Darma Politik ataukah Drama Politik?

Senin, 21 Oktober 2024 10:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Boneka Politik
Iklan

Fakta realita fenomena di negeri ini sebagai entitas kehidupan timpang atau pincang, yang berarti tidak seimbang, utamanya di panggung politik, adalah demikian ...

Darma politik itu adalah kewajiban, tugas hidup yang berlandaskan pada nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan politik. Dan, politik itu sendiri merupakan pengetahuan tentang sistem pemerintahan atau ketatanegaraan, seperti halnya soal pemerintahan ataupun dasar pemerintahan.

Sedangkan drama politik adalah cerita atau kisah, utamanya yang melibatkan konflik atau emosi yang khusus disusun untuk sebuah pertunjukan di panggung politik. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mari dicoba untuk diurai dengan seksama, Bro! Tanpa harus mengada-ada, apa adanya, jujur, adil, seimbang, indah atau proposional. Dan, yang paling penting sekaligus prinsipal adalah terpenuhinya kaidah ilmiah, yakni memenuhi syarat ilmu pengetahuan yang di ranah para cerdik pandai dinamakan bernilai dan berbobot sains dan teknologi.

Sebisa mungkin terhindar dari soal mitos, halusinasi ataupun unsur klenik-mistis dan yang sebangsanya. Sepakatkah? Ya, seharusnya sepakat soal ini, demi tegaknya kebenaran yang objektif ilmiah tentunya.

Dunia ini apabila ditamsilkan, laksana panggung sandiwara yang diperankan oleh anak manusia, dalam gender lelaki maupun wanita, balita hingga dewasa dan tua renta. Lengkaplah sudah dan tak boleh ada yang tertinggal keterlibatannya dalam berperan sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing, individu maupun kolektif.

Kisah cerita selalu berubah-ubah seiring dengan dinamika kehidupan dunia. Kadang bernuansa tragedi, kadang komedi, dan perpaduan di antara keduanya, yakni tragi-komedi. Ada pemeran antagonis, protagonis, dan figuran pendukung yang berperangai di antara keduanya,  yakni antagonis dan protagonis yang berbaur jadi satu, namun esensinya mengerucut pada dua hal, yakni kebajikan dan keburukan yang ditampilkannya.

Kita simak saja di negeri ini, tak usah jauh-jauh menengok negeri lain dalam cakupan dunia yang luas. Kalaupun itu dilakukan, maka cukuplah sebagai bahan komparasi saja terhadap apa yang terjadi di negeri ini.

Mulailah memahami sebatas apa yang telah  kita pahami, tak lebih dan tak kurang, yang pokok-pokok saja. Rinciannya, silakan dikembangkan sendiri dalam proses pembelajaran dan pengalaman diri kita sendiri. Apakah dari pantulan alam, ataupun sebaliknya, dengan sedikit konsepsi yang kita dapatkan, kemudian dijelajahkan (analisis) ke dalam kenyataan pasti alam guna mendapatkan pembuktian sebagai hamonisasi antara konsepsi dengan fakta realita yang tak terbantahkan.

Fakta realita fenomena di negeri ini sebagai entitas kehidupan timpang atau pincang, yang berarti tidak seimbang, utamanya di panggung politik, adalah demikian ...

Dimulai pada kurun waktu 2014, sebagai titik pijak mengurai rekam jejak sejarah yang masih terasa hangat sebelum pupus kehangatannya, dan poin-poin yang diingat saja. Sebab bila keseluruhan kejadian dan peristiwa tanpa kecuali, rasanya koq imposible

Muncullah sosok seorang Jokowi yang menapak perjalanan bermula dari seorang pengusaha mebel, kemudian meniti jalan hidupnya mulai dari menjadi walikota Solo, gubernur DKI Jakarta,  hingga menjadi presiden dalam satu dasa warsa di masa baktinya, dan akan berakhir pada 20 Oktober 2024 ini. Sebuah pencapaian spektakuler dan luar biasa,  yang berproses hampir jarang diraih oleh siapapun anak bangsa di negeri ini.

Kemudian, berbagai bencana berskala kecil, menengah, dan besar bisa kita saksikan sendiri atau melalui sajian berita dari media massa. Seperti banjir bandang, tanah longsor, gempa vulkanik dan tektonik, tsunami, letupan gunung berapi, dan lain sebagainya yang berkategorikan sebagai bencana alam. Menyeruaknya pandemi dengan segala variannya, dari yang bernama Covid-19 sampai dengan Cacar Monyet, dan entah apalagi yang bakal muncul dalam memunculkan paranoid massal. 

Tokoh Agamis, atau sebut saja rohaniawan secara umum yang telah mencabuli perempuan anak didik asuhnya yang menghebohkan publik dan menjadikan negeri ini jadi berguncang-guncang.

Seorang jendral polisi yang begitu sadisnya melakukan pembunuhan berencana terhadap bawahannya sendiri, telah mencabik-cabik marwah institusi kepolisian sebagai salah satu dari pilar penegak hukum di negeri ini.

Seorang serdadu AD berpangkat kopral kepala, melakukan rencana pembunuhan terhadap istrinya sendiri dengan modus pinjam tangan atau menyewa orang lain sebagai algojo, namun gagal, dan berujung pada kematian sang serdadu itu sendiri yang ditengarai menenggak racun akibat depresi, karena rencananya keburu diketahui alias ketahuan.

Terkuaknya kasus jual-beli barang bukti narkoba yang melibatkan seorang jendral polisi, kembali menjadi tamparan keras bagi marwah institusi kepolisian yang seharusnya adalah bagian dari alat negara utama yang berkewajiban memberantas segala bentuk kejahatan penyalahgunaan narkoba.  

Maraknya penyalahgunaan narkoba dan korupsi oleh berbagai kalangan dan profesi dalam berbagai modus dan cara yang dilakukannya, telah menghebohkan publik dan mengguncangkan sendi kehdupan seantero negeri ini, dan ironisnya menembus ranah pendidikan dan pengajaran yang konon adalah kawah candradimuka dalam menggodok sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam perspektif memanusiakan manusia yang terlingkup di ranah kemanusiaan yang adil dan beradab. 

Alam menggeliat memberontak karena tak mau menerima ulah perilaku manusia yang mengusiknya, yang semestinya dijaga dan dipelihara hubungan di antara keduanya dalam menciptakan harmonisasi antara manusia dengan alam yang memfasilitasi segala kebutuhan manusia, yakni harmonisasi relasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Itulah semustinya dan yang seharusnya secara prinsip menurut nilai keseimbangan berdasarkan ajaran Tuhan semesta alam universal yang patut diwujudkan oleh manusia dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Beradab sebagai hamba-hamba Tuhan yang diharapkan selalu berpegang teguh kepada nilai dan semangat juang menegakkan keseimbangan hidup di dunia. Bukan malah menciptakan kepincangan atau ketimpangan hidup di dunia yang fana ini.

Lantas, hendak kemanakah bahtera kehidupan bangsa ini dalam mengarungi samudra kehidupan  Indonesia Nusantara yang maha luas dengan hamparan daratan dan lautan yang esensi faktualnya adalah gemah ripah loh jinawi? Nahkoda bahtera bangsa negeri ini, maaf, apa sudah khatam bin fasih akan seluk beluk, hal ihwal terhadap sejarah bangsanya dengan filosofi bahwa "sejarah adalah guru kehidupan" yang berprinsip siklus dalam gerak bergulirnya, dan bukan linear!

Simpelnya, bisakah disebut telah tercipta tatanan hidup adil, makmur nan sejahtera, aman, nyaman, sentosa dan bahagia? Sementara, masih tergambar di setiap sudut di negeri ini soal gizi buruk, kemiskinan, kesenjangan ekonomi yang menganga yang ditandai adanya gap antara si kaya dan si miskin? Apalagi, dilengkapi oleh beban utang, utang dan utang negara yang mencekik melilit leher bangsa? Bisakah? Dimanakah "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" real bisa ditemui?

Sandiwara dan tonil di negeri ini masih berlangsung lewat adegan-adegan yang diperankan oleh pemeran antagonis yang menenggelamkan segelintir sang protagonis yang tak berdaya dan tak kuasa. Dan, hebatnya, sang antagonis adalah pemain watak berperangai Dasamuka dan Rahwana sebagai simbol kejahatan dengan sifatnya sebagai "raja tega" di atas hajat hidup orang banyak, dimana fakta realitanya masih dalam buaian dan ayunan hipokrit bin fasik! 

Puji Tuhan Semesta Alam, kepada Gusti Kang Maha Agung, Tuhan Yang Maha Esa, kami bersenandung harap, semoga sandiwara ini sesegera mungkin berakhir, karena memang belum berakhir. Oh, begitulah bila difragmentasikan dalam kronologi runutannya ...

Dunia ini laksana panggung sandiwara dalam lakon bernuansa jaman edan. Bila tak turut edan khawatir tak kebagian dalam genangan kenikmatan dunia yang semu dan sementara.

Hanya ada dua pilihan, turut dan larut bersamanya ataukah menghindar demi kemaslahatan dan keselamatan yang direstui Tuhan semesta alam?

Lantas bagaimanakah seharusnya kita? Bersiaplah dan bertaubatlah jawabnya, seperti yang diteladankan oleh para nabi atau rasul, dan para pejuang keseimbangan  yang tertoreh dalam sejarah ... 

*****

Kota Malang, Oktober di hari kedua puluh, Dua Ribu Dua Puluh Empat. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

1 Pengikut

img-content

Menyaripatikan Hidup dalam Kehidupan

Rabu, 4 Desember 2024 08:32 WIB
img-content

Politik Uang, Uang Politik

Minggu, 1 Desember 2024 07:09 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler