Lima Kesedihan Usman
Selasa, 10 Oktober 2023 09:35 WIBKekecewaan itu sebenarnya dilatari oleh punahnya semua mimpinya untuk mencari penghidupan yang layak bagi anak dan istrinya. Sebagai seorang dosen di berbagai universitas swasta di Jakarta dan Yogyakarta, penghasilan yang didapat Usman belumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarga kecilnya.
Potret senja di Yogya
Kembali hujan saat sore menjelang senja. Dia termenung lama menatap langit kelabu. Entah apa yang dipikirkannya, anak laki-lakinya, sedang sibuk belajar untuk ujian semester di sekolahnya. Istrinya sedang memasak di dapur, untuk mereka sekeluarga.
Sementara dia, Usman, manusia kalabu asok, masih asyik dalam pikirannya saja. Banyak hal sebenarnya yang dialaminya tahun ini, ada yang menyedihkan, ada juga yang menyenangkan. Hal yang paling membuat dia larut dalam kesedihan mendalam, adalah ayahnya yang sangat dikagumi dan dihormatinya, harus dirawat di ICU di sebuah rumah sakit di Padang sana. Otak ayahnya kehabisan oksigen, akibat asma kronis yang membuat paru-paru gagal fungsi. Sehingga lehernya harus dilubangi, dan diberi tracheostomy, sebagai pelancar pernafasannya.
Hal yang kedua, yang selalu dikenangnya adalah tangisannya di sebuah sesi ujian bahasa Inggris, sesi speaking, yang langsung berhadapan dengan penutur asli bahasa Inggris. Tangisnya pecah ketika si penutur asli memintanya untuk menceritakan pengalaman yang paling mengesankan sepanjang hidupnya. Ia hanya teringat satu hal, yaitu sebuah pertandingan bola yang menegangkan antara tim nasional Brazil dan Jerman pada Piala Dunia tahun 2002, di Korea Selatan dan Jepang. Ia dan ayahnya menonton pertandingan itu di sebuah kota pegunungan yang dingin di Jawa Timur, yaitu daerah Batu di kota Malang.
Ketegangan saat itu sebenarnya bukan sepenuhnya karena pertandingan, melainkan adalah akibat mereka tak kunjung mendapatkan tempat menonton pertandingan bola yang layak di daerah Batu itu. Ia dan ayahnya berlari mencari restoran atau kafe yang diperuntukkan bagi orang yang ingin menonton pertandingan bola bersama, yang sekarang biasa disebut nobar (nonton bareng). Ketika mereka berhasil menemukan kafe, sebuah gol langsung tercipta dari kaki pemain bola legendaris Brazil, yaitu Ronaldo Luis Nazario Da Lima.
Melelehnya air mata Usman saat sesi speaking, pada ujian bahasa Inggris itu adalah karena ia terbayang kondisi ayahnya sekarang, yang tak berdaya akibat dihantam stroke, dan seolah hampir tiada harapan untuk sembuh.
Hal ketiga, yang membuat Usman sedih, adalah gagalnya aplikasi yang dikirimkannya ke sebuah universitas di Belanda, untuk kuliah sambil kerja di sana. Padahal, ia merasa bahwa bidang yang diteliti universitas Belanda itu, adalah bidang keahliannya, yaitu sejarah 65, yang menjadi topik tesisnya untuk meraih gelar master di sebuah universitas di Yogyakarta. Entah kenapa, aplikasi itu gagal, dan dia kecewa teramat sangat.
Kekecewaan itu sebenarnya dilatari oleh punahnya semua mimpinya untuk mencari penghidupan yang layak bagi anak dan istrinya. Sebagai seorang dosen di berbagai universitas swasta di Jakarta dan Yogyakarta, penghasilan yang didapat Usman belumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarga kecilnya.
Harapan untuk itu sebenarnya muncul meruak, ketika ia melihat beberapa temannya di media sosial membagikan informasi tentang sebuah universitas di Belanda tengah membuka lowongan peneliti terkait tema sejarah 65 di Indonesia. Hasil penelitian itu adalah berupa sebuah disertasi untuk meraih gelar Doktor di universitas tersebut.
Dia sangat yakin aplikasinya akan berhasil, disertai harapan indah, bahwa dengan itu dia bisa membiayai hidup anak dan istrinya, kebetulan uang simpanan mereka di bank sudah semakin menipis, sekitar kurang dari setahun lagi mungkin uang itu sudah habis. Gajinya sebagai dosen honorer di sebuah kampus swasta, cukup mengenaskan, boleh dikata penghasilannya satu semester mengajar di kampus itu jauh lebih kecil dibanding upah minimal bulanan di Provinsi DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta.
Akan tetapi, kenyataan ternyata berkata lain, kegagalan tersebut dialaminya dua kali, dua-duanya di universitas yang sama di Belanda sana. Entah alasannya apa, ia sudah mengirim dua aplikasi pada dua departemen di universitas tersebut, keduanya berbeda topik. Aplikasi pertama membahas tentang sejarah 65, seperti topik tesis yang ditulisnya untuk meraih gelar master. Aplikasi kedua adalah tentang demokrasi khas Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Dua-duanya ternyata mendapat balasan yang sama, yaitu bahwa universitas yang bersangkutan sudah mendapatkan kandidat peneliti yang lebih cocok, untuk menyelenggarakan penelitian.
Gagal, Usman telah gagal berkali-kali di tahun ini. Kesedihannya semakin mendalam. Di tengah keterpurukannya itu, ia tetap berharap akan perubahan pada kehidupannya. Terutama adalah perubahan ke arah yang lebih baik, entah bagaimana caranya.
Sebenarnya ia masih menyimpan satu harapan bahwa aplikasi doktoralnya di sebuah universitas di Inggris dan aplikasi beasiswanya pada sebuah kementerian di Indonesia, diterima, dan ia bisa melanjutkan studi di luar negeri. Tujuan utamanya adalah ketika dia telah menyelesaikan studi doktoralnya, ia bisa mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang layak, untuk membiayai hidup anak dan istrinya.
Secercah harapan mulai muncul, ketika universitas di Inggris tersebut menerima aplikasinya, dan ia memperoleh sebuah Unconditional Offer Letter. Hal ini seolah melambungkannya ke langit ketujuh, kepercayaan dirinya mulai tumbuh.
Hidup baginya kemudian menjadi seolah-olah sebuah akhir yang bahagia, dari sepanjang tahun, yang menyedihkan. Akan tetapi, takdir berkata lain pada Usman. Sebuah sore yang kelabu, menandai kegagalan itu. Hujan halus membasahi jalan dan pekarangan rumah kontrakannya. Bendahara RT (Rukun Tetangga), sedang berbicara dengan istri Usman, terkait solusi untuk mengatasi banjir lokal, yang kerap kali membasahi pekarangan, ketika curah hujan sangat tinggi. Dinding pembatas, yang semata kaki, mengelilingi pekarangannya, ternyata malah membuat air tak bisa mengalir dengan baik. Akibatnya, teras rumahnya, seringkali digenangi air, yang meluap dari pekarangan, yang tergenang.
“Dibolongi saja pembatas ini mbak, supaya air mengalir ke parit”, kata istri Usman pada si bendahara RT.
“Boleh mbak Yan, tapi bagaimana kalau dibangun saluran air saja, disemen, dan dialirkan dari bawah tanah, langsung ke parit?”, jawab si bendahara RT.
“Bisa juga begitu mbak, tapi apa tidak mahal?”
“Iya juga ya”.
Begitulah mereka berdua bercakap-cakap, sementara Usman hanya terdiam, sambil sesekali memerhatikan telepon genggamnya, menunggu surat elektronik dari panitia seleksi beasiswa. Beberapa kali ia tersenyum untuk kesopanan, walaupun demikian, hal tersebut tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia sangat berharap untuk mendapat beasiswa, dengan itu ia bisa melanjutkan kuliah dan membiayai hidup anak dan istrinya. Walaupun ia paham bahwa peluangnya tipis, karena jurusan yang dia ambil memang tidak linier dengan jurusan pada ijazah S1 (Sarjana) dan S2 (Magister), yang dimilikinya.
Ditambah lagi, salah satu pewawancara, yang mewawancarainya, menyatakan dengan ngotot, bahwa ia sebagai lulusan pascasarjana filsafat, tidak layak untuk mengambil S3 politik, walaupun ia sudah berkali-kali berkata bahwa kajian program S3 tersebut adalah filsafat politik, karena Supervisor S3 nya, adalah seorang pakar filsafat politik, dan kajian disertasinya adalah juga filsafat politik.
Tak sabar, Usman meminta izin pada istrinya, untuk pergi ke warung internet (warnet), di dekat kontrakan mereka. Dengan menggunakan sepeda motor, ia menuju warnet. Jantung berpacu, degupan mengalahkan dentuman petir di telinganya.
Memang hari itu bukanlah harinya, atau mungkin sepanjang tahun ini bukanlah hari-hari Usman. Semua hal yang seolah menggiring ke akhir bahagia, pupus bagaikan gumpalan debu diterjang buliran air hujan menderu.
Dua kata itu, yang memastikan kegagalannya. Ia pergi begitu saja dari warnet, mengendarai sepeda motornya menembus hujan.
“Mati kau Usman! Mati kau!”, ucapnya pada dirinya sendiri.
“Sudah tak ada artinya hidupmu pecundang! Mati sajalah kau!”
Menembus hutan belantara, dengan jalanan tak rata, buliran air hujan semakin menusuk wajahnya. Helmnya sudah terlepas entah kemana. Inilah akhir semuanya tahun ini. Tahun gagal, sama seperti dua belas tahun yang lalu, ketika kuliah dan otaknya berantakan, akibat hidup dalam alam khayal belaka. Bahwa masyarakat tanpa kelas akan tercipta, jika dia menuruti hatinya, ikut dalam barisan para penipu, yang berlagak sosialis.
Mudah-mudahan tahun ini, ia tidak harus menghabiskan waktu berbulan-bulan di rumah sakit jiwa, seperti dulu. Hampir setahun kejiwaannya guncang, beberapa kali ia mencoba bunuh diri, dan selalu digagalkan oleh ayahnya, yang entah mengapa, tetap ingin anaknya yang pecundang ini tetap hidup.
“Ayah, Ibu, maafkan aku yang hanya bisa jadi pecundang! Malu aku sama adik-adik, mereka hidupnya lancar, aku hancur!” Teriaknya di tengah hujan, di atas sepeda motor.
Hari sudah semakin gelap, senja sudah larut. Tanpa disadarinya, ia hanya berputar-putar mengelilingi belantara kelam tanpa nyala lampu yang berarti itu. Untungnya, ada seorang perempuan separuh baya, pemilik sebuah warung di tengah hutan itu, memberi tahunya jalan keluar menuju jalan raya.
Ia tiba di rumah, beberapa saat sebelum azan isya berkumandang. Ditunaikannya sholat maghrib, lalu diciuminya anak dan istrinya. Kemudian ia duduk di teras rumahnya memandangi jalan yang dibasahi hujan gerimis.
Tiba-tiba istrinya keluar dari dalam rumah, dan berkata padanya.
“Pak Sardi barusan meninggal Yah.” Ucap istrinya pelan.
Ia semakin membeku dalam diam. Memikirkan kesedihan kelima, yang baru saja dirasakannya. Sahabat setianya, yang selalu menolongnya ketika mengalami kesulitan, dipanggil Tuhan di hari yang seharusnya penuh berkah ini, Jumat, yang dibasahi gerimis.
“””
Bertahun - tahun kemudian, saat Usman berhasil menjejakkan kakinya di Inggris, dan berteman dengan seorang mahasiswa Indonesia yang studi doktoral di sana, barulah dia sadar, bahwa dia telah ditipu dan dipermainkan oleh orang - orang yang tergabung dalam suatu jaringan bawah tanah. Orang - orang anggota jaringan inilah yang menentukan siapa yang dapat beasiswa ke luar negeri. Bodohnya Usman, dia tidak tergabung dalam jaringan itu.
Usman terlalu percaya dengan kemampuan dirinya, sementara, orang - orang jaringan bawah tanah itu tidak mementingkan hal itu. Bagi mereka, siapapun itu, mau bodoh atau pintar, yang penting penerima beasiswa adalah bagian dari mereka, anggota jaringan mereka.
Usman mengetahui hal ini, ketika secara tak sengaja menguping Sarwo yang sedang menelpon istrinya di Indonesia.
“Jadi Akang itu kepilih karena pembimbing Akang kasihan”, kata si istri di telpon. Kebetulan Sarwo memasang mode loud speaker.
“Waduh, jadi begitu ya, aku jadi gak enak sama Pak Sapri”, sahut Sarwo.
Belakangan, setelah Usman bertanya kepada Sarwo, yang bersangkutan bilang kalau dulu waktu seleksi beasiswa, pewawancara dalam tes wawancaranya adalah pembimbing akademiknya. Artinya, mereka, Sarwo dan penguji tes wawancara beasiswanya, berasal dari kampus yang sama, dan memiliki hubungan yang sangat dekat. Beda sekali dengan Usman, yang diwawancarai oleh sekelompok pewawancara yang sentimen dan anti terhadap kampus Usman.
Usman kemudian hanya bisa tertawa terbahak - bahak, mengingat kebodohannya dulu, yang berteriak sekeras - kerasnya di tengah hutan belantara. “Untung tidak ada makhluk astral yang mendatangiku saat itu”, ucap Usman, sembari merenung dan mengenang masa lalu.
Yogyakarta, 10 Oktober 2023
Alumni Filsafat UGM, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta
0 Pengikut
Obrolan Sore dan Kisah Revolusi Setengah Hati
Rabu, 28 Agustus 2024 20:16 WIBSepenggal Catatan Harian Usman
Minggu, 26 Mei 2024 05:54 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler