Strategi Pertahanan Ala Pep Guardiola di Laut China Selatan

Senin, 27 Mei 2024 13:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Strategi pertahanan seperti apa yang dapat digunakan di dalam konflik Laut China Selatan? Apakah strategi pertahanan ala Pep Guardiola, yakni menyerang adalah strategi pertahanan terbaik dapat diimplementasikan oleh Indonesia di tengah-tengah konflik LCS?

Ten dashed line yang merupakan klaim China di LCS (Laut China Selatan) bukan hanya bertujuan untuk memperluas wilayah perairan China dengan segala sumber daya alam dan potensi ekonomi yang ada di dalamnya. Tapi, juga ada upaya China untuk membangun sebuah great wall di wilayah perairannya. Pendapat ini bukan pendapat yang tak berdasar jika kita melihat apa yang dibangun China beberapa tahun terakhir di wilayah perairan tersebut. sebuah pangkalan militer di atas pulau karang, Spratly islands.

Langkah yang diambil China, salah satunya merupakan manifestasi dari sejarah kelam China dalam Opium War pada pertengahan abad ke-19. Kekalahan telak China oleh armada Inggris dan Perancis dalam Opium War memberikan dampak yang sangat merugikan bagi rakyat China. Kekalahan tersebut merupakan simbol lemahnya pertahanan militer khususnya armada angkatan laut China pada masa itu. melihat dari sejarah kelam inilah kemudian China menyadari tentang pentingnya membangun sebuah strategi pertahanan laut.

Klaim LCS yang dulunya nine dashed line kemudian meluas menjadi Ten dashed line pada tahun 2023 dan percepatan pembangunan kekuatan militer China saat ini bukan merupakan hal tanpa sebab. Konflik antara China dan Taiwan yang tak kunjung usai serta ditambah potensi besar keterlibatan Amerika dengan angkatan lautnya dalam konflik tersebut membuat Xi Jinping ingin bersegera dan gigih menetapkan tahun 2049 adalah target untuk mencapai Impian China, konsep satu negara China.

Dengan memahami apa yang menjadi fokus utama China beberapa tahun yang akan datang, memberikan landasan bagi negara-negara yang bersinggungan langsung dengan klaim LCS dalam mengambil kebijakan strategi pertahanan, khususnya Indonesia. Apakah strategi pertahanan ala Pep Guardiola “menyerang adalah strategi pertahanan terbaik” dapat diimplementasikan di tengah-tengah konflik LCS? atau justru malah sebaliknya, menyerang menjadi strategi pertahanan terburuk?.

Hari ini dengan melihat perbandingan kekuatan antara Indonesia dan China yang tarpaut cukup jauh, juga kecenderungan peningkatan anggaran belanja pertahanan China dalam beberapa tahun terakhir yang berkorelasi dengan modernisasi peningkatan kekuatan militernya. sudah tentu dapat disimpulkan bahwa bertindak ofensif akan menjadi starategi pertahanan terburuk yang justru akan memicu konflik baru yang jauh lebih besar dan merugikan negara kita.

Fokus utama China dalam memperjuangkan Taiwan untuk beberapa tahun kedepan, mempersempit kemungkinan China untuk berkonflik secara fisik dengan negara-negara di kawasan. Tentunya ini akan memberikan kita ruang untuk bersegera meningkatkan kekuatan militer, khususnya armada laut yang merupakan mandala terluar dan bersinggungan langsung di konflik LNU (Laut Natuna Utara). Selain itu, kita juga harus tetap mempertahankan klaim kita disana dengan melaksanakan patroli laut dan udara secara rutin sebagai bentuk kehadiran dan wujud nyata klaim kita di LNU.

Patroli rutin yang dilakukan harus tetap menjaga kewarasan dengan tidak melakukan tembakan pertama atau tindakan-tindakan yang akan merugikan negara dan kemudian memicu konflik yang tidak diinginkan. Prinsipnya, prilaku ofensif suatu negara akan dijadikan sebagai pembenaran untuk menyerang balik negara yang memulai, seperti halnya apa yang terjadi di Timur Tengah.

Konflik antara Palestina dan Israel semakin meluas semenjak 7 Oktober 2023. Setelah kelompok Hamas atas nama Palestina melancarkan serangan roket besar-besaran dan menerobos perbatasan. Hal itu yang kemudian dijadikan sebagai alasan oleh Benjamin Natanyahu untuk memborbardir Gaza. Tanpa memberikan pembenaran terhadap pihak tertentu, seharusnya dari sini kita belajar untuk tidak memulai tindakan menyerang secara fisik dan sebisa mungkin mengedepankan diplomasi dalam menyelesaikan suatu konflik.

Dengan diplomasi, kita punya kesempatan untuk memenangkan peperangan tanpa pertempuran. Tapi bukan berarti kita abai terhadap peningkatan kekuatan militer. Karena kekuatan diplomasi juga berbanding lurus dengan kekuatan pertahanan militer. Seperti halnya teori yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Theodore Roosevelt “big stick diplomacy, speak softly and carry a big stick”. Ungkapan itu dapat diinterpretasikan dengan semakin tinggi kekuatan militer suatu negara akan lebih memuluskan negara tersebut dalam mencapai kepentingan dan tujan diplomasi.

Pada akhirnya, penulis atas nama pribadi tanpa mewakili instansi tertentu menyimpulkan bahwa apa yang perlu dilakukan Indonesia di tengah konflik LCS adalah untuk tidak berperilaku ofensif dengan tetap melakukan patroli secara rutin, sembari segera melakukan percepatan dalam peningkatan kekuatan militer khususnya armada laut dan udara, serta tetap mengedapankan diplomasi dalam penyelesaian konflik di LNU.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Habib A. Al Assad, S.Tr.(Han)

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler