x

Iklan

Hanif Sofyan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 November 2023

Selasa, 7 November 2023 11:40 WIB

Cicero dan Kisah Tiga Pasang Capres-Cawapres

”Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum—lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan,” begitu nasihat Cicero. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Debat kusir di warung kopi hari ini rame, pasalnya para penggila kopi yang juga suka ngompol (ngomong politik) duduk semeja, sementara aku bertindak menjadi penikmat kopi dan pendengar yang baik saja.

Salah seorang yang paling intens menyodorkan isu politik sedang merasa kebakaran jenggot kali ini, pasalnya ia tidak habis pikir dengan para capres dan parpol pendukungnya menentukan cawapresnya yang menurutnya tahun ini menjadi tahun paling penuh teka-teki tapi juga kontroversi.

Dimulai dari cerita tentang Anies Baswedan yang meskipun pencapresannya dianggap melalui operasi Caesar karena didorong pertama kali oleh Nasdem mendahului capres lainnya yang masih maju mundur.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti halnya PDIP yang mendorong Puan Maharani, pada awalnya hingga Insiden kunjungan lapangannya untuk mendokrak elektabilitas terganggu oleh lemparan kaosnya dengan wajah kusam. Sementara sepak terjangnya lantas dilucuti oleh para pengamat politik hingga penggembira di media sosial karena dianggap belum matang.

Bahkan ketika Jokowi diajak sowan dalam pertemuan tingkat tinggi PDIP, dan menganjurkan agar segera memiliki kepastian soal calon, maka segera beredar soal isu tokoh rambut putih, orang istana dan tokoh elite yang diragukan komitmennya untuk bekerja untuk rakyat. Pernyataannya itu lantas menimbulkan sangkaan jika presiden sedang berdiri di dua kaki yang berbeda.

Selanjutnya ketika Ganjar Pranowo yang kebetulan berambut putih dalam sebuah diskusi di sebuah acara dialog menyatakan diri mencalonkan diri sebagai cawapres PDIP, atas dasar elektabilitasnya yang selalu berada di posisi atas diantara tiga kandidat, maka presiden meresponnya positif, namun para petinggi PDIP justru kebakaran jenggot dan  lantas memanggilnya dan menegurnya karena dianggap mendahului titah Ketua Umum PDIP.

Tapi anehnya tidak lama setelahnya dalam pertemuan puncak di Senayan, namanya justru dikibarkan sebagai calon dari PDIP.

Tentu saja PDIP telah mengkalkulasikan untung ruginya, karena jika memaksakan putri mahkota maju tanpa kematangan berpolitik, maka akan menjadi blunder bagi PDIP. Bahkan satu saja insiden lemparan kaos bisa membuat muka banteng merah tercoreng.

Maka gubernur Jawa Tengah itu di majukan sebagai calon. Ketika ia maju, dengan cepat eskalasi politik berubah cepat, maka langkah politik kedua yang paling ditunggu-tunggu adalah mencari pendamping alias cawapresnya.

Ini menjadi episode yang paling menarik, karena AHY dari Partai Demokrat yang bersekutu dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan bersama Nasdem, Demokrat dan PKS. Pada awalnya Demokrat seperti memberi sinyal agar menjadi prioritas, untuk memastikan mereka tetap dalam satu barisan dan makin merapatkan saf-nya. Sementara para petinggi politik sekutunya masih belum berani memutuskan hingga membuat koalisi itu terombang-ambing.

Di sisi lain , PDIP dengan calon Ganjar Pranowo mengumumkan lebih dari sepuluh nama yang berkemungkinan bisa menjadi sekutunya sebagai cawapres. Beberapa pertemuan dengan Golkar dan Demokratpun digelar yang membuat capres dan partai lain menebak-nebak siapa diantara sepuluh nama itu, apakah juga salah satunya calon yang selama ini mereka incar?.

PDIP bisa memainkan jurus  mengetes ombak dengan baik dalam pilpres 2024 kali ini, karena ia memiliki kepercayaan diri dengan presidential thresholdnya, yang dengan kekuatannya sebagai partai paling dominan, bisa melenggang tanpa perlu didukung oleh banyak partai lain.

Sementara lawan-lawannya masih harus menimbang-nimbang siapa yang akan dijadikan partai tandem dalam sekutunya untuk memastikan tercukupinya syarat suara bisa melenggang ke Pilpres 2024 dalam koalisinya.

Berikutnya capres Prabowo Subianto yang selama ini begitu percaya diri, mungkin karena pengalamannya menjadi tiga kali runner up membuatnya tidak mudah goyah.

Setelah sekian lama ditunggu-tunggu siapa yang akhirnya dipilih menjadi pendamping, ternyata meski pertemuan yang menghebohkan dengan Gibran di Angkringan Solo, meskipun dibantah hanya pertemuan biasa, ternyata bagian dari politik gastrodiplomasi juga. Belakangan semuanya bisa terbukti karena putusan MK menjadi pintu masuk keduanya bisa dipasangkan. 

Cawapres Anies yang  bikin penasaran publik, setelah hubungannya yang kandas dengan AHY, pada akhirnya memunculkan nama Muhaimin Iskandar yang membuat sebagian kalangan politikus terkejut dan tentu saja publik juga dibikin ketar-ketir. Mengapa harus Muhaimain?

Apalagi ketika PDIP dengan kekuatan Ganjar, disandingkan dengan Mahfud MD, yang membuat banyak orang geleng-geleng kepala mengingat Mahfud memiliki reputasi yang luar biasa selama ini dan dikenal vokal dan berani karena bersih dan tidak mudah terkontaminasi. PDIP terlihat bermain makin cantik dalam politik kali ini, tapi hasilnya tentu dibuktikan nanti dilapangan. Masih ingat dengan pesan Cicero?.

Ketiga pasangan terbaru inilah yang membuat teman saya yang paling intens ngompol di warung kopi menjadi kebakaran jenggot, karena tidak satupun prediksi yang selama ini digembor-gemborkan kepada temannya-temannya tepat--semuanya meleset.

Bahkan teman-temannya yang pikirannya miring karena menjadikan prediksi-prediksinya menjadi petunjuk membeli nomor buntut, kini ikut kebakaran jenggot. Sementara sedang bingung memilih diantara tiga—atau memilih “ataunya” saja, dan itu artinya tahun ini tanpa pilihan politik. Yakin?.

Pesan Cicero, Tentang Kepentingan

Sejak awal debat kusir ini diinisiasi di warkop kami memang sudah berprinsip jika politik dibikin santai saja. Para capres saja tidak pernah mikirin kita, mengapa kita harus tidak bisa tidur mikir mereka. Biarlah semuanya berproses. 

Para politikus itu memang dikaruniai lidah bercabang dua-bukan ular, tapi kurang lebih fungsinya sama, tergantung apa kebutuhan yang mau dikomunikasikannya, tergantung kebutuhan yang bisa menguntungkannya. 

Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan, orator, ahli hukum, dan filsuf Romawi bilang,  ”Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum—lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan, begitu nasihat Cicero. 

Bagaimana ambisi kekuasaan itu bisa menerjang segala macam pugeran, tata-susila, etika, tatanan moral, dan bahkan tembok ajaran agama. Apakah benar itu yang sedang terjadi?.

Tahun politik pilpres 2024 kali ini memang terasa luar biasa, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ketika rakyat memang benar-benar jadi penonton dan para politikus dan parpolnya menguasai seluruh panggung dengan dramanya yang menentukan akan diapakan dan menjadi apa rakyat Indonesia nantinya. 

Dunia memang panggung sandiwara sebagaimana dramaturgi Erving Goffman: setiap individu berbeda karakternya ketika berada di panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage), bagi orang lain, namun kesan (impression) yang diperoleh orang banyak terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda dan inilah yang sedang dimainkan para politikus kita. Sedang apa mereka di belakang panggung saat ini?

Ikuti tulisan menarik Hanif Sofyan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu