Freya

Jumat, 15 November 2024 13:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi (Sumber:Koleksi Dok Pribadi) Senja yang Mengukir Kenangan
Iklan

Sebuah kisah tentang gadis kecil dan dunia kecilnya

***

Namanya Freya, anak perempuan yang tak pernah lelap dalam tenang dan damai. Gadis kecil yang selalu gelisah, karena sebuah bibit yang terus bertumbuh dalam hatinya. Bertunas dalam batin terjauhnya dan perlahan merambati seluruh hati dan pikiran Freya. Akarnya merajalela ke seluruh benak gadis kecil itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pohon itu bertunas sejak Freya masih kecil, saat usianya kanak-kanak dengan ingus meleleh di kedua lubang hidungnya. Bertunas kecil karena kata-kata yang terus merasuk ke dalam gendang telinga Freya, tanpa ampun.

“Hahahaha, Freya jelek.”

“Freya Hitam.”

“Anak Afrika.”

“Freya anak pembantu.”

Haa, kalimat-kalimat itu, yang entah bagaimana bisa tercetus dari bibir-bibir mungil para bocah seusianya. Dalam ingatan Freya yang tidak seberapa, ibunya tidak pernah menelurkan kata-kata seperti itu sekalipun dalam kemarahan.

Marah? Tentu saja marah, tetapi Freya berusaha bersikap seperti Ibu yang tenang dan tak peduli akan semua kalimat-kalimat jahat mereka. Berusaha untuk tidak mendengar dan menyimpannya dalam hati. Tetapi, tidak sekedar kata-kata, perlakuan buruk pun sering menjadikannya sebagai sasaran.

“Anak teroris!” kata-kata ini biasanya diiringi dengan tatapan kebencian, ludah yang menciprati wajahnya atau pukulan ringan yang sekalipun tidak berbekas di kulitnya yang eksotik, tetapi membekas sangat dalam di hati Freya. Membentuk sebuah bibit kecil yang perlahan bertumbuh.

Anak teroris, kata-kata itu kerap ia dengar termasuk dari keluarganya sendiri. Biasanya Ibu menenangkan Freya dengan senyum super sabar yang entah mengapa masih bisa ia sunggingkan. Bagi Freya, kata-kata itu seperti cemeti kuda lumping, membuatnya ingin mengunyah tidak hanya beling.

Freya menatap kuburan yang rumputnya mulai tinggi. Berdiri bersidekap di sana, mencoba untuk tidak membaca nama yang tertulis besar-besar di nisan.

‘Kenapa?’ 

Pertanyaan itu selalu muncul di benak Freya sejak ia melihat peti jenazah ayahnya diturunkan ke dalam liang lahat. Jenazah yang tidak diizinkan untuk dibuka dan dilihat. Sehingga bahkan Freya pun meragukan isinya adalah sang ayah. Pria yang tidak terlalu sering bertemu Freya itu, meninggalkan kesan mendalam baginya.

Bukan seperti kata pepatah bahwa ayah adalah cinta pertama anak perempuannya, bagi Freya, ayah hanya sebuah kata. Kata yang sesekali ia ucapkan dan bahkan ia sendiri tidak memahami maknanya. Sebuah kata yang meninggalkan lubang besar dalam diri Freya. Kata yang jika Freya jujur, sangat ia benci.

“Jika benar yang ada di dalam sana adalah kau, Ayah. Katakan padaku mengapa kau melakukan itu?”

Lirih suara Freya mengikuti ratapan angin yang mendesau gelisah, meriap rambut tebalnya. Sebagian tergigit dalam bibirnya yang merah delima dan dengan kesal gadis itu meludahkan kembali rambutnya yang pecicilan.  Hari ini Freya berada di makam penuh ilalang itu karena surat yang ditinggalkan Ibu di atas meja riasnya.

Surat itu ia remas dalam genggaman kecilnya, sepucuk surat yang meremukkan seluruh hari Freya. Bahkan mungkin juga meremukkan seluruh impian dan masa depannya. Gadis kecil itu menatap lagi kuburan yang hampir tenggelam dalam tingginya ilalang, menghempas napas dan beranjak pergi dalam langkah yang sangat lambat. Seolah sangat berat baginya untuk menjauh dari sana.

“Hah, harus kemana?” pikirnya gundah. Rumah yang biasa ia tinggali bersama Ibu telah diambil alih oleh sepupu ibunya. Rumah yang menurut mereka telah dijaminkan sebagai pembayar utang yang dibuat Ibu untuk menafkahi hidup mereka setelah sang ayah dimakamkan.

Freya menatap langit senja yang mulai memerah jingga, ufuk barat terlihat bersinar ceria diantara angin senja yang menusuk tulang. Gadis kecil itu berdiam diri di puncak bukit kecil tak jauh dari makam. Hingga matahari turun dan perlahan menggelincir di titik nadir, Freya masih berdiri disana. Menatap kegelapan yang perlahan menyelimuti bukit.

Kegelapan yang semakin lama semakin pekat, tapi Freya masih enggan beranjak. Ia tahu seharusnya ia pulang sekarang.

‘Pulang,’ batinnya kelu. Kemana ia harus pulang sekarang? Ia tidak lagi memiliki rumah untuk berteduh. Jikapun mereka masih mau menerimanya disana, Freya tak bisa lagi menyebutnya sebagai rumah. Karena sudah tidak ada tempat bernaung dengan nyaman baginya disana.

Gadis kecil itu membuka kembali surat dari Ibu yang telah remuk dalam cengkeramannya. Beberapa tulisannya terhapus karena keringat dari telapak tangan Freya.

‘Maafkan Ibu Freya, Ibu tahu ini kejam tapi Ibu tidak bisa lagi bertahan. Ibu harus pergi, kau boleh marah pada Ibu, kelak Ibu akan menerima semua kemarahanmu atas hari ini. Jangan mencari Ibu, Freya. Juga jangan pernah mengharapkan Ibu akan kembali. Kau harus bertahan sendirian.’

Hanya itu yang ditulis Ibu dalam kertas lecek yang semakin lecek di tangan Freya. Entah kemana Ibu pergi, tidak satu orangpun yang tahu. Bahkan beberapa orang menduga Ibu mungkin bunuh diri. Dan Freya memaklumi jika Ibu melakukannya.

Setiap hari mendengar hinaan, cacian dan makian. Siapapun pasti akan sulit menahannya. ‘Tapi aku bisa,’ batin Freya. ‘Aku bisa melakukannya karena Ibu selalu di sini. Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan dan bagaimana aku harus bertahan?’

Tidak peduli dengan perdu dan ilalang yang melukai beberapa bagian di kulitnya, Freya merebahkan tubuh di rerumputan tak jauh dari kuburan. Menatap pijar kecil bintang utara yang perlahan muncul di kegelapan. Perlahan gadis kecil itu memejamkan mata dan angin malam membawanya ke dalam mimpi yang menyenangkan.

***

Bertahun kemudian, Freya kembali ke bukit yang sama. Berdiri di tempat yang sama menatap desa dimana masa kecilnya pernah berlabuh dengan penuh kepedihan. Desa yang dulu masih hijau berseri sekarang terlihat gersang, penuh dengan atap berwarna warni di kejauhan. Helaan napasnya terbawa desir angin ketika gadis itu berlutut di makam, yang sudah tak lagi terlihat. Tapi Freya yakin, memang disanalah letak makam tersebut. Sekarang tidak lagi hanya ilalang yang tumbuh di sana, tetapi beberapa pohon kecil pun mulai mengakar di atas makam.

Gadis itu tengadah menatap pohon beringin kecil yang tumbuh di atas makam. Entah kapan pohon itu tumbuh disana, tingginya hanya sekepala lebih tinggi dari Freya. Menjangkau dedaunan yang bertahan di dahan-dahan kecil, sebuah ranting dengan akar gantung yang mulai menjulur menunduk tepat di depan hidungnya. Menyentuh ujung hidung Freya yang bangir dengan lembut, gadis itu memejamkan mata ketika angin perlahan berhembus.

Dan ranting kecil itu dengan daun yang terasa dingin membelai wajah Freya perlahan. Membuatnya terbuai dalam alunan yang mengingatkannya pada kasih sayang Ibu yang tak seberapa. Kasih sayang yang ia reguk beberapa waktu sebelum Ibu memilih pergi begitu saja.

Menatap pohon itu, Freya serasa sedang menatap dirinya sendiri. Pohon itu seperti tumbuh dalam dirinya, seperti luka yang menyebarkan cabang dan akar gantung yang terus merambati seluruh batinnya.

“Maaf, aku tak berhasil menemukan Ibu,” sahutnya pelan. Bicara pada makam yang sunyi diantara desau gelisah dedaunan ilalang dan beringin.

“Ini pencarian terakhirku, Ayah. Jika di kampung inipun tidak ada Ibu, aku akan mengakhiri segalanya. Maaf, mungkin aku tak bisa mengakhirinya dengan baik nanti.”

Berkata begitu, Freya bangkit dan perlahan menuruni bukit. Berjalan dalam cahaya senja yang makin redup menuju rumah tempat dulu ia dibesarkan. Rumah yang mungkin saja sudah bukan lagi milik kerabatnya.

Meninggalkan kampung kecil itu lima belas tahun lalu, Freya yakin orang-orang sudah melupakan keberadaannya. Mungkin mereka berpikir bahwa Freya pergi atau mati seperti ibunya. Ia menelusuri jalan kecil setapak menuju rumah lama mereka. Berdiri diantara kesiur angin senja menatap rumah yang tampak tidak berubah. Hanya ada bebungaan baru di halaman, sepertinya penghuni rumah sempat mengikuti tren menanam bunga yang pernah viral.

Menghela napas panjang, gadis itu melangkah menuju tangga kayu yang menghubungkan halaman dan ruang tamu. Kayu yang terlihat mulai merapuh dimakan usia. Matahari dan hujan sepertinya bekerja sama dengan baik untuk membuat tangga itu semakin rapuh dari waktu ke waktu.

Seseorang dengan sarung dan peci putih muncul di ambang pintu yang dilatari ruangan gelap. Menatap heran pada Freya yang menatap nanar pada rumah kayu itu.

“Mencari siapa?” tegurnya dengan suara tergesa. Alunan suara murotal menguar di udara senja dari musholla yang tidak jauh dari rumah.

Freya memindahkan tatapnya pada pria muda itu dan menyipitkan mata untuk bisa mengenali wajahnya dalam keremangan cahaya menjelang magrib. Pemuda itu menuruni tangga dengan sedikit bergegas dan berdiri di anak tangga terakhir. Menatap lurus pada Freya yang balas menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi.

“Rumah ini bukan lagi milik keluarga Basuri?” tanya Freya pelan.

“Basuri?” herannya, wajahnya menyiratkan nama itu seolah memberi kenangan buruk bagi penghuni rumah. Dan itu membuat Freya yakin pemuda ini adalah salah satu kerabatnya.

Mungkin sama seperti mereka, Freya yang telah meninggalkan mereka selama lima belas tahun pun perlahan melupakan wajah mereka. Sesaat keduanya saling tatap dalam rasa heran, waspada dan saling menebak dalam keremangan senja.

“Aku putri Basuri,” jawab Freya.

Wajah di hadapannya tiba-tiba berubah. “Kau?”

***

Senja semakin gelap, pendar jingga di ufuk barat perlahan semakin menipis. Kegelapan mulai turun, tapi beberapa orang mendaki bukit dengan berbekal cahaya senter. Beberapa dari mereka berteriak memanggil nama seseorang.

“Freyaaa!”

“Freyaa, kau dimana?”

Hanya desau angin menjawab semua panggilan berulang itu, sementara kaki-kaki kokoh bergerak perlahan mencari di antara  ilalang.

“Dia pasti datang ke sini,” ujar seseorang. “Hanya ini tempat yang mungkin dia datangi setelah ibunya pergi.”

“Kau yakin dia mendatangi kuburan di senja seperti ini? Dia itu masih bocah, pasti takut mendatangi kuburan diwaktu seperti ini,” bantah yang lain.

“Tidak ada tempat lain yang bisa ia datangi,” sahut orang pertama. “Kemana lagi dia bisa mengadu selain kuburan ayahnya?”

“Lihat, ilalang ini tersibak menuju kuburan Basuri. Dia pasti datang ke sini!” seseorang yang lain berseru.

“Tapi mungkin saja dia datang seminggu yang lalu dan pergi?” tanya yang lain.

Mereka lantas mencari, menyibak ilalang yang menggores lengan-lengan kokoh dan legam itu setiap kali mereka menyibak. Bergerak lebih cepat sebelum mereka benar-benar kehilangan cahaya penerang dari alam. Senter yang mereka bawa tidak banyak membantu dalam kegelapan yang semakin pekat.

“Disini!” dua orang yang berdiri tak jauh dari kuburan berteriak, setengah histeris. Semua orang berkumpul meriung sesuatu yang mereka pandangi dengan kengerian.

“Dia... masih hidup?” tanya seseorang dengan nada takut dan ngeri.

“Kau pikir dia masih bisa hidup dengan luka sebanyak itu?”

“Siapa yang melukainya separah itu?” tanya yang lain. Mereka meriung menatap tubuh mungil Freya yang telah dikerubungi semut merah. Ada begitu banyak luka di tubuh kecilnya.

“Entahlah. Mungkin binatang? Bukit ini masih dihuni oleh kawanan monyet dan juga Si Belang,” sahut yang lain.

“Sudah jangan berdebat,” seorang menyergah perdebatan itu. “Beberapa orang turun untuk melaporkan kejadian ini. Sebagian lain kurasa kita bisa mempersiapkan kuburan kecil disini. Setelah aparat datang kita bisa membawanya turun, memandikan dia dan memakamnya malam ini juga. Setidaknya dia dimakamkan di sisi ayahnya.”

Setelah saling pandang, dua orang bergegas turun dari bukit kecil itu dan yang lain membersihkan beberapa meter lahan di dekat makam Basuri. Mempersiapkan makam kecil untuk putrinya yang telah menghilang selama seminggu dan ditemukan tergeletak sendirian tak jauh dari makamnya.

***

Seorang pria dengan sarung dan peci putih menatap dengan tatapan terguncang ketika jenazah Freya perlahan diturunkan. Menghela napas panjang dan perlahan mulai menutupi lubang kecil itu.

“Beristirahatlah dengan tenang,” bisiknya. “Jangan khawatirkan ibumu, dia pasti baik-baik saja di suatu tempat.”

*End*

Bagikan Artikel Ini
img-content
Aslan Rakhan Aini Bakhtiar

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Freya

Jumat, 15 November 2024 13:23 WIB
img-content

Dunia Na

Minggu, 14 Januari 2024 16:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua