Gelar Kilat dan Kursi Pejabat: Satire Hidup Negeri Ini
Jumat, 22 November 2024 15:17 WIB
Sejak Indonesia memiliki presiden yang diragukan keaslian ijazahnya, dunia pendidikan dan akademik di negeri ini memang terasa kehilangan marwah.
Indonesia kini menghadirkan dua "bintang akademik" dengan cerita kontroversial. Bahlil Lahadalia, seorang menteri, mendadak menjadi doktor hanya dalam 20 bulan. Sementara itu, Raffi Ahmad, seorang selebritas, menerima gelar doktor kehormatan dari institusi luar negeri yang bahkan lebih sulit ditemukan di mesin pencari ketimbang tempat parkir kosong di Jakarta.
Ironisnya, keduanya tidak hanya dipuji, tetapi juga diorbitkan menjadi pejabat negara. Inilah satire hidup yang menyisakan banyak tanda tanya. Di negara yang pernah memiliki presiden yang diragukan keaslian ijazahnya, marwah dunia pendidikan dan akademik tampaknya memang sudah berada di ambang kehancuran.
Doktor "Express" di Jalur Cepat
Bahlil, sang Ketua Umum Partai Golkar, sukses meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) dengan kecepatan yang lebih impresif daripada ojek online di jam sibuk. Di tengah skeptisisme publik, UI akhirnya menangguhkan gelarnya, memunculkan drama akademik yang menggelitik.
Namun, "para kodok" berkomentar: "Yang penting loyalitas, bukan kualitas". Bagi mereka, gelar hanyalah hiasan yang diperlukan untuk mempercantik CV seorang pejabat. Proses, kualitas riset, dan kontribusi ilmiah tampaknya bukan prioritas. Lagi pula, bukankah di negeri ini, gelar akademik lebih sering menjadi aksesori politik?
Universitas Antah Berantah
Raffi Ahmad dengan penuh percaya diri menerima gelar doktor kehormatan (HC) dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand. Institusi ini begitu misterius hingga lebih mudah menemukan warkop pinggir jalan daripada situs web kampusnya.
Tapi ini Indonesia, di mana popularitas sering kali menggantikan kompetensi. Gelar tersebut ternyata cukup untuk mengantarkan Raffi menjadi Wakil Ketua Umum Kadin, hingga melompat ke kursi Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Bahkan, saat pelantikannya, gelar “Dr HC” tersebut dengan bangga disebutkan.
Para netizen dengan satir sontak menjulukinya sabagai "Doktor Money Laundering". Rupanya, julukan ini merujuk pada permintaan National Corruption Watch (NCW) agar KPK, Polri, dan Jaksa Agung menelusuri aliran keuangan Raffi.
Ada tuduhan, yang telah dibantahnya, ia melakukan pencucian uang haram, membuka kasino, dan judi online. Lagi-lagi, "para kodok" pun menimpali: "Yang penting magnet massa, bukan citra diri dan akreditasi".
Harapan dalam Komedi Tragis
Keputusan untuk mengangkat mereka sebagai pejabat negara menegaskan perubahan besar dalam standar meritokrasi. Kompetensi tampaknya bukan lagi ukuran utama. Asal ada magnet politik atau daya tarik media, semua pintu terbuka lebar.
Kasus ini pun lebih dari sekadar dua individu, tapi cermin buruk demokrasi dan meritokrasi kita. Gelar doktor yang dulu melambangkan intelektualitas kini lebih mirip gimmick panggung hiburan. Namun, ironi terbesar adalah negara yang tetap memilih mereka sebagai simbol harapan bagai rakyat.
Jadi, apakah kita harus mengekritik mereka yang menerima gelar, atau kita yang terus menganggap semua ini normal? Mungkin jawaban terbaik adalah menikmati pertunjukan komedi politik ini sambil berharap, entah bagaimana, Raffi benar-benar mengubah dunia birokrasi dengan kameranya, dan Bahlil mempercepat reformasi dengan langkah cepatnya yang "luar biasa".
Karena di negeri ini, jika hidup adalah panggung sandiwara, kabinet adalah sirkus yang tak pernah kehabisan badut baru.

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
4 Pengikut

Mr Q
Sabtu, 27 September 2025 06:50 WIB
Agama, Bola, dan Problem Sosial Generasi Z
Minggu, 21 September 2025 17:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler