperkirkan nanti akan sampai ke angka tadi. Inilah yang harus betul-betul kita waspadai," ujar Presiden.
Kemudian, dalam jangka waktu pendek Kepala Negara meminta jajarannya untuk meningkatkan produksi sehingga tidak bergantung pada impor.
Sebagian besar kalangan ahli, pakar dan pengamat klimatologi menyatakan bahwa krisis iklim adalah target terbesar yang memancing banyak masalah global yang mengkhawatirkan, yakni krisis kelaparan global. Selanjutnya, dunia akan gagal beradaptasi, bahkan lebih jauh lagi, miliaran orang akan kelaparan.
Krisis pangan yang terjadi di suatu negara, akan memicu timbulnya krisis lain seperti krisis sosial dan krisis keamanan, seperti yang telah terjadi di beberapa negara di Afrika. Krisis pangan di Negara-negara tersebut telah memicu meningkatnya tindak kriminal, gangguan keamanan bahkan peperangan.
Kekhawatiran terjadinya krisis pertanian dan pangan ini diungkapkan oleh Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Mark Smulders beberapa waktu yang lalu saat mengadakan pertemuan dengan para pejabat terkait di Kementerian Pertanian dan pihak terkait lainnya di Jakarta beberapa waktu yang lalu (www.pertanian.go.id). Meskipun krisis yang terjadi di Indonesia tidak seburuk yang terjadi di negara lain seperti Filipina dan Karibia, namun kondisi perubahan iklim global ini tetap harus diwaspadai, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan cakupan wilayah yang sangat luas dan memilki karakteristik iklim dan cuaca yang sangat beragam.
Beberapa penelitian di FAO menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara yang akan paling menderita akibat perubahan iklim, terutama terjadinya kekeringan dan banjir. Pasalnya, fenomena ini akan menurunkan produksi pangan dan kapasitas produksi pertanian.
"Misalnya, di Pulau Jawa karena perubahan iklim, diprediksi akan terjadi penurunan produksi sebesar 5% pada tahun 2025 dan penurunan 10% pada tahun 2050 mendatang. Penurunan produksi itu bahkan bisa lebih dari itu, ini perlu diwaspadai dan diantisipasi secara dini," ungkap Mark.
Menurut prediksi Mark, di Indonesia pada tahun 2050 yang akan datang, akan terjadi lonjakan jumlah penduduk yang sangat drastis, mengingat laju pertumbuhan penduduk saat ini yang masih relatif tinggi. Ini harus diantisipasi dengan menaikkan produksi pangan paling tidak sebesar 60%.
Untuk bisa mencapai target tersebut, mau tidak mau, pemerintah harus mampu meminimalisir dampak perubahan iklim ini secepatnya, misalnya dengan memperketat pengawasan dan pemeliharaan kawasan hutan untuk mencegah illegal logging dan pembakaran hutan, mengurangi penggunaan material anorganik seperti plastik dan sterefoam, meminimalisir penggunaan pestisida dan zat kimia berbahaya lainnya dalam usaha pertanian dengan menggalakkan pemanfaatan bahan nabati dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta mempercepat adopsi teknologi pertanian.
Selain itu upaya memperbaiki kualitas lingkungan juga harus terus dilakukan dengan melibatkan semua elemen masyarakat, karena tanpa keterlibattan masyarakat, program penyelamatan lingkungan akan sulit berhasil.
Sementara, laporan tahunan yang dihasilkan oleh Jaringan Informasi Ketahanan Pangan (FSIN) diluncurkan oleh Jaringan Global Melawan Krisis Pangan (GNAFC) -- sebuah aliansi internasional yang terdiri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, yang berupaya untuk mengatasi krisis pangan bersama-sama.
Laporan tersebut menemukan bahwa sekitar 258 juta orang di 58 negara dan wilayah menghadapi kerawanan pangan akut pada tingkat krisis atau lebih buruk (IPC/CH Fase 3-5) pada tahun 2022, naik dari 193 juta orang di 53 negara dan wilayah pada tahun 2021. Hal ini merupakan angka tertinggi dalam tujuh tahun sejarah laporan tersebut.
Ancaman krisis pangan yang akan menimpa bangsa Indonesia, adalah sebagai berikut:
- Dampak Elnino terhadap kekeringan dan merosotnya produksi beras.
- Indonesia mulai kesulitan impor beras dan tanaman pangan akibat banyak negara-negara yang menghentikan ekspor produk pangannya.
Sudah 22 negara yang menghentikan ekspor panganya, demi mengantisipasi dan menyelamatkan rakyatnya sendiri. Negara-negara yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Rusia, Inggris Raya, Jerman, Belanda, Ukraina, Hungaria, Italia, Uganda, Australia, China, Jepang, India, Uni Emirat Arab, Korea Selatan , Thailand, Bangladesh, Vietnam, Pakistan, Myanmar. (www.badanpangan.go.id)
Kondisi tersebut memicu lonjakan harga kebutuhan pangan pokok, utamanya beras yang tren-nya terus melonjak dari waktu ke waktu, dan diperkirakan mengalami puncak kenaikan pada akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024.
KESALAHAN YANG MENUAI KEGAGALAN TOTAL
Kesalahan fatal pemerintah adalah karena lebih memfokuskan pada pembangunan fisik dan kurang berorientasi pada pencapaian swasembada pangan. Sementara, kurangnya infrastruktur pertanian dijadikan kambing hitam ketika ketahanan pangan telah dirasakan mulai terkoyak.
Berikut ini data perbandingan jumlah bendungan antara Indonesia, China dan India, yakni sebagai berikut:
- Indonesia : 231 bendungan
- India : 5.701 bendungan
- China : 110.000 bendungan (www.kompas.com, 30/7/2018)
Permasalahan sebenarnya, bukan kurangnya jumlah bendungan. Sebab, padi selain bisa ditanam di lahan basah, juga ada yang bisa ditanam di lahan tadah hujan, bahkan lahan kering/ladang.
Ini karena budidaya tanaman padi sudah tidak menguntungkan di mata masyarakat. Dibarengi juga akibat Pemerintah terlalu menjaga rapor inflasi dan tak peduli dengan kesejahteraan petani. Pemerintah selalu berupaya menekan kenaikan harga pangan dengan melakukan impor berbagai produk pangan. Kondisi ini yang mematikan semangat petani untuk bercocok tanam.
Bayangkan saja, harga gabah selama ini di bawah harga getah karet, dan sedikit di atas sawit. Maka, wajar saja bila masyarakat lebih suka tanam sawit atau karet dibandingkan dengan tanam padi, dan trend luas areal pertanian pangan semakin menyusut yang seharusnya semakin meningkat setiap tahun untuk mengimbangi kenaikan jumlah penduduk. Pada gilirannya, petani banyak yang beralih ke profesi lain karena harga komoditi pangan tidak menjanjikan keuntungan.
Perbandingan harga gabah Bulog dengan harga getah karet sebelum terjadinya lonjakan harga adalah sebagai berikut:
- Harga getah karet alam adalah Rp 7.000 s.d. Rp 12.000/kg
- Harga Gabah Kering Giling (GKG) Rp 4.000/kg. (www.bps.go.id)
Perhitungan:
- 4 juta ton beras membutuhkan areal tanam lahan kering (padi ladang) 4 juta hektar, dengan produktivitas 1 ton beras per 1 hektar.
- Lahan sawah tadah hujan atau irigasi dengan 1 kali tanam per tahun dan produktivitas 3 ton beras per ha, butuh luas sawah kurang lebih 1,5 juta ha.
- Lahan tadah hujan atau irigasi dengan pola 2 x tanam dalam setahun, butuh 0,75 juta hektar lahan sawah.
- Total luas areal tanam padi hanya 10 juta hektar.
Ini berarti, kalah jauh dengan sawit yang mencapai 16 juta hektar. Maka, secara ekonomi bisnis, sawit lebih menguntungkan dibandingkan dengan padi.
BPS mencatat, mayoritas atau 15,89 juta petani hanya memiliki luas lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Sebanyak 4,34 juta petani lahan pertaniannya hanya di kisaran 0,5-0,99 ha. Kemudian, petani yang luas lahan pertaniannya sebesar 1-1,99 ha sebanyak 3,81 juta jiwa.
Petani yang luas lahannya di kisaran 2-2,99 ha sebanyak 1,5 juta jiwa. Di atas luasan itu, jumlah petaninya tak ada yang sampai 1 juta jiwa.
Kondisi ini pun diperparah dengan menyusutnya luas lahan pertanian di dalam negeri. Sebagai contoh, luas lahan baku sawah nasional sebesar 8,07 juta ha pada 2009. Angka tersebut kemudian menyusut menjadi sebesar 7,46 juta ha pada 2019.
Dua tahun setelahnya, BPS belum mencatat berapa luas lahan baku sawah di Indonesia. Data terakhir masih berbasis kepada Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019.
Alih fungsi lahan akan terjadi terus menerus yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan lahan seperti, pemukiman, industri, perkantoran, tempat wisata, jalan raya dan infrastruktur lain untuk menunjang perkembangan masyarakat.
Dampaknya jelas, produktivitas pangan akan menjadi berkurang atau menurun. Lahan pertanian yang menjadi lebih sempit karena alih fungsi menyebabkan hasil produksi pangan juga menurun, seperti makanan pokok, buah-buahan, sayur, dan lain-lain.
Maka dari itu, ketahanan pangan bangsa rawan terancam oleh tingginya potensi alih fungsi lahan di seluruh Indonesia yang mencapai 100.000 hektar per tahun. Butuh regulasi yang tepat untuk meminimalkan dampak buruknya untuk generasi yang akan datang.
Sebenarnya, untuk menjaga angka inflasi, Pemerintah bisa memberlakukan kebijakan distribusi beras seeperti halnya terhadap BBM, dengan memberikan subsidi harga pada beras kelas medium, sebagaimana berikut ini,
- Gabah dibeli oleh Bulog dengan harga yang menguntungkan petani (Rp 7.000 s.d. Rp 10.000 per kilogram)
- Selanjutnya menjual beras medium dimaksud dengan harga Rp 10.000.
Hal ini akan mendorong petani jadi bergairah dalan melakukan budidaya padi, meskipun tanpa kucuran dana bantuan dari pemerintah.
Inilah yang menjadi masalah bagi Dinas/Departemen terkait, karena dengan subsidi harga mereka tidak bisa mendapatkan apa-apa (vested interest yang hangus). Wajarlah kalau dinas/departemen pertanian menjadi sarang koruptor, dan menterinya sekarang sudah menjadi tersangka dalam kasus korupsi ( www.kompas.com, 3/10/2023)
Kebijakan food estate sebagai antisipasi terhadap krisis pangan nyatanya tak membuahkan hasil, alias gagal juga. Bahkan, berdampak pada kerusakan lingkungan.
Food estate berpotensi meningkatkan risiko deforestasi, musnahnya flora fauna, dan memicu bencana yang akan menjadi sumber penderitaan bagi masyarakat Indonesia.
Inilah bukti kegagalan pemerintah dalam melakukan mitigasi krisis pangan.
Beberapa pembangunan proyek food estate terindikasi dilakukan secara ilegal dan merusak tutupan hijau serta lahan gambut. Seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Gunung Mas. Hampir 700 hektar hutan sudah dirusak. Pelaksanaan proyek ini penuh dengan konflik kepentingan.
Belum lagi yang terjadi di Sumatra Utara (42.000 hektar hutan alam), Jambi (32.000 hektar), Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua sebagai area yang ditargetkan menjadi food estate.
Penduduk sekitar sudah merasakan dampak dari kerusakan iklim akibat pembukaan lahan untuk food estate. Banjir, erosi, hingga gangguan kesehatan akibat karhutla (kebakaran hutan dan lahan) sudah dirasakan oleh mereka. Selain itu, masyarakat adat setempat juga kehilangan sumber pekerjaan dan pangan yang selama ini telah menghidupi mereka.
Akan ada sekitar 3 juta hektar hutan dan lahan yang akan bernasib sama dengan Kabupaten Gunung Mas apabila proyek ini dilanjutkan. Akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang menderita akibat bencana atas hilangnya hutan dan lahan.
Beberapa akitivis lingkungan hidup, Greenpeace perwakilan Indonesia misalnya, Syahrul Fitra, menyatakan agar Pemerintah menghentikan pembukaan hutan dan lahan untuk proyek food estate karena akan membawa dampak buruk bagi penduduk dan masyarakat adat setempat. Proyek food estate juga belum memberikan hasil yang baik, hanya ada kehancuran lingkungan dan krisis iklim yang semakin parah.
Saatnya pemerintah Indonesia memberikan solusi nyata untuk ketahanan pangan tanpa mengorbankan masyarakat dan sumber kehidupannya. (www.koran.tempo.co)
Ke depan, dengan kerusakan keseimbangan dunia yang semakin parah, maka produksi pangan dunia akan semakin menurun, ancaman berbagai bencana semakin semarak, baik bencana alam maupun bencana akibat konflik antar manusia (peperangan) dan semua bencana selalu berimplikasi pada kondisi krisis pangan.
Kegagalan kebijakan pemerintah dalam memitigasi krisis pangan harus dibayar mahal oleh bangsa ini ke depan. Oleh karenanya,
- Perbaikan keseimbangan alam dan
- Keseimbangan sosial-ekonomi
harus menjadi program prioritas sebagai wujud dari pertaubatan bangsa ini kepada Sang Khalik. Kemandirian/ketahanan pangan harus menjadi kebijakan utama bangsa ke depan.
Itulah pondasi ekonomi bangsa yang sebenarnya dari suatu negara agraris, Indonesia Nusantara.
Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara ....
*****
Kota Malang, Oktober di hari keenam, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
1 Pengikut

Menyaripatikan Hidup dalam Kehidupan
Rabu, 4 Desember 2024 08:32 WIB
Politik Uang, Uang Politik
Minggu, 1 Desember 2024 07:09 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler