x

Memuat cover buku Pernikahan di Sumbawa, Adat dan Makna Simbol

Iklan

Yin Ude

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Januari 2022

Selasa, 23 Januari 2024 13:27 WIB

Resensi Buku Pernikahan di Sumbawa, Adat dan Makna Simbol

Proses atau tahapan pernikahan adat Sumbawa dibahas lengkap di sini. Sejak perjodohan, upacara sebelum pernikahan adat, hingga setelah pernikahan adat dirinci lengkap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

RESENSI BUKU

Judul:

Pernikahan di Sumbawa, Adat dan Makna Simbol

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penulis:

Jeri Ardiansa

Penerbit:

Penerbit Adab

Tempat diterbitkan:

Indramayu, Jawa Barat

Edisi:

Cetakan Pertama, Maret 2022

Jumlah halaman:

x + 134 hlm

Ukuran buku:

14,5 x 21 cm

ISBN:

978-623-5314-13-6

 

Kehadiran buku ini telah ikut menutupi ceruk kekurangan literatur kebudayaan Sumbawa, khususnya literatur yang dapat menjelaskan dan sekaligus memberi pencerahan tentang budaya pernikahan adat Sumbawa. Awalnya buku ini merupakan tesis penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pascasarjananya dalam Program Interdisciplinary Islamic Studies pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sekelumit, Jeri Ardiansa lahir di Desa Pemasar, Kecamatan Maronge, Kabupaten Sumbawa pada tanggal 26 Mei 1996. Ia adalah seorang sarjana pendidikan guru madrasah ibtidaiyah. Sebelum menulis buku ini ia telah menelurkan beberapa buku lain di antaranya buku tunggal Pendidikan Karakter: Teori dan Praktik (Forum Pemuda Aswaja, 2020) dan ikut serta menjadi penulis buku Adaptasi dan Transformasi Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 (Edu Publisher, 2021). Jadi tak dapat diragukan lagi kompetensinya sebagai penulis buku non fiksi.

Buku ini tersusun atas lima bab. Pada Bab I, penulis menginformasikan Sekilas Tentang Sumbawa, yang dibagi dalam empat bagian penjelasan, yaitu Asal Usul Orang Sumbawa (Tau Samawa), Pengaruh Jawa-Majapahit, Masuknya Islam dan Pengaruh Makasar, dan Pengaruh Tradisi Keagamaan Islam Champa.

Pada bagian terakhir inilah, yakni bagian Pengaruh Tradisi Keagamaan Islam Champa penulis membangun pemahaman pembaca tentang asal usul budaya pernikahan di Sumbawa. Pada halaman 20 sampai 21 ia menyatakan, “Raden Ali Murtadha dan Raden Rahmat ketika berdakwah di nusantara juga membawa tradisi masyarakat Islam Champa ke nusantara dan sampai sekarang tradisi tersebut masih dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.”

Sebagai kelanjutan pernyataannya, masih di halaman sama ia menulis, “Tradisi masyarakat Islam Champa masih dilakukan sampai sekarang oleh masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Sumbawa,…”

Yang kemudian dipertegas dengan pernyataan, “Orang-orang Champa selain melaksanakan tradisi keagamaan memperingati hari kematian seseorang, juga menjalankan peringatan haul tahunan, perayaan Hari Asyura, Maulid Nabi Saw., upacara pernikahan anak, dan adat kebiasaan Melayu Polinesia lainnya.49” (hlm.20-21)    

Bab II, berisi landasan teori. Pada bab ini, yang hanya memuat kerangka teori, penulis  menyatakan salah satu landasannya; “Upacara pernikahan sebenarnya merupakan suatu ungkapan keyakinan religius, maka tata upacara adat Sumbawa pun menyimpan pesan-pesan tersembunyi tentang sesuatu yang supranatural yang mereka pahami. Menurut Geertz terbentuknya sistem religi bila simbol sakral menjadi suatu totalitas tertentu secara tertib.56 Hal itu dapat dilihat pada simbol-simbol yang digunakan dalam upacara perkawinan adatnya, pemahaman dan keyakinan masyarakat Sumbawa terhadap kekuatan supranatural juga dinyatakan. Hal ini semakin memperjelas arti penting dari sebuah simbol untuk mengungkapkan hal-hal religius yang dipahami oleh masyarakat Sumbawa yang diwarisi oleh nenek moyangnya.”(hlm.25)

Disimpulkan pula oleh penulis bahwa tradisi pernikahan masyarakat Sumbawa menjadi salah satu unsur yang paling esensial dalam kehidupan masyarakat Sumbawa, karena pada hakikatnya ritual-ritual yang terdapat di dalam kehidupan suku Samawa terdapat nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai religiusitas yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sosial masyarakat Sumbawa, apalagi di era degradasi moral, sehingga adat memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan masyarakat Sumbawa yang soleh sosial dan soleh spiritual. (hlm. 28)

Landasan teori dan kesimpulan penulis di atas mungkin akan ditangkap oleh pembaca sebagai landasan utama penulis merekomendasikan agar buku ini dibaca, khususnya oleh masyarakat Sumbawa, sekaligus pula menjadi alasan kuat masyarakat Sumbawa untuk “wajib” membacanya.

Bagaimana proses atau tahapan pernikahan adat Sumbawa, inilah inti yang hendak dibahas oleh buku yang terbilang berketebalan medium ini. Dan semuanya secara lengkap dibahas pada Bab III Upacara Pernikahan Adat Sumbawa.

Dalam bab ini pembaca mendapatkan informasi jelas tentang Perjodohan dalam Masyarakat Sumbawa, Upacara Sebelum Pernikahan Adat Sumbawa, Upacara Pernikahan Adat Sumbawa, Upacara Setelah Pernikahan Adat Sumbawa dan Tujuan Dilaksanakannya Upacara Pernikahan Adat Sumbawa.

Disebutkan oleh penulis bahwa proses pernikahan orang Sumbawa tidak jauh berbeda dengan proses pernikahan masyarakat lain di Indonesia, tetapi pernikahan adat Sumbawa memiliki keunikan, kekhasan dan kelebihan tersendiri. (hlm. 30)

Keunikan, kekhasan dan kelebihan tersendiri dimaksud tampak dalam upacara-upacara sebelum pernikahan adat (bajajak, badenung, bakatoan, basaputis, bada, nyorong, barodak rapancar, dan bakengkam), upacara  pernikahan adat (ijab kabul dan resepsi), dan  upacara setelah pernikahan (rame mesa, ngiring, tokal basai dan ngerang).

Dalam bakatoan misalnya.

Bakatoan atau meminang dilakukan setelah selesai proses bajajak atau badenung. (hlm. 39)

Yang unik dalam bakatoan, seperti tersebut dalam halaman 40 yakni, “Sito digunakan sebagai lambang diterima atau tidaknya lamaran dari pihak keluarga calon pengantin laki-laki oleh keluarga pihak perempuan… Apabila sito atau bingkisan yang dibawa oleh keluarga calon pengantin laki-laki diterima maka lamaran diterima, tetapi apabila sito dikembalikan maka lamaran tersebut tidak diterima,…”

Juga dalam basaputis.

Dalam kegiatan basaputis, biasanya orang Sumbawa menggunakan peribahasa terhadap apa yang dibutuhkan kepada keluarga calon pengantin laki-laki untuk menunjang kesuksesan acara resepsi, seperti, kaji sate kebo ade batemung rumpung (saya ingin kerbau yang bertemu pantatnya), kata-kata tersebut bermakna bahwa pihak keluarga perempuan meminta dua ekor kerbau kepada keluarga pengantin laki-laki, jika keluarga pengantin laki-laki mampu, maka mereka langsung menyanggupi permintaan dari pihak keluarga pengantin wanita, tetapi jika tidak mampu maka dijawab juga dengan peribahasa seperti kebo ana ka bilin lar atau ka polak noga (kerbaunya hilang satu ekor di tempat penggembalaan atau patah noganya), kata-kata tersebut bermakna bahwa pihak laki-laki hanya mampu memberikan satu ekor kerbau.90 (hlm. 42)

Namun di antara pembahasan keunikan, buku ini  juga memberikan beberapa koreksi penting yang sangat mencerahkan.

Pada pembahasan nyorong dijelaskan bahwa tempo dulu acara nyorong tidak berpidato, melainkan saleng sier lawas (saling membalas syair) sehingga suasana menjadi maras atau asyik, tetapi sekarang lebih banyak berpidato dan hanya membaca dua sampai tiga lawas sehingga suasana menjadi kurang maras atau kurang asyik… (hlm. 52)

Tentang barodak rapancar penulis menjelaskan bahwa tradisi barodak memiliki aturan-aturan baku yang sudah ditentukan oleh Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) yaitu … (2) barodak harus berpisah atau sendiri-sendiri untuk kedua calon pengantin, (3) calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita melulur atau barodak di rumahnya masing-masing…(hlm.60)

Dua poin aturan baku di atas telah mengoreksi kesalahan yang kerap terjadi dalam prosesi pernikahan di tengah masyarakat Sumbawa, dimana saat barodak kedua calon pengantin disandingkan di tempat yang sama, alih-alih terpisah atau sendiri-sendiri di rumahnya masing-masing. Kesalahan yang tentu saja akibat kurangnya pemahaman tentang aturan yang seharusnya. Maka sekali lagi keberadaan buku ini telah menutup ceruk kekurangan sumber pencerahan tentang budaya pernikahan adat Sumbawa, yang sesuai dengan kaidah adat Sumbawa.

Dalam pembahasan ijab kabul, sekali lagi buku ini mencubit kita, yaitu, “Tempo dulu proses pernikahan adat Suku Samawa sangat memuliakan perempuan, sehingga ketika ijab kabul kedua pasangan pengantin tidak boleh bersanding, apalagi sampai bersentuhan, karena belum sah menjadi suami isteri menurut agama Islam, sehingga falsafah adat barenti ko syara’ dan syara’ barenti ko kitabullah benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan Tau Samawa. Tetapi di era modernisasi masyarakat Sumbawa melanggar falsafah tersebut dan mentradisikan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, sehingga banyak ritual akad nikah yang disandingkan dengan cara meletakkan kain warna putih  di atas kepala kedua pasangan pengantin, padahal dalam aturan Tau Samawa tradisi tersebut merupakan perbuatan yang melanggar adat.130 (hlm. 72)

Selain koreksi, penulis juga memampangkan kenyataan bahwa perkembangan zaman, pola hidup dan orientasi ekonomi masyarakat Sumbawa telah menghilangkan prosesi rame mesa dan ngerang. Benar, saat ini kedua prosesi ini tak pernah lagi kita temui.

Tradisi rame mesa dilakukan untuk memeriahkan rumah pengantin laki-laki, wujud dari kegembiraan semua keluarga pengantin laki-laki dan seluruh masyarakat desa setempat, menyenangkan hati pengantin dan keluarga pengantin karena dihadiri oleh orang banyak dan membiasakan pengantin laki-laki supaya pada acara tokal basai duduk bersanding dengan calon isteri lebih percaya diri.134

Acara rame mesa atau ramai sendiri mengalami perubahan, bahkan sekarang sudah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat Sumbawa semenjak tahun 1980 M yang merupakan warisan masyarakat Sumbawa, karena tradisi ini dianggap banyak menyita waktu masyarakat, karena sekarang masyarakat Sumbawa memiliki berbagai macam pekerjaan dan acara rame mesa membutuhkan biaya yang cukup banyak.135(hlm. 78)

Keesokan harinya setelah malam persandingan (pada sore hari) dilakukan acara ngerang yaitu suami isteri menggunakan pakaian pengantin bertandang ke rumah orang tua pengantin laki-laki. Tetapi semenjak tahun 1980 M sampai sekarang tradisi ngerang sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sumbawa, karena terlalu banyak menyita waktu dan biaya, apalagi sekarang masyarakat Sumbawa sudah sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan, mengolah bisnisnya dan sedikitnya pendapatan.140 (hlm. 82)

Pada Bab IV pembaca buku ini dapat menyelami makna simbol dalam pernikahan adat Sumbawa.

Simbol merupakan elemen pembangun pernikahan adat Sumbawa. Sesuai dengan paparan penulis bahwa tradisi perkawinan adat Samawa menjadi bagian dari budaya yang merupakan realita perilaku manusia, diarahkan pada kondisi dimana manusia menciptakan simbol-simbol dalam prosesi tradisi tersebut. (hlm. 90)

Bajajak merupakan simbol silaturrahim antara kedua keluarga calon pengantin, terlebih dahulu membangun rasa kekeluargaan dan tidak langsung meminta calon pengantin perempuan. (hlm. 91-92)

Simbol non verbal dalam pernikahan Suku Samawa daun sirih yang urat daunnya harus bertemu karena merupakan symbol dari pertemuan hubungan kekeluargaan antara kedua pasangan pengantin dan seluruh masyarakat yang berasal dari kampung kedua pengantin,… (hlm. 111)

Adapun simbol-simbol dalam tradisi tokal basai atau duduk bersama yaitu bajelak atau pengantin laki-laki meletakkan jarinya di atas ubun-ubun pengantin perempuan sebagai simbol menurunkan sifat isterinya supaya perempuan tersebut menuruti perintah suaminya dan sifat isteri tidak keras melebihi sifat suaminya,… (hlm. 122)

Sebagai penutup, pada Bab IV penulis memberikan tiga kesimpulan atas seluruh isi bukunya ini. Namun kesimpulan terpenting adalah kesimpulan ketiga yakni pernikahan adat masyarakat Sumbawa dipertahankan sampai sekarang karena merupakan tradisi yang terus diwariskan dan memiliki manfaat bagi kehidupan sosial masyarakat Sumbawa. Semua rentetan acara perkawinan adat Samawa sebagai media untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahma… (hlm. 128)

Kesimpulan yang kemungkinan besar akan kembali meneguhkan pendapat pembaca bahwa buku ini beralasan kuat untuk dibaca, sebab melalui paparannya lah tradisi yang terus diwariskan dan memiliki manfaat itu dikenal oleh masyarakat pemiliknya, masyarakat Sumbawa. Dan melalui pembahasan-pembahasannya pula semua rentetan acara perkawinan adat Samawa yang menjadi media untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahma itu dapat dipahami oleh Tau Samawa.

Foto-foto ilustrasi di dalam buku ini seluruhnya tercetak dengan mode grayscale. Ada beberapa detail foto yang akan lebih jelas dan memberi penjelasan lebih seandainya berwarna. Namun terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini telah menyajikan informasi yang komprehensif, dan yang terpenting sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat Sumbawa yang hidup pada saat ini, juga oleh generasi muda dan generasi akan datang yang minim pengetahuan tentang pernikahan adat Sumbawa[.]

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Yin Ude lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB