x

Menggambarkan manisnya perpisahan

Iklan

Kurnia Ibrahim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2023

Minggu, 12 November 2023 18:25 WIB

Duka Anwar Kala 1942

Terinspirasi dari sajak Nisan karya Chairil Anwar di tahun 1942, membuat penulis merenungi arti kepergian dan bercerita memora.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

NISAN

“Bukan Kematian benar menusuk kalbu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta”

(Oktober 1942)

 

Sajak yang tertulis dikala sang pujangga berdarah Sumatera Utara ini menangisi kepergian neneknya. Tak ada yang lebih sendu dan membiru saat ditinggalkan oleh orang tercinta. Pun begitu kita yang tak berbeda. Diri ini sejenak merenung akan hal "kepergian". Membuka lembaran pertama dalam buku antologi yang memuat sajak-sajak pujangga angkatan 45 ini, seakan mengembalikan memoar dimana pertama kali mengenal karya dan kepribadiannya secara terbatas.

Masa itu, di usia SMP daku dikenalkan atas karyanya oleh seorang guru egaliter yang penuh wibawa. "Kalian harus mengenali seorang Anwar tanpa memandang sisi sebaliknya!" tutur guru saya yang mungkin rasanya sudah mengajar lebih dari 15 tahun. Dari momen itu, saya mencoba mencari-cari arsip mengenai Chairil Anwar. Menemukannya di salah satu rak perpustakaan sekolah, yang terpojok dan sedikit ndlesep. Terlihat masih elok karena mungkin jarang terjamah. Lembar demi lembar ku buka dan seakan masuk dalam dimensi dunia seorang Chairil Anwar. Hal itu semua yang merubah dan melatihku untuk menjadi seorang perenung dan penulis.

 

Pergi tak selamanya buruk, namun tentu membawa kepedihan yang begitu mendalam. Sebutkan satu hal yang secara sadar dan berakal, kita akan mengikhlaskan sesuatu hal yang selalu ada dalam rengkuhan kita akan tetapi, secara mendadak dan tak dinyana hal itu menghilang pergi? Rasanya tak ada. Mungkin seiring berjalannya waktu, kita akan menerima kepergiannya. Tetapi, semua yang terkait akan membekas dan tak akan hilang. Chairil Anwar menggambarkan suasana itu dengan diksi yang menusuk, menohok dengan penuh kebiruan yang pilu. Singkat, namun membawa terjerembap. "Bukan kematian benar menusuk kalbu" adalah satu rima sajak pembuka yang langsung tertuju tanpa basa-basi yang menggambarkan kesengsaraan dan pemaknaan "Mati" pada akal manusia. Hingga pada akhirnya ditutup oleh kepasrahan akan kuasa Tuhan.

 

Mati adalah sebuah keniscayaan

Tak bisa mengelak dan tak ter-elakkan

Jika pun kita tak mati hari ini

Tuhan telah memastikan kita tiada di kemudian hari

Ikuti tulisan menarik Kurnia Ibrahim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu