x

Air Mata Saudaraku

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 1 November 2023 19:45 WIB

Air Mata Saudaraku - Sebuah Novel Tentang Tragedi yang Menimpa Orang Tionghoa 1998

Air Mata Saudaraku adalah novel karya S. Mara Gd. yang mengisahkan derita sebuah keluarga di Surabaya akibat dari kerusuhan Mei 1998.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Judul: Air Mata Saudaraku

Penulis: S. Mara Gd

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2003

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 408

ISBN: 979-22-0629-9

 

Tragedi Mei 1998 adalah tragedi yang tak terlupakan. Guncangan hebat di sektor eknonomi itu kemudian menjalar ke ketegangan politik dan berakhir dengan kerusuhan rasial. Orang-orang Tionghoa dijadikan kambing hitam atas runtuhnya eknomi dan politik Indonesia. Penjarahan, perusakan aset, kekerasan fisik, pembunuhan bahkan perkosaan menimpa orang Tionghoa. Mereka jadi korban tanpa ada yang membela dan tanpa bisa membela diri.

Kekerasan fisik, penjarahan, pembakaran aset, pembunuhan dan perkosaan itu sungguh nyata terjadi. Namun hukum sepertinya tak mampu menjadi perwira yang bisa membereskan masalah ini. Kemarahan para cendekiawan dan penulislah yang kemudian mewujud dalam tulisan-tulisan akademik dan fiksi. Fiksi yang bukan fiksi. Fiksi yang hanya berganti nama-nama korbannya, yang sesungguhnya adalah kisah dari sebuah fakta yang benar-benar terjadi.

Salah satu yang mengabadikan peristiwa tragis bagi orang Tionghoa di Indonesia tersebut adalah S. Mara Gd. Dalam novelnya yang berjudul “Air Mata Saudaraku,” S. Mara Gd. tidak hanya mendokumentasikan kengerian peristiwa Mei 1998, ia juga menggambarkan suasana batin para korban untuk merefleksikan hubungan orang Tionghoa dengan masyarakat Indonesia. Dalam novel yang terbit pertama tahun 2003 ini, S. Mara Gd. juga menjelaskan latar belakang ekonomi dan politik yang menjadi pemicu tragedi serta dampak ekonomi pasca persitiwa.

Yang menarik, S. Mara Gd menyelipkan ide brillian tentang pembauran berbasis kompetensi di akhir novelnya. Nanti kita bahas ide sang pengarang ini lebih lanjut.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Kiem San alias Hasan. Hasan adalah seorang pengusaha muda yang membangun usahanya dari bawah. Kiem San berencana untuk membeli dagangan dari Jakarta. Saat akan berangkat ia dilarang oleh mamanya. Mamanya mempunyai firasat kurang bai katas kepergian Kiem San ke Jakarta. Firasat (firasat adalah bagian dari budaya Tionghoa dalam mengintepretasikan nasib di masa depan) bahwa akan ada kecelakaan besar ternyata terbukti. Saat Kiem San masih di Jakarta, rukonya dijarah dan dibakar. Mamanya meninggal karena dipukul dengan linggis oleh penjarah. Lani, alias Lan, adik bungsunya diperkosa beramai-rami di depan Toni tunangannya. Sang adik yang tak tahan menanggung aib, akhirnya bunuh diri.

Hasan tentu sangat marah saat tiba di rukonya yang sudah berantakan. Apalagi mengetahui bahwa mamanya terbunuh dengan sadis dan adiknya diperkosa beramai-ramai. S. Mara Gd. memakai kemarahan Hasan ini untuk merefleksikan bagaimana perasaan orang-orang Tionghoa saat itu. Hasan marah kepada etnis para penjarah. Ia marah kepada siapa saja. Dia hanya ingin membalas segala perlakuan buruk kepada keluarganya. Upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk meredakan kemarahannya dan bisa mengampuni tidak mempan karena suasana hati yang memang masih sangat sedih. S. Mara Gd. juga memberi ruang bagi pihak-pihak lain, seperti kawan-kawan Hasan dan dokter Gatot yang merawat adiknya yang etnis Jawa dan Pendeta Daniel untuk memberi empati kepada Hasan. Bahkan dokter Gatot yang digambarkan sebagai seorang dokter bertenis Jawa dan beragama Islam sampai ikut merasa berdosa karena kasus kerusuhan yang terjadi.

Dialog antara Hasan dengan dokter Gatot berikut ini sungguh menggambarkan bagaimana perasaan orang Tionghoa sebagai korban: “Setiap saya melihat kalian, saya akan teringat bahwa ibu saya mati di tangan kalian dan adik saya dilukai oleh kalian. Apakah kalian pikir saya akan bisa melupakan itu? Apakah kalian bisa melupakan itu jika kalian yang berdiri di tempat saya?” Sungguh sebuah trauma yang memicu kebencian rasial.

Apakah S. Mara Gd. berhenti pada kesimpulan bahwa tragedi ini menimbulkan kebencian rasial? S. Mara Gd. tidak berhenti disini. Selain menggunakan peristiwa ini untuk melakukan refleksi dan upaya penyadaran kepada masyarakat tentang berbahayanya kebencian rasial, ia juga memberikan alternatif bagaimana seharusnya peristiwa seperti ini bisa dihindarkan. Ia tidak menolak bahwa tragedi ini terlalu pahit sehingga ada orang-orang Tionghoa yang memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Namun ia juga masih melihat ruang untuk rekonsiliasi.

Tindak rekonsiliasi dimulai dari dua pihak. Para pegawai Hasan yang kehilangan pekerjaan karena tempat kerjanya dirusak menyadari pentingnya untuk melindungi usaha yang menjadi gantungan hidupnya. Hasan sendiri akhirnya bisa membuka hatinya untuk menerima keadaan bahwa seseungguhnya tidak semua etnis Jawa membencinya. Hasan akhirnya bisa menerima para tamu bertenis Jawa yang melayat penguburan mamanya dan adiknya.

Ada tokoh menarik dalam novel ini. Tokoh tersebut adalah dokter Gatot dan Dewi anaknya. Dewi adalah seorang psikolog. Dokter Gatot memilih untuk membantu Lani yang diperkosa di kliniknya. Dokter Gatot dan Dewilah yang merawat Lani. Dokter Gatot dan Dewi digambarkan sebagai sosok yang sangat menderita karena etnisnyalah yang melakukan kekejaman kepada orang Tionghoa. Mereka berdua merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan dan agama (Islam) tentang tragedi tersebut. Bahkan keduanya sampai harus berdoa meminta ampun atas kesalahan etnisnya.

Seperti telah saya sampaikan di atas, S. Mara Gd. memberikan alternatif pembauran yang genuine. Jika pembauran selama ini hanya dimaknai dengan orang Tionghoa pindah ke agama mayoritas dan atau menikah dengat etnis lokal Indonesia, S. Mara Gd. menyarankan supaya pembauran bisa dilakukan melalui optimalisasi kompetensi masing-masing. Di halaman 394-404 S. Mara Gd. mengungkapkan idenya tentang pembauran melalui kerja sama antara dokter Gatot sebagai pemegang modal dengan Hasan sebagai seorang yang piawai mengelola bisnis. Dokter Gatot menawarkan modal kepada Hasan supaya Hasan bisa membangun kembali bisnisnya demi menolong para pekerja yang kehilangan penghasilan. Dokter Gatot secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak memiliki kemampuan mengelola bisnis seperti yang dimiliki oleh Hasan.

Jika kerjasama antara pemilik modal (etnis lokal?) dengan kompetensi mengelola bisnis (Tionghoa?) dilakukan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia, niscaya prasangka etnis yang bisa memicu kerusuhan rasial bisa dihindarkan. Sebuah ide yang brillian.

Tetapi apakah ide ini bisa terlaksana? Bukankah di luar sana masih banyak politisi yang justru memelihara prasangka rasial ini untuk kepentingan kekuasaan mereka? 793

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu