x

anyelir

Iklan

Idatus sholihah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2022

Rabu, 18 Oktober 2023 11:18 WIB

Kisah-kisah Anyelir

Aku mencoba membongkar isi kotak yang kutemukan tadi, siapa tahu menemukan hal yang mungkin bisa membantuku menarik benang merah dari teka-teki anyelir ini. Kutemukan catatan harian ibu, namun sialnya tulisannya banyak kabur karena bekas terkena air, mungkin hujan mengikisnya. Dan disana aku menemukan baris:

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebelum musim penghujan tiba aku berniat merenovasi taman kecil yang tertanam beberapa macam bunga anyelir. Aku mulai merawat dengan serius bunga-bunga itu setahun setelah memutuskan keluar dari kantor tempat bekerja.

Bunga-bunga anyelir itu memang kujual, namun tidak semua orang bisa membeli atau memilikinya. Beberapa yang berhasil memiliki bunga itu adalah seorang buruh pabrik yang cukup senja usianya, kemudian beberapa pegawai pemerintah, seniman dan penyair yang sendu wajahnya, dan seorang anak kecil dan ayahnya yang tiba-tiba datang di suatu sore.

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Waktu itu di tahun ketujuh, ketika ibuku terbaring lemah di pembaringan, ketika itu usiaku masih 17 tahun. Sekalipun tidak dalam kondisi yang baik namun ibuku setiap pagi selalu saja merawat taman kesayangannya. Tak jarang kuikuti dan menemani untuk sekadar mengambilkan air atau memungut daun-daun yang sengaja dipotongnya untuk dirapikan.

Dari beberapa bunga koleksi taman, ada salah satu jenis bunga cukup membuatku penasaran. Bunga itu memiliki bentuk yang sama, namun ada beraneka jenis warna yang membuatnya terlihat indah dan menarik, Ibu memberitahuku bahwa bunga itu adalah anyelir. Ibu memisahkan pot-pot bunga itu dari beberapa kelompok jenis bunga lainnya, seperti mawar, sepatu, ataupun calendula.

Aku tidak bertanya mengapa bunga-bunga itu dipisahkan sedemikian, rupa. Saat itu tebakanku hanyalah mungkin untuk merapikan saja. Namun terkadang pada sebuah tanggal di bulan April setiap tahun Ibu memetik beberapa tangkai bunga itu untuk diletakkan di bawah foto mendiang Ayah. Setiap tahun, hingga menjelang akhir hayatnya hal itu tidak pernah dilewatkan.

Aku masih mengingat potongan percakapan singkat dulu, kurang lebihnya begini:

“Nak, manusia itu seringkali digadaikan oleh kebebasannya sendiri. Baik demi uang, kebahagian, ataupun cinta. Ingatlah, setidaknya Ayah dan Ibumu berusaha untuk keluar darinya dan mendapatkan kebebasan dan cinta.”

Waktu itu, aku tidak memahami maksud dari ucapan Ibu. Aku juga dari kecil tidak mengenal dekat Ayah karena dari penuturan Ibu, Ayah meninggal ketika usiaku baru 9 bulan. Ibuku yang notabene seorang Reporter sering bertugas di beberapa daerah untuk meliput suatu peristiwa. Jadi, ketika ibu sedang keluar kota atau bahkan keluar negeri, aku dititipkan pada kakek dan nenek. Bahkan hingga akhirnya ketika ibu meninggal dunia saat aku semester akhir bangku perkuliahan, itulah awalnya aku hidup seorang diri.

Pernah suatu ketika, aku menemukan potongan koran yang sudah lusuh dan usang. Waktu itu, aku tidak bisa membacanya karena tertulis dalam bahasa asing, aku hanya bisa membaca bahwa disitu tertera tahun 1974. Aku menemukan foto-foto ribuan orang dengan bunga anyelir. Hingga kemudian hari aku masih menyimpan potongan halaman koran itu berharap suatu saat aku bisa membaca dan bisa tahu hubungan bunga anyelir dan ibuku.

*****

Ini tahun ketigaku bekerja di sebuah lembaga. Pekerjaanku tak jauh dari edukasi masyarakat baik melalui media sosial ataupun kunjungan khusus ke berbagai kantor di beberapa provinsi terkait bahasa, kebudayaan, dan literasi. Awalnya aku menganggap mulia pekerjaan ini karena turut mengedukasi generasi muda terkait literasi, namun semakin kesini ada beberapa hal yang membuatku tidak nyaman. Sering kali beberapa orang di bagianku diminta untuk menciptkan framing tertentu bagi seorang tokoh, padahal aslinya orang ini tidak memenuhi kriteria namun kesan baik dan prestasi-prestasi tertentu sengaja ditampilkan agar diakui masyarakat. Aku pernah melancarkan protes karena hal itu, namun aku mendapat perlakukan tidak baik dan diolok-olok sok idealis. Menurut mereka, lembaga kecil seperti kantorku ini tidak akan bisa melakukan kegiatan-kegiatan tanpa aliran dana dari mereka. Toh tindakan itu bukan tindakan kriminal dan menyakiti sesama, alibi mereka.

Namun aku tidak bisa terus menerus seperti ini, hingga setahun kemudian kuputuskan untuk keluar dari pekerjaan ini. Mencoba menjadi pekerja lepas yang lebih fleksibel dan bisa dikerjakan dari rumah. Selain itu juga sambil memulai kembali merawat taman kesayangan mendiang ibuku yang lama tak terurus. Hingga kemudian bunga-bunga di taman itu menjadi cukup banyak, khususnya bunga anyelir. Melihat taman yang cukup indah dan subur, beberapa orang datang ke rumah untuk membeli bunga, awalnya kuberi cuma-cuma jika yang diperlukan hanya setangkai hingga dua tangkai, namun semakin lama semakin sering yang datang membutuhkan lebih dari 10 tangkai dan tidak mau diberi cuma-cuma. Sehingga akhirnya kuputuskan untuk menjual jika yang dibutuhkan lebih banyak. Toh uang hasil penjualan bisa kugunakan untuk membeli pupuk kompos, mengganti pot yang rusak atau  menanam bibit bunga baru lagi.

****

Selama ibuku hidup aku tidak terlalu dekat dengannya, karena sering ditinggal keluar kota, meskipun demikian aku memiliki kenangan cukup indah. Misalnya ketika setiap pekan ketika berkesempatan libur kami akan berkutat merapikan taman sepanjang pagi hingga menjelang siang, kemudian di bulan April akan memetik beberapa bunga Anyelir untuk ditaruh di bawah foto mendiang Ayah.

Pagi itu, seperti biasa, selepas menyiram bebunga di taman, kulanjutkan dengan beberes. Kutemukan sebuah kotak coklat  sebesar kotak sepatu. Dipenuhi debu tebal, dan baru melihatnya kali ini. Ketika hendak membuka, kudengar seorang memencet bel rumah. Rupanya seorang lelaki dengan dandanan rapi namun gurat wajahnya tidak bisa disembunyikan bahwa ia sudah lanjut usia. Kuhampiri dan kutanyakan maksud kedatangannya, rupanya ia ingin membeli anyelir merah.

Aku mengambil perkakas untuk memotong anyelir yang dipesannya itu. Kutanyakan ia butuh berapa tangkai dan ingin warna apa. Dia bertanya apakah dijual dengan utuh satu pot? Kuiyakan dan ia butuh anyelir merah dan kuning masing-masing satu pot saja.

“Apakah anyelir ini untuk kado seseorang?” kutanyakan kepada pria itu, jika untuk kado aku akan kubungkus indah dan barangkali ia ingin disertakan kartu ucapan juga.”

“Ya, aku ingin ingin merawatnya dengan istriku. Sebab kami sudah berjanji, suatu hari jika tiba perjuangan kami usai maka aku menandai waktu itu dengan anyelir,” pria itu berucap dengan santai, tenang, namun mantap.

Kemudian tanpa diminta pria itu bercerita bahwa hari adalah hari pertamanya bebas, aku mengernyitkan dahi  dengan tatapan bertanya-tanya. Sebelum kulontarkan pertanyaan lelaki itu mengatakan bahwa ini hari pertamanya sebagai sebagai seorang yang sudah tidak lagi bekerja di sebuah pabrik. Ia bercerita bahwa sudah lama sekali dia tidak merasakan kebebasan, setiap hari selama dua puluh tahun dia bekerja sebagai buruh, upah tidak seberapa namun tuntutan kerja kasar. Bahkan tak jarang kecelakaan kerja yang dia alami  atau jatuh sakit tidak mendapat bantuan dari tempat ia bekerja. Padahal setiap bulan gajinya dipotong dengan alasan tunjangan kesehatan namun ketika ia membutuhkan dan meminta haknya malah justru dihardik dan diancam tidak akan diberi gaji.  Beruntungnya sang istri seorang guru sejarah di sebuah Sekolah Menengah Atas, setidaknya gajinya cukup dan mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Setelah pesanannya selesai kusiapkan dan kukemas, dia menyodorkan uang dan kuberi tanda terima.

Kuucapkan terima kasih dan kusampaikan bahwa semoga anyelir ini bisa memberikan warna baru di babak baru kehidupannya di usia tua. Dia menimpali, “Bunga ini tidak hanya sebatas bunga, Nak. Dia memiliki sejarah panjang dari perjuangan,” ujarnya sembari berpamitan.

Aku cukup berpikir keras mendengar ucapan pria tadi, namun masih belum kutemukan jawaban melainkan cukup banyak tanda tanya. Kuingat-ingat lagi, beberapa hari lalu, seorang anak dan ayahnya membeli beberapa tangkai anyelir putih. Sang anak berceloteh jika bunga itu akan diberikan di makam ibunya. Pasti ibunya akan senang jika dibawakan karena bunga itu adalah bunga favorit ibunya dan bunga yang selalu diberikan pada anak-anaknya ketika ulang tahun.

Dulu, ketika ia masih belum menjual bunga-bunga miliknya, pernah datang juga seorang lelaki yang menenteng sebuah gitar dan buku, ia datang dan membeli beberapa tangkai anyelir.  Lelaki itu adalah seorang penyair dan seniman, kuketahui karena ia sengaja meninggalkan buku catatannya. Dan saat kubuka sekilas tampaknya catatan puisi-puisi dengan tulisan tangan. Ia mengatakan untukku saja sebagai hadiah karena ia akhirnya menemukan anyelir merah sebagai kado perpisahan untuk kekasihnya.

Aku menyusun ingatan-ingatan itu, mengapa sekian lama baru tersadar tentang anyelir-anyelir itu. Kemudian aku bergegas mencari potongan halaman koran dengan foto ribuan orang dan anyelir merah, meskipun masih tetap tidak bisa memahami isinya namun setidaknya kuketahui itu bahasa Portugis, kuambil ponsel pintar dan memanfaatkan fitur penelusuran foto dan menerjemahkannya. Namun sialnya, karena koran itu terlalu usang, aku hanya menangkap terjemahan yang menuliskan bahwa aksi demonstrasi para buruh di tgl 25 April 1974, dan kutemukan nama ibuku di bagian akhir koran tersebut. Aku terkejut aku tidak tahu bahwa ibuku juga ternyata bisa memahami bahasa asing dan fakta mengejutkan bahwa beliau adalah reporter internasional juga di masa mudanya.

Aku mencoba membongkar isi kotak yang kutemukan tadi, siapa tahu menemukan hal yang mungkin bisa membantuku menarik benang merah dari teka-teki anyelir ini. Kutemukan catatan harian ibu, namun sialnya tulisannya banyak kabur karena bekas terkena air, mungkin hujan mengikisnya. Dan disana aku menemukan baris:

            “Dalam perjalanan panjang hidup, banyak hal yang memberiku pengetahuan dan keberuntungan. Kutemukan lelaki yang berasal dari tanah yang sama denganku saat petualangan hidupku di negeri orang. Kutemukan semangat membara dalam matanya saat pertama kali kulihat ia dalam kerumunan massa. (Lisboa. 25 April 1974).”

 Aku terus membuka halaman lain, kutemukan potongan kisah-kisah masa muda mendiang ibu dan ayah beberapa bagian yang masih bisa kubaca. Aku mengetahui bahwa mereka bertemu ketika ibu sedang ditugaskan melakukan liputan di sana, hingga akhirnya keduanya kembali ke Tanah Air dan memutuskan hidup bersama. Tak banyak yang kutemukan dari sisa catatan itu. Namun setidaknya aku menemukan benang merah, mengapa ibu selalu meletakkan anyelir merah sekali dalam setiap tahun, beberapa orang yang membeli dan mencari anyelir ke rumah. Dan aku mengambil buku catatan yang pernah diberikan penyair yang dulu menghadiahkan padaku, kubaca juga disana ia membuat puisi-puisi pada kekasihnya. Aku menangkap kegundahan hati yang dituangkan pada sajak-sajak itu.

 

Pada purnama ketujuh

Matamu bahkan lebih menyala

Merah dan nanar

Tak ada sambut kecup kepulangan

*

Di pelataran istana rumah

Kau hanya mau ditanamkan anyelir merah

Pada yang memuji dan menyentuhnya

Kau hardik dengan pongah

*

Suatu ketika

Ketemukan senja

Pada beranda rumah

Nyala cerutu di meja

Pemuda memetik anyelir 

Dan di rambutmu ia menyematkannya

Ikuti tulisan menarik Idatus sholihah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler