Seonggok Bayi Usang

Minggu, 5 Januari 2025 14:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
nenek susu panjang
Iklan

Sosok itu dari kejauhan terlihat seperti bayi, namun tidak menangis.

***

Nenek Awah menyeruput kopi dari gelas kaca buram. Bibirnya merekahkan senyum ke arah dipan kayu tua beralaskan tikar tipis yang telah koyak. Di atas dipan kayu itu, terlihat sesuatu yang terbungkus kain batik coklat pudar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sosok itu dari kejauhan terlihat seperti bayi, namun tidak menangis. Mungkinkah dia sedang tertidur lelap? Padahal dari luar, semburat cahaya matahari pagi masuk dari celah gubuknya tanpa malu-malu. Bayi itu tetap bergeming tenang.

Nenek Awah bergegas menuju perapian tak jauh dari dipan kayu itu. Disesakkannya seonggok kayu bakar dan dia mulai membuat api.

Api yang bergolak mendidihkan air dalam panci jelaga. Tangan keriputnya meraih segenggam beras yang butirannya sudah tidak utuh lagi. Beras itu dia dapatkan dari kantor desa yang orang-orang menyebutnya sebagai beras bulog.

Beras itu dia masukan ke dalam panci, rupa-rupanya ia hendak membuat bubur. “Sabar dulu ya nak, buburnya sebentar lagi siap,” ucap nenek Awah ke arah dipan kayu tempat sosok seperti bayi itu terbaring.

Terdengar suara tangisan bayi masuk ke telinga nenek Awah. Bergegas dia menghampiri. “Ooohh…. Melatiku ngompol rupanya.” Nenek Awah terkekeh. Digantinya kain bedong pembungkus bayi yang telah basah. Bayi mungil itu terlihat menggeliat, mungkin karena kedinginan.

Selesai mengganti bedong, ditimang-timangnya Melati sebentar. Dari mata senjanya, tampak bayi itu tersenyum dan tertawa-tawa girang dalam gendongan wanita tua itu. “Pintar sekali kamu nak. Sudah cepat besar, jadi semakin berat.”

Setelah puas menimang bayi, Nenek Awah berjalan tertatih menuju perapian. Buburnya harus segera diaduk. Setelah matang dia menuang bubur itu ke dalam mangkuk yang terbuat dari batok kelapa. Sendok yang telah agak berkarat bertengger di pinggir batok.

“Kita makan sama-sama ya Nak!” ajak Nenek Awah dengan parau sambil meniup bubur panas itu. Dia secara bergantian menyendok bubur untuk dirinya dan untuk bayi mungil di atas dipan.

“Wah lahap sekali kamu makan. Pelan-pelan saja ya! Jangan sampai tersedak.” Nenek Awah mengelap mulut Melati yang belepotan bubur.

Selesai makan, wanita itu berjalan mengambil kendi berisi air. Airnya tinggal sedikit, lagi sudah keruh. Namun tetap terasa segar. Mungkin udara dingin desa di pagi hari ikut menurunkan suhu air dalam kendi.

“Nek Awah, selamat pagi” sapa seseorang dari luar gubuk. Nenek Awah membuka pintu yang hanya terbuat dari triplek bekas. Seorang lelaki paruh baya datang sambil menenteng setandan singkong.

“Ini untuk nenek. Kami baru saja panen singkong di kebun.” Pria tersebut bernama Pak Riman, tetangga yang rumahnya tak jauh dari gubuk.

“Wah terimakasih Nak.” Mata nenek Awah berkaca-kaca. Dia terlihat senang. Memang sesekali tetangga-tetangganya datang membawakan bahan makanan hasil kebun mereka.

“Maaf Nak Riman, apa bisa menjaga Melati sebentar? Aku harus ke sumur menimba air. Persediaan air dalam kendi sudah mulai habis.” Nenek Awah tampak memohon.

Pak Riman mengernyitkan matanya ke arah dipan kayu. “Melati sedang tidur, jadi dia tidak akan merepotkanmu,” lanjut Nenek Awah seolah mengerti raut wajah Pak Riman yang mendadak berubah.

“Baik, akan saya jaga Melati,” ujar pria itu singkat sembari berjongkok di bawah pintu gubuk. Nenek Awah tampak girang, lalu bergegas menuju sumur yang tak jauh dari belakang gubuknya. Tak lama dia sudah kembali dengan kendi yang penuh berisi air. Pak Riman pun bergegas pamit pulang.

“Habis diminta menjaga Melati lagi?” tanya Bu Riman. Sementara yang ditanya hanya membalas dengan anggukan kecil.

“Sungguh malang garis takdir Nenek Awah itu ya pak. Suaminya meninggal, disusul oleh anak perempuan satu-satunya yang bernama Melati, saat bayi itu masih berusia tujuh bulan,” lanjut bu Riman yang tampak sibuk menyiangi daun bayam di atas nampan.

“Sekarang beliau tinggal sendirian dalam kondisi gila akibat depresi yang parah karena kehilangan suami dan bayinya.” Kedua pasang suami istri itu menghela nafas dengan iba.

“Takdir sudah ada yang menentukan, Bu. Yang penting semasih ada sedikit hal yang bisa kita bantu untuk beliau, kita lakukan.” Pak Riman menyahut sambil melinting tembakau yang tertata rapi di atas meja teras.

“Jadi bapak akan tetap bersedia jika dimintai tolong menjaga Melati lagi?

Pak Riman mengangguk. “Iya, meski Melati itu hanya sebuah boneka usang. Tapi setidaknya boneka itu bisa memberikan semangat untuk beliau tetap hidup, dengan merawat Melati dalam ingatannya.”

Bu Riman hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan suaminya. Tanpa menyahut lagi dia pun segera pergi ke dapur, hendak memasak tumis bayam.

Sementara itu di gubuk, tampak nenek Awah tertawa-tawa menimang Melati dalam gendongannya. Sesekali dia bersenandung, mendendangkan lagu yang sering dia nyanyikan tiga puluh tahun lalu untuk Melati bayinya. Aroma minyak jelantah tersebar menguap memenuhi ruangan sempit di dalam gubuk.

Nenek Awah mematik api. Hawa panas dengan cepat menjalari minyak jelantah yang telah tersebar di setiap sudutnya. Seketika ruangan itu dipenuhi kobaran merah. Gubuk itu telah terbakar. Orang-orang yang menyadari ada asap dari kejauhan, mulai berteriak panik.

Namun sia-sia, sosok nenek Awah di dalam gubuk sudah tak tampak lagi. Larut dalam kobaran api dan kepulan asap hitam. Nenek tua itu mendekap Melati dalam gendongannya sambil tersenyum senang.

Hatinya merasa sangat puas. Untuk terakhir kali, dia mencium boneka usang itu. “Nak, seumur hidup ibu menolak untuk melupakanmu. Sekarang, ayo kita pergi bersama-sama. Bapak pasti sudah lama menunggu.”

Lalu sebuah balok kayu jatuh menyambar tubuh renta tersebut. Tidak butuh waktu lama hingga semua hangus terlalap api. Meninggalkan jazad di sela puing-puing.

Jazad usang itu kini telah hangus, menjadi segenggam abu. Namun sisa-sisanya tidak meninggalkan penyesalan sedikit pun. Mereka pergi dengan seulas senyum lekat yang bahagia.

Bagikan Artikel Ini
img-content
NI WAYAN WIJAYANTI | CERPEN

Penulis Indonesiana

4 Pengikut

img-content

Seonggok Bayi Usang

Minggu, 5 Januari 2025 14:25 WIB
img-content

Sudra

Senin, 27 Mei 2024 13:31 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua