x

Iklan

Frank Jiib

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Sabtu, 16 Desember 2023 20:03 WIB

Dilema Bandara Mangkrak di Pulau Jawa

Banyak bandara mangkrak di Pulau Jawa, padahal belum lama diresmikan pemerintah. Apakah ada yang salah dalam perencanaan pembangunan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintahan Presiden Jokowi selama hampir dua periode ini lebih banyak berfokus pada pembangunan infrastruktur di berbagai daerah dan juga di berbagai bidang. Salah satu infrastruktur yang dibangun di masa pemerintahan Presiden Jokowi adalah bandara. Pemerintah melalui Kementrian PUPR telah membangun banyak bandara baru yang tersebar di Pulau Sumatra, Pulau Sulawesi, serta di Banggai Kepulauan, hingga ke Papua Barat.

Bahkan pembangunan bandara baru juga terjadi di Pulau Jawa yang notabena telah dimanjakan dengan berbagai kemudahan transportasi. Mulai dari jalur kereta api yang membentang di bagian utara juga di selatan Pulau Jawa, tersambungnya jalan tol Trans Jawa yang menghubungkan ujung barat Pulau Jawa hingga ke Surabaya dan masih akan dilanjutkan pembangunannya sampai ke Banyuwangi yang berada di ujung timur Pulau Jawa.

Kemudahan transportasi yang sudah ada masih ditunjang lagi dengan adanya lima bandara besar yang melayani rute domestik maupun internasional. Kelima bandara besar ini merupakan bandara tersibuk di Pulau Jawa dan pastinya sangat menguntungkan bagi pengelola bandara terutama PT Angkasa Pura. Namun pemerintah seakan masih kurang puas dengan berbagai transportasi yang sudah ada di Pulau Jawa. Sehingga pemerintah kembali membangun 5 bandara di Pulau Jawa. Semua pembangunan bandara baru ini menggunakan dana dari APBN yang nilainya tidak sedikit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah pembangunan lima badara baru selesai dikerjakan dan kemudian diresmikan secara meriah oleh Presiden Jokowi. Barulah kelima bandara baru tersebut bisa dikatakan telah beroperasi secara resmi untuk melayani masyarakat yang ingin menggunakan moda transportasi udara. Akan tetapi, kenyataan yang ada di lapangan tidak seindah dari apa yang telah dibayangkan sebelumnya. Dengan adanya bandara baru ini diharapkan ekonomi akan semakin bertumbuh, perjalanan masyarakat juga akan semakin mudah, dan pada akhirnya wilayah tersebut akan semakin berkembang.

Akan tetapi, pada kenyataannya semuanya malah berbanding terbalik dengan harapan pemerintah membangun bandara baru. Kelima bandara baru tersebut ternyata minim atau bahkan nyaris tidak ada penumpang sama sekali. Demikian juga dengan maskapai penerbangan yang lebih memilih hengkan dari bandara baru tersebut karena tidak ingin mengalami kerugian yang lebih besar lagi ke depannya.

Dengan tidak adanya penumpang dan juga tidak tersedianya maskapai yang beroperasi, maka praktis kelima bandara baru yang telah selesai dibangun akhirnya menjadi bandara hantu. Dan ini akan menjadi beban bagi PT Angkasa Pura selaku operator bandara karena tidak adanya pemasukan serta ditambah dengan biaya operasional yang nilainya tidak sedikit setiap bulannya.

PT Angkasa Pura dalam waktu dekat harus mengambil sebuah pilihan yang sulit mengenai kelanjutan pengoperasian kelima bandara baru tersebut. Jika PT Angkasa Pura memilih untuk melanjutkan operasional bandara meskipun tanpa adanya pemasukan sama sekali, bisa dipastikan PT Angkasa Pura akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi. Dan jika pilihannya adalah menutup total kelima bandara baru tersebut, maka proyek infrastruktur yang telah dibangun oleh pemerintah bisa dibilang gagal dan akibatnya menimbulkan kerugian dari penggunaan dana APBN.

Lalu, apa penyebab banyaknya bandara mangkrak di Pulau Jawa?

Pelan tapi pasti kelima bandara baru yang baru saja dibuka untuk umum mulai mengalami masalah yang hampir sama. Mulai dari sepi serta tidak adanya penumpang, tidak adanya maskapai penerbangan yang beroperasi, serta membengkaknya biaya operasional bandara setiap bulannya. Fenomena yang terjadi saat ini akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan “Apa penyebab banyaknya bandara hantu di Pulau Jawa?”

Pertama, letak dari bandara baru ini bisa dibilang kurang strategis dan akses untuk menjangkaunya juga terbilang sulit. Kita bisa ambil contoh Bandara Kertajati di Majalengka yang biaya investasinya menelan dana hingga 2,6 triliun rupiah. Dan saat ini Bandara Kertajati hanya digunakan sebagai Maintanance Repair Overhaul (MRO) pesawat. Kenapa bisa terjadi seperti ini? Karena Bandara Kertajati tidak memiliki akses jalan bagi para calon penumpang pesawat.

Saat ini akses jalan menuju ke Bandara Kertajati masih dalam proses pembangunan, yakni jalur tol Cisumdawu. Harapannya Bandara Kertajati bisa beroperasi kembali manakala pembangunan tol Cisumdawu telah selesai dikerjakan.

Kedua, kurangnya daya tarik ekonomi atau tidak adanya potensi pariwisata. Pemerintah dalam membangun bandara baru seakan mengabaikan faktor pendukung agar bandara dapat beroperasi secara berkelanjutan. Namun kenyataannya, lokasi di mana bandara baru itu dibangun malah tidak memiliki daya tarik ekonomi maupun pariwisata yang dapat menarik para wisatawan untuk datang berkunjung.

Seperti Bandara Ngloram di Blora dan Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya yang mana di kedua wilayah tersebut belum memiliki daya tarik pariwisata. Ditambah lagi kedua daerah tersebut juga bukan pusat bisnis maupun ekonomi yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu untuk melakukan perjalanan. Sedangkan masyarakat yang ada di kedua wilayah tersebut mayoritas berprofesi sebagai petani. Yang mana, agak sulit rasanya membayangkan mereka akan menggunakan pesawat terbang untuk pergi menuju ke daerah lain.

Ketiga, Feasibility Study (FS) yang mana dalam tahap ini pemerintah seperti tidak melakukan sebuah analisa yang matang dan mendalam dalam menilai kelayakan pada sebuah proyek yang akan dibangun. Dalam banyak kasus bandara hantu di Pulau Jawa, dapat dengan mudah terlihat jika semua pembangunan bandara baru tersebut belum melalui Feasibility Study yang matang dan mendalam.

Seperti contoh Bandara JB Soedirman di Purbalingga yang mati suri akibat tidak ada calon penumpang dan maskapai yang beroperasi di sana. Semua ini terjadi karena Bandara JB Soedirman diapit oleh dua bandara besar yang lebih menguntungkan dan memiliki rute gemuk setiap harinya.

Dua bandara besar itu adalah Bandara Ahmad Yani di Semarang dan Bandara Adi Soemarmo di Solo. Sedangkan Bandara JB Soedirman lokasinya berada di tengah kedua wilayah tersebut serta jarak dari kedua bandara besar tadi tidak sampai 200 km. Dari sini bisa dipastikan jika masyarakat akan lebih memilih bandara yang ada di Kota Solo maupun Semarang untuk melakukan perjalan udara daripada menggunakan Bandara JB Soedirman di Purbalingga.

Ikuti tulisan menarik Frank Jiib lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

9 jam lalu

Terpopuler