Membaca Sang Jenderal di Dalam Labirinnya (The General In His Labyrinth) novel Gabriel Garcia Márquez yang paling politis, langsung mengingatkan pada para elite negeri ini. Apa yang kemudian mereka pikirkan ketika mereka "pensiun", lalu menyendiri.
Apakah mereka menyesali ambisi mereka atau menganggapnya sebagai pencapaian terbaik? Bagaimana jika kemudian ia menyadari dari hati kecilnya bahwa apa yang dilakukannya semata-mata memang hanya datang dari egonya?
Kita seperti terhanyut pada romantisme rasa politik yang berbeda. Ketika membayangkan Jenderal Simón Bolívar yang berusaha menyatukan sebuah benua. Di enam negeri Amerika Latin, Bolívar dikenal sebagai El Libertador, sang Pembebas, salah satu pahlawan yang paling dihormati di belahan dunia bara.
Ketika ia melakukan perjalanan terakhirnya pada tahun 1830 dari Sungai Magdalena menuju laut, ia mendapati dirinya bisa merasakan kembali seluruh perjalanannya menuju kejayaan, berikutnya juga sambil meratapi impiannya yang pupus tentang negeri-negeri Amerika bersatu.
Bayangan itulah yang membuat saya penasaran--ketika kita menduplikasi romantismenya pada para elite kita.
Pertarungan Ego dan Legacy
Dulu ketika ia datang pertama kali, ia adalah penjelmaan manusia setengah dewa yang dielu-elu media sebagai sosok yang lain dari yang lain. Orang-orang juga terhanyut pada sosoknya yang mewakili kejenuhan pada patron yang sama yang terus berulang. Politik berwajah garang dan keras.
Aras waktu berjalan mengikuti arah matahari yang berubah, dan nurani pun juga berubah. Ia berubah dari pendobrak menjadi pemain politik biasa yang jamak ada di Indonesia. Mudah hanyut, mudah berubah, mudah terpengaruh dan mudah menjadi jahat.
Pada akhirnya kita kehilangan sosoknya yang dulu yang telah berbalik 180 derajat. Ambisi, legacy yang susah payah dibangun bersama dinastinya, dan keberlanjutannya menjadi kekuatiran terbesarnya. Maka sulit baginya meninggalkan semuanya dan membiarkannya begitu saja.
Maka ia kini berdiri dengan kaki yang tidak berada di satu tempat, menjadi pemimpin, tapi juga menjadi king maker, bahkan thinktank untuk keberlanjutan legacy-nya.
Dan ketika Bolivar melewati setiap jalan fase-fase kekuasaannya dulu, ia bisa merasakan dan menyadari potongan-potongan ambisinya yang membentuk kekuasaan yang kini hanya tinggal keping-keping. Ketika ia diburu rasa bersalah, diburu orang yang dendam karena ambisinya.
Ketika menyadari itu, ia merasa bersalah, merasa sendiri dan jika ia diberi kesempatan untuk mengulang ia ingin menjadi orang biasa yang baik. Tapi waktu telah menyeretnya jauh, menciptakan sejarah untuknya dan tidak mungkin dilupakannya begitu saja.
Barangkali para elite, politikus memang begitu adanya, menjalani hidup, mengabaikan nurani karena ambisi-ambisi yang memenjarakan.
Medan Perang Pilpres 2024
Pilpres kali ini memang luar biasa menyita perhatian, kita biarkan merajalela, tapi dipikirkan juga membuat kita sakit kepala. Tapi dunia kita--orang biasa- dan dunia elite memang dua dunia berbeda.
Kisruh di ruang Mahkamah Konstitusi kemarin betul-betul membuat kita malu sendiri, karena didepan mata para elite mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya bersikap keras kepala, apatis, cuek bebek. Bagaimana nepotisme di jalankan tanpa ragu-ragu dan tidak malu-malu.
Dan politik dinasti yang katanya tabu dan memalukan, justru dipertontonkan dengan alasan bagian dari prosedural dan mekanisme. Bahkan yang ditonjok karena berbuat salah di mahkamah dengan santai, tertawa-tawa membela diri, dan membuat orang yang mempersalahkannya seolah menjadi penjahat sebenarnya.
Mungkin Bolivar juga pernah melakukan hal itu, ketika dengan akal-akalan membiarkan kekuasaan mengangkangi konstitusi, membuatnya seolah aturan yang harus dilanggar karena ia memang super power ketika itu.
Tapi mungkin ketika ia berjalan menelusuri napak tilas kekuasaannya, ia menyadari bahwa langkahnya itu memang absurd, tapi sudahlah semuanya sudah terjadi. Ia hanya perlu menyesali, hingga kematian tragis membawa semua kekuasaannya menjadi nihil-nol sama sekali.
Tidak ada satupun yang pada akhirnya bisa dibawanya mati, dan yang ditinggalkannya justru menjadi ajang perebutan--harta, kuasa, legacy dan tanah jajahannya.
Bahkan sebaliknya impian paling ideal dalam hidupnya menyatukan sengketa menjadi perdamaian, justru menjadi satu-satunya kegagalan yang berhasil bisa dicapainya.
Apakah para elite yang sedang berebut kekuasaan pada akhirnya akan merasakan hari-hari sendirian seperti Jenderal Simón Bolívar sang El Libertador, sang Pembebas, sang pahlawan.
Dan ketika ia punya waktu untuk berpikir, merenung akan menyesali ambisi, ego dan kejahatan yang pernah dilakukannya mungkin ia menyesali karena terpenjara dalam labirin yang mengurungnya dan tidak akan pernah bisa membawanya keluar--sekalipun ia menyesalinya.
Semoga pilpres 2024, tetap damai--meskipun menyisakan perih yang sulit sembuh.