Mengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya. Saat ini bekerja sebagai dosen bahasa dan Kajian Budaya di Universitas Garut.

Budaya Satire di Indonesia

Kamis, 30 Januari 2025 06:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Peta Indonesia Pasca Perjanjian Renville
Iklan

Negeri ini kaya akan wujud tradisi yang menyampaikan pesan nan satire. Namun ironi besar karena beragam satire itu tidak terdokumentasi dengan baik

Budaya Satire Indonesia

Indonesia, dengan keberagamannya, adalah negeri di mana satire menemukan berbagai bentuknya—dari seni rakyat hingga tradisi lisan. Satire di tanah air ini bukan sekadar alat hiburan, tetapi juga sebuah mekanisme refleksi, kritik, dan penyampaian pesan sosial. Seperti sebuah kembang api, satire di Indonesia hadir dalam berbagai warna dan bentuk, namun selalu menyentak kesadaran. Sialnya, di negeri dengan kekayaan satire yang melimpah ini, kita sering lupa menghargai atau bahkan mengenalinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tanah Sunda, wayang golek menjadi salah satu bentuk seni yang paling mencolok dalam memadukan hiburan, pendidikan, dan kritik sosial. Meski ceritanya berasal dari epik India seperti Mahabharata dan Ramayana, daya tarik utama wayang golek bagi publik Sunda sering kali bukanlah tokoh-tokoh besar dan serius seperti Pandawa atau Kurawa, melainkan tokoh-tokoh lokal yang lebih satire. Cepot, Dawala, dan Gareng, tiga karakter punakawan, menjadi bintang sejati pertunjukan wayang golek.

Cepot, si cerdik yang sering kali berbicara dengan bahasa rakyat, tidak segan-segan melontarkan kritik pedas terhadap penguasa atau masyarakat yang bertindak di luar nalar. Dalam satu cerita, Cepot pernah menegur seorang raja yang sibuk dengan pembangunan istana megah: “Baginda, istana besar ini untuk siapa? Kalau rakyat hanya bisa melihatnya dari luar, lebih baik mereka tidur di bawah pohon, setidaknya gratis.” Sindirannya tidak hanya membuat penonton tertawa, tetapi juga menyentuh hati.

Dawala, dengan kepolosannya, dan Gareng, yang sering kali menjadi bahan ejekan, juga memainkan peran penting dalam menyampaikan satire. Mereka menunjukkan bahwa bahkan orang kecil dapat menjadi medium kritik terhadap ketidakadilan. Dalam dunia wayang, para punakawan ini adalah suara rakyat, menyuarakan keresahan yang tidak berani diungkapkan secara langsung.

Selain wayang golek, seni teater rakyat Sunda lainnya, longser, juga menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan satire. Dalam lakon-lakon longser, tokoh-tokoh seperti petani, pedagang, hingga pejabat desa sering digambarkan dalam situasi lucu yang penuh dengan ironi. Kritik terhadap perilaku pejabat yang korup atau masyarakat yang gemar bergosip disampaikan dengan gaya yang jenaka, namun tetap penuh makna. Longser mengajarkan bahwa kritik tidak harus disampaikan dengan keras; melalui tawa, pesan bisa sampai ke hati tanpa terasa menyakitkan.

Cerita rakyat Sunda juga tidak ketinggalan dalam menghadirkan satire. Si Kabayan, tokoh yang digambarkan sebagai lelaki malas namun cerdik, adalah salah satu contoh paling menonjol. Dalam berbagai cerita, Kabayan sering kali mengakali tokoh-tokoh yang lebih berkuasa atau sombong. Dalam sebuah kisah, Kabayan berhasil membuat seorang ulama yang angkuh mengaku kalah dalam adu kecerdasan, sambil tetap menjaga suasana lucu. Pesan moralnya jelas: jangan pernah meremehkan kecerdikan orang kecil.

Di kebudayaan lain, lenong Betawi menjadi bentuk satire yang paling ceplas-ceplos. Seni teater ini menggambarkan kehidupan sehari-hari dengan bahasa yang langsung, sering kali menyentuh isu-isu seperti korupsi, ketidakadilan sosial, atau kesenjangan ekonomi. Penonton tertawa melihat tokoh juragan kaya yang pelit atau pejabat yang gemar menerima amplop, namun di balik tawa itu ada pesan serius: ada yang salah dengan sistem kita.

Ketoprak Jawa juga memanfaatkan satire, meskipun dengan gaya yang lebih halus. Dalam cerita-cerita ketoprak, tema sejarah atau legenda sering diolah untuk menyampaikan kritik sosial. Misalnya, seorang raja digambarkan terlalu sibuk memikirkan pernikahan politik sementara rakyatnya kelaparan. Dengan bahasa yang puitis, ketoprak mengajarkan bahwa penguasa seharusnya melayani rakyat, bukan sebaliknya.

Di Sumatra Barat, pantun sindiran adalah salah satu bentuk satire yang sangat halus namun tak kalah tajam dari satire di kebudayaan lainnya. Dalam tradisi Minangkabau, pantun digunakan untuk menyampaikan kritik tanpa menyinggung perasaan. Sebuah pantun seperti, “Kalau ingin jadi pemimpin, jangan lupa kasihkan makan; kalau lupa pada rakyat, jangan harap jadi pahlawan,” adalah contoh bagaimana satire bisa disampaikan dengan permainan bahasa tutur.

Sulawesi Selatan memiliki tradisi bissu, di mana pendeta tradisional sering memanfaatkan satire untuk menyampaikan kritik terhadap perubahan sosial. Bissu tidak hanya menjalankan peran religius, tetapi juga menjadi pengamat tajam atas dinamika masyarakat. Melalui ritual dan tarian, mereka menyampaikan pesan yang kadang sulit diterima, tetapi tidak bisa diabaikan.

Di Bali, ogoh-ogoh menjadi simbol satire visual yang mencolok. Dalam tradisi Nyepi, patung-patung raksasa ini menggambarkan segala bentuk kejahatan atau keserakahan manusia. Pernah suatu kali, ogoh-ogoh berbentuk politisi korup menjadi pusat perhatian. Dengan cara ini, masyarakat Bali mengingatkan diri mereka bahwa setiap perbuatan buruk akan mendapatkan ganjarannya.

Satire di Indonesia juga meluas ke dunia sastra dan jurnalistik. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, sering menggunakan satire dalam karyanya untuk mengecam ketidakadilan sosial dan kolonialisme. Dalam Bumi Manusia, ironi terlihat jelas ketika karakter utama, Minke, mencoba melawan sistem kolonial yang tidak adil sambil menghadapi tantangan dari masyarakatnya sendiri. Nama Minke itu sendiri jadi satire, karena pribumi kerap disamakan dengan monyet, "monkey". Ketika hinaan itu diadopsi, bukan kepasrahan, tetapi justru menjadi peralatan untuk mengolok-olok. 

Dalam jurnalistik, majalah seperti Tempo adalah contoh utama bagaimana satire digunakan untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah dan masyarakat. Kartun-kartun editorial di Tempo sering kali menjadi bahan diskusi karena kemampuannya menyentil isu-isu sensitif dengan gaya jenaka. Sebuah kartun yang menggambarkan politisi dengan kepala ikan, misalnya, mengundang tawa sekaligus renungan tentang ketidakefisienan dan sikap apatis mereka.

Namun, di tengah kekayaan ini, ada ironi besar yang tak bisa diabaikan. Satire Indonesia sering kali tidak terdokumentasi dengan baik. Seni seperti longser mulai dilupakan, cerita Si Kabayan tersisih oleh tontonan modern, dan tradisi seperti ogoh-ogoh lebih sering dilihat sebagai atraksi wisata daripada medium kritik sosial. Bahkan, banyak orang mungkin bertanya, “Satire di Indonesia? Memangnya ada?” Sungguh sebuah ironi. Jika itu bukan satire terbesar dari semuanya, maka entah apa lagi yang lebih lucu.

Deri Hudaya, saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya berjudul Dari Overthinking ke Overachieving: Meditasi, Logika, Tulisan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Deri Hudaya

Penulis di HumaNiniNora

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler