x

Iklan

Agnes Rohimiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Desember 2023

Selasa, 26 Desember 2023 13:02 WIB

Relevansi Teori Materialisme Historis Karl Marx; Tragedi Berdarah Angke 1740

Pemerintah kolonial melibatkan praktik pemerasan, penindasan, dan pengusiran terhadap etnis Tionghoa, hingga menciptakan ketidakpuasan dan konflik kelas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Introduction (Pendahuluan)

Sejarah kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia senantiasa dipenuhi dengan kejadian kekerasan, mulai dari tindakan diskriminatif hingga kekerasan fisik seperti perampokan, pembunuhan, penjarahan, dan penindasan. Dalam setiap pergantian periode di Indonesia, etnis Tionghoa seringkali menjadi sasaran kekerasan dalam konteks sentimen anti-Tionghoa/Cina, seperti peristiwa pembantaian di Muara Angke pada masa VOC tahun 1740.

Methode (Metode)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gagasan pemikiran filsafat sejarah “Materialisme Historis” oleh Karl Marx adalah analisis ekonomis terhadap sejarah, di mana keadaan ekonomi dianggap sebagai kekuatan utama yang mendorong perubahan sejarah. Marx meyakini bahwa kelompok massa tertindas, disebut proletar, menjadi agen utama perubahan sebagai respons terhadap faktor ekonomi. Kaum proletar bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, sementara kaum borjuis mengendalikan ekonomi dan upah hasil kerja proletar. Perjuangan kelas antara proletar dan borjuis menjadi konsep sentral dalam pandangan Marx, menjadikan sejarah dipahami sebagai arena pertentangan kelas atau konflik sepanjang waktu.

Research (Hasil Pembahasan)

BATAVIA, didirikan sebagai markas besar Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) merupakan kongsi dagang atau Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda yang memonopoli aktivitas dagang di Asia pada 30 Mei 1619. Kota ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang menarik banyak pedagang asing termasuk etnis Cina atau Tionghoa.

Batavia, dengan sejarahnya yang telah mencapai lebih dari 400 tahun, menyimpan berbagai cerita dan peristiwa, termasuk pembantaian etnis Tionghoa di Kali Angke yang disebut dengan peristiwa Tragedi Angke atau dikenal sebagai Geger Pacinan (dalam bahasa Belanda: Chinezenmoord yang berarti “Pembunuhan orang Tionghoa”).

Tragedi Berdarah Angke tahun 1740 merujuk pada peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh VOC terhadap warga etnis Tionghoa di Batavia, yang kini dikenal sebagai Jakarta. Peristiwa ini terjadi pada 9 Oktober 1740 dan menyebabkan kematian lebih dari 10.000 jiwa warga etnis Tionghoa, Jasad mereka sengaja dibuang ke Kali Angke, yang kemudian menjadi saksi bisu atas peristiwa tragis tersebut. Pembantaian ini dipicu oleh ketegangan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh warga Tionghoa akibat kebijakan ekonomi yang merugikan dari VOC.

Kecemburuan sosial akibat faktor ekonomi yang dirasakan VOC, terhadap keberhasilan etnis Tionghoa sebagai ancaman secara ekonomi. Terbukti adanya pabrik gula yang diusahakan oleh warga etnis Tionghoa yang mengalami kemajuan sehingga pihak VOC dapat mengumpulkan pajak lebih besar dari mereka dibandingkan hasil bumiputra. Ironisnya pajak terus dinaikkan sebagai tindakan penekanan terhadap penyetor pajak yang dianggap mengalami kemajuan usaha. Selain menaikkan bea dan pajak kepala, penindasan juga melibatkan pengusiran kasar terhadap warga etnis Tionghoa yang tidak mampu membayar pajak sesuai ketetapan VOC.

 Gubernur Jenderal VOC kala itu, Adrian Valckenier, memerintahkan pasukannya untuk membantai 10.000 orang Tionghoa. Peristiwa ini mengubah tatanan sosial dan ekonomi secara drastis, dan memperlihatkan bahwa warga etnis Tionghoa dan Bumiputra senasib sepenanggungan dalam menerima perlakuan kejam VOC. Perlawanan yang dilakukan etnis Tionghoa pasca tragedi menunjukkan persatuan antara warga etnis Tionghoa dan Bumiputra untuk menentang keberadaan pihak penjajah Belanda serta memperjuangkan kemerdekaan.

Analysis (Analisis)

Relevansi dalam konteks Tragedi Berdarah Angke Tahun 1740 dan teori Materialisme historis dapat dilihat dari latar belakang peristiwa berawal dari ketegangan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh warga Tionghoa akibat kebijakan ekonomi yang merugikan dari VOC. Adanya kemajuan dari segi ekonomi yang diusahakan oleh etnis Tionghoa, sehingga pihak VOC dapat mengumpulkan pajak lebih besar dan ironisnya pajak terus dinaikkan sebagai tindakan penekanan terhadap penyetor pajak yang dianggap mengalami kemajuan usaha. Kecemburuan sosial akibat faktor ekonomi yang dirasakan VOC, ternyata harus dibayar mahal oleh warga etnis Tionghoa, bukan hanya dengan air mata dan keringat, tetapi juga dengan nyawa.

Kaum borjuis mencakup pemilik modal dan kelas-kelas pengusaha dalam masyarakat. Mereka memiliki kekuasaan dalam pemerintah kolonial dan mendapat banyak keuntungan dari ekonomi kolonial. Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier merupakan contoh kelas borjuis yang terlibat dalam pembantaian massal terhadap warga etnis Tionghoa. Sedangkan kaum proletariat terdiri dari pekerja yang bekerja untuk kelas borjuis dan mendapatkan uang melalui gaji yang diberikan oleh mereka. Mereka merupakan seseorang yang terdampak terbanyak dari kebijakan ekonomi yang merugikan oleh VOC, dan mereka menjadi salah satu pengakuan dalam pembantaian massal terhadap warga etnis Tionghoa.

Dilihat dari keberadaanya di Nusantara, etnis Tionghoa datang ke Batavia dan Nusantara lainnya untuk mencari nafkah akibat perang di negeri asal mereka. Mereka tidak hanya bekerja keras dan produktif dalam berbagai bidang di Batavia, tetapi juga berbagi pengetahuan dengan masyarakat setempat, tanpa menunjukkan bentuk penjajahan terhadap warga bumiputra. Sedangkan kedatangan pihak Kompeni (VOC) didorong oleh misi ekonomi, dengan pemerasan atas koloni untuk memperoleh keuntungan perdagangan yang digunakan untuk membangun infrastruktur di negara asalnya.

Discussion (Kesimpulan)

Tragedi pembantaian etnis Tionghoa di Kali Angke, yang merenggut nyawa secara kejam dari 10.000 orang Tionghoa pada tahun 1740. Peristiwa tragis ini bermula dari ketegangan antara pemerintahan VOC dan komunitas etnis Tionghoa, VOC menganggap etnis Tionghoa sebagai sebuah ancaman secara ekonomi.

peristiwa Tragedi Berdarah Angke pada tahun 1740 relevan dengan teori materialisme Karl Marx, d alam peristiwa ini, perubahan ekonomi dan sosial di Batavia menjadi hasil dari konflik antara masyarakat dan pemerintah kolonial, yang akhirnya mengarah pada pembantaian massal terhadap warga etnis Tionghoa.

 

Sumber Referensi

Ajid Tohir dan Ahmad Sahidin. 2019. Filsafat Sejarah: Profetik, Spekulatif dan Kritis. Bandung: Prenadamedia Group.

Hembing Wijayakusuma. 2005. Pembantaian Massal, 1740: Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ajeng Wirachmi-Litbang MPI dengan judul "Asal Usul Kali Angke, Tempat Pembantaian Massal VOC 1740". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://metro.sindonews.com/read/722989/173/asal-usul-kali-angke-tempat-pembantaian-massal-voc-1740-1648137815. (Jum'at, 25 Maret 2022 - 06:01 WIB), diakses pada 25 Desember 2023.

Ikuti tulisan menarik Agnes Rohimiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB