x

Iklan

Hanif Sofyan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 November 2023

Rabu, 15 November 2023 07:45 WIB

Transparansi Cawe-cawe The King Maker

Kini tak ada kata sungkan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan telah membuat setiap orang bisa berubah--siapapun itu sekalipun ia datang dari wong cilik. Kekuasaan memang candu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ternyata ia sudah menyiapkan putera mahkotanya—bukan si rambut putih, orang istana atau elite berdasi. Bahkan untuk pertama kalinya ia menunjukkan kepada partai yang katanya pernah membesarkannya itu bahwa ia kini telah punya kaki sendiri.

Ini bukan basa-basi politik, juga bukan rahasia politik yang jika kita membicarakannya akan dianggap fitnah dan pencemaran nama baik.  Presiden sendiri  yang mengatakan bahwa dirinya akan cawe-cawe dalam pemilihan presiden 2024, ia akan berdiri dengan dua kaki—sebagai presiden sekaligus sebagai king maker.

Tentu bukan tanpa alasan—mungkin terlalu jauh jika kita bicara dinasti—karena pada awalnya, ini lebih pada bagaimana menjaga warisan pencapaian pembangunan dan kebijakan politiknya, serta bagaimana membuat pencapaian itu tetap terus berlanjut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Paling tidak pelanjut kekuasaannya adalah orang yang satu komitmen untuk melanjutkan impian raksasanya memindahkan ibukota ke Ibukota Nusantara (IKN) di dua kabupaten di Kalimantan Timur, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.

Pernyataan yang dilontarkan Jokowi di depan pimpinan media, tentu saja langsung memancing reaksi negatif karena banyak pihak mengartikan presiden akan memengaruhi hasil suara, padahal alasannya ketika itu hanya untuk memastikan pilpres tepat waktu,  lancar dan adil.

Kekecewaan Publik

Jika di kemudian hari ternyata berbelok arah, paling tidak kejujurannya adalah—bahwa presiden memang akan ikut dalam cawe-cawe pilpres 2024—dan saat ini memang terbukti. Dan ketika partai paling dominan di negeri ini tahu pun ia seolah tidak lagi bisa berkutik.

Bagaimanapun kekuasaan dan lingkaran yang dibentuknya telah menjadi sebuah kekuasaan sendiri yang membuatnya bisa berdikari secara politis. Negosiasi, konsolidasi yang pelan tapi pasti di dilakukannya, pelan-pelan justru diarhkan untuk memastikan siapa penggantinya. Dan parpol mana yang akan bersedia menjadi backing-nya.

Tentu saja yang berpikir pragmatis akan melihat, bahwa kekuasaan presiden lebih nyata, daripada kekuatan partai dominan tapi masih berspekulasi untuk bertarung di Pilpres 2024. Bagaimanapun keeuatan dominasi itu masih bisa saja diruntuhkan dengan kekuatan persaingan politik dengan dua koalisi lainnya, karena ada tiga pasang capres-cawapres yang telah inkrah untuk maju. Dan suara mereka akan dipengaruhi pemilih yang loyal dan militan serta pemilih yang berbayar.

Sistem presidensial yang memberikan kekuasaan besar dan jabatan yang begitu banyak kepada presiden kadang menimbulkan pertanyaan, apakah presiden itu jabatan politis atau jabatan negara. Presiden adalah kepala negara, juga kepala pemerintahan. Sebagai panglima tertinggi TNI, ia juga  pemegang kekuasaan yudikatif yang bisa memberikan grasi, abolisi, dan amnesti.

Dengan kekuasaan itu, maka jika didukung oleh sedikit kekuatan saja, maka ia akan menjadi sebuah raksasa politik.

Sebagai kepala negara, presiden adalah pejabat negara yang harus bersifat negarawan. Berdiri di atas semua golongan kelompok. Begitu juga  dalam kapasitas sebagai panglima tertinggi TNI, presiden harus menjadi negarawan yang menempatkan keutuhan negara di atas segala-galanya.

Demokrasi yang Berubah

Realitasnya, sistem presidensial kita mirip dengan parlementer. Presiden sebagai kepala pemerintahan membagi kekuasaan dengan parpol pendukungnya. Membagikan jatah menteri kepada parpol koalisinya.

Presiden yang sejatinya memiliki hak prerogatif dalam menyusun cabinet, kini terpaksa atau harus menimbang-nimbang parpol mana yang membantunya mengantarkannya ke kursi kekuasaa.

Jadi jika ada yang bilang ia mengalah pada parpol, itu semata hanya konsekuensi dari kesepakatan-kesepakatan politik yang memang seharusnya dilakukan. Dan jika ada yang bilang pemilihan menteri itu netral—pada dasarnya harus kembali pada aturan konsekuensi tadi. Pada titik kompromi dengan parpol itulah, presiden yang seharusnya menjadi pejabat publik berperan  sebagai politikus.

Pada akhirnya ia akan kehilangan netralitasnya. Tapi siapa yang berani melawan kekuasaannya itu?. Tentu kita ingat dulu, ketika Presiedn menjadi penguasa Partai golongan pegawai pemerintahan dan menjadikannya mesin kekuasaan yang tidak terkalahkan.

Begitu juga saat ini, ketika sebagai kepala pemerintahan, presiden menjadi pemimpin tertinggi (pembina) ASN (aparatur sipil negara), apakah birokrasi dan ASN bisa bersikap netral?.

Padahal jika cawe-cawe presiden dimaksudkan untuk menjaga pemilu lancer, maka ia cukup menjaga netralitas dan kelancaran kerja KPU, jaminan kesediaan anggaran dan keselamatan penyelenggara pemilu. Itu saja!.

Ketika masuk ke wilayah teknis, disanalah peran king maker berlaku, dan tidak lagi bisa menerima dengan tangan terbuka siapa pun yang menjadi saingannya. Maka demokrasi akan berganti menjadi democrazy

Ikuti tulisan menarik Hanif Sofyan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB