x

Gibran Rakabuming Raka. Foto: Taufan Rengganis/Tempo

Iklan

Geza Bayu Santoso

Philosophy Student, Faculty of Ushuluddin and Islamic Thought, State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bergabung Sejak: 26 April 2023

Rabu, 25 Oktober 2023 10:59 WIB

Gaduh-gaduh Genealogi Gibran

Kita, Gibran, dan Jan Ethes, tak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Gibran lahir dari rahim Ibu Iriana yang kini jadi Ibu Negara. Diakui atau tidak, setengah masalah hidup selesai jika kita dilahirkan dari keluarga kaya dan berada. Setengah masalah politik Gibran selesai karena bapaknya presiden. Nama besar Jokowi efektif mengerek citra, mengakses sumber daya, dan memperluas koneksi politik Gibran. Lihat saja, 17 proyek strategis Kota Solo, nyaris setengahnya dibiayai oleh Pemerintah Pusat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mesin politik berjalan kencang, ban yang dulu kempis mulai terpompa nitrogen berkualitas tinggi, mesin telah direparasi, oli telah diganti, akrobat politik makin menggelitik. Seperti biasa, kita juga makin gaduh, riuhnya nyaring tanpa melihat tempat. Dari auditorium fakultas hingga pojok-pojok proletar warga terpinggirkan. Semuanya nyaris memperbincangkan dinamika politik.

Keputusan MK membawa masyarakat dalam jurang kekhawatiran, politik dinasti jadi isu yang masif terdengar. Pak Jokowi, ramai diperbincangkan karena  memberi karpet merah untuk putranya Gibran Rakabuming Raka. Walikota Solo yang resmi mendampingi Prabowo Subianto di pemilu 2024.

Penyalahgunaan kekuasaan adalah ketakutan yang membayangi praktik politik dinasti. Kita bisa belajar dari negara demokrasi liberal seperti Amerika, negara adidaya yang berdarah-darah karena politik keluarga. Dinasti Kennedy namanya, kisah kepemimpinan keluarga ini berakhir dengan peluru kematian. Sejarah mencatat bahwa politik dinasti sering berakhir dengan unhappy ending.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Genealogi Gibran

Kita, Gibran, dan Jan Ethes, tak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Saya lahir dari rahim wanita Singkawang yang dipersunting bapak saat mempertaruhkan hidup di negeri seberang. Gibran lahir dari rahim Ibu Iriana yang kini jadi Ibu Negara. Jan Ethes lahir dari rahim Putri Solo yang kini jadi mantu presiden. Jika saya bisa memilih lahir dari rahim siapa, saya pasti milih jadi kakaknya Rafathar.

Diakui atau tidak, setengah masalah hidup selesai jika kita dilahirkan dari keluarga kaya dan berada, Cipung putra Rafi Ahmad nyaris tak akan khawatir dengan uang kuliah tunggal, bayi yang persisten menghujani for your page tiktok saya ini berhasil qurban sapi dengan berat 1 ton lebih. Padahal, usia Rayyanza belum genap 2 tahun. Konon, Cipung juga akan menemani Prabowo sebagai cawapres, tentu pernyataan ini tak perlu anda percaya.

Setengah masalah politik Gibran selesai karena bapaknya presiden. Tak perlu membaca buku tebal pengantar politik atau kuliah 40 SKS untuk memahami kalimat pertama paragraf di atas. Nama besar Jokowi efektif mengerek citra, mengakses sumber daya, dan memperluas koneksi politik Gibran. Lihat saja, 17 proyek strategis Kota Solo, nyaris setengahnya dibiayai oleh Pemerintah Pusat.

Kearifan Politik Akar Rumput

Pak Ambon, penjaga angkringan dekat kos yang melek politik, teman ngobrolnya bukan main, dalam satu malam yang sama, ia bisa duduk dan nongkrong dengan para guru besar, dosen produktif, bahkan PhD candidate. Pergumulan Pak Ambon dengan intelektual membawanya pada pemahaman politik yang bijak dan moderat.

Saya dan Pak Ambon berbeda pandangan politik, dia mendukung paslon A dan saya mendukung paslon B. Kami sering berbeda pendapat, tapi kedewasaan politik membawa kami dalam perbincangan yang penuh humor. Kadang saling ejek, menjatuhkan lawan politik, menuduh paslon A cuma bisa bicara, paslon B petugas partai, dll. Nyaris semua perdebatan selalu kita tutup dengan tawa.

Angkringan milik Pak Ambon tak jauh dari rumah kemenangan dua paslon. Jarak rumah kemenangan paslon A dan paslon B hanya dipisah oleh 4 rumah. Menariknya, warga sekitar biasa saja saat berbeda pendapat, tak pernah ada perdebatan serius apalagi adu jotos. Mereka bisa saling menjatuhkan lawan politik saat nongkrong, tapi musti ditutup dengan gelak tawa. 

Malam menunjukkan pukul 02:30 WIB. Saya baru saja menyelesaikan tugas kuliah. Saat pulang, hati mengajak untuk sejenak mampir menyapa Pak Ambon. Es susu coklat manis terpesan dengan segar. “Wakil pasangan calonmu luar biasa hebat Pak Ambon,” ucapku dengan senyum lebar. Pak Ambon termenung sepersekian detik, hingga akhirnya dia paham kalau saya memantiknya untuk ngomongin politik.

Diskusi kami berjalan seperti biasa, saling lempar gagasan bak pengamat politik. Tiba-tiba, di tengah pembicaraan yang asik, Pak Ambon bergumam “Duh, Mas. Siapapun pemimpinnya nanti, saya ya akan tetap jualan, nggak jualan nggak makan, Mas”. Sebuah kearifan dan kebijaksanaan masyarakat akar rumput melihat bobroknya realitas politik Indonesia.

Narasi kepasrahan seperti Pak Ambon ini telah  mendarah daging dalam benak banyak masyarakat, terutama saat membincangkan isu politik elektoral. Pak Ambon yang angkringannya tak pernah libur dengan obrolan adiluhur, ternyata memendam kepasrahan saat melihat praktik demokrasi Indonesia. Mengapa hal demikian terjadi? sudah tentu karena politik yang kelewat kotor dan tak pernah serius dibersihkan.















Ikuti tulisan menarik Geza Bayu Santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB