AI Merangsek, Masihkah Tenaga Manusia Dibutuhkan Industri Media?

Sabtu, 8 Maret 2025 11:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Teknologi Modern: Mengungkap Dampak Negatif yang Mengkhawatirkan
Iklan

Masa depan manusia di industri media tak bakal hilang. Justru seekarang masuk ke era perluanya kolaborasi antara manusia dan teknologi digital.

***

Digitalisasi dan AI itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka membawa kemajuan yang luar biasa, tapi di sisi lain menimbulkan kekhawatiran yang tak bisa dianggap remeh. Saya melihat ini dari kacamata industri media, yang selama beberapa tahun terakhir sudah berubah drastis. Dulu, kita cuma punya TV, koran, atau radio. Sekarang? Semua serba digital, serba online, dan serba cepat. Tapi, apa artinya ini buat kita sebagai manusia, terutama yang berkecimpung di dunia kreatif?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama-tama, digitalisasi itu bikin segalanya lebih mudah. Bayangkan, dulu untuk membuat konten, kita harus punya modal besar, akses ke studio, atau dukungan dari perusahaan media. Sekarang? Siapa pun bisa jadi kreator. Kamu punya HP dan ide? Udah, bisa langsung bikin konten dan upload ke platform kayak YouTube, TikTok, atau Instagram. Ini bikin industri media jadi lebih demokratis. Tapi, di balik kemudahan ini, ada tantangan baru yang muncul, dan itu namanya AI.

AI itu keren, sih. Dia bisa mengerjakan banyak hal yang dulu mustahil. Nulis artikel? Bisa. Bikin desain? Bisa. Edit video? Bisa banget. Bahkan, AI sekarang bisa bikin musik atau me-render animasi 3D. Tapi, di sinilah masalahnya. Kalau AI bisa ngerjain semuanya, terus kita ngapain? Apakah peran manusia bakal tergantikan?

Menurut saya, tidak juga. AI itu cuma alat. Dia bisa mengerjakan tugas-tugas teknis atau repetitif, tapi dia tak punya empati, intuisi, atau kemampuan berpikir kritis kayak manusia. Misalnya, AI bisa menulis berita, tapi dia tak bisa mengerti nuansa atau konteks budaya di balik sebuah cerita. Itu tetap butuh sentuhan manusia.

Tapi, jangan salah. AI bisa bikin kita harus lebih kreatif. Dia bisa mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang membosankan, seperti mengumpulkaa data atau edit video dasar, sehingga kita bisa fokus ke hal-hal yang lebih strategis dan bermakna. Misalnya, seorang jurnalis bisa memakai AI untuk riset data, tapi narasi mendalam dan investigasi tetep harus dari manusia. Atau, seorang desainer bisa memakai AI untuk generate ide, tapi eksekusi akhir dan sentuhan personal tetep harus dari dia sendiri.

Yang bikin saya khawatir sebenarnya bukan soal AI menggantikan manusia, tapi lebih bagaimana kita melihat dan mengelola teknologi ini. Ada banyak isu yang harus kita hadapi, seperti disinformasi, pelanggaran privasi, atau bias algoritma. Ini tidak bisa kita biarin. Kita butuh regulasi yang jelas dan literasi digital yang kuat. Masyarakat harus paham cara kerja teknologi ini, biar nggak gampang termakan hoaks atau manipulasi.

Jadi, buat saya, masa depan manusia di industri media itu tidak bakal hilang. Justru, kita bakal masuk ke era baru di mana kolaborasi antara manusia dan teknologi jadi kunci. Digitalisasi dan AI itu bukan musuh, tapi teman. Tergantung kita bagaimana cara memanfaatkan mereka. Kalau kita bisa memanfaatkannya dengan bijak, industri media bisa jadi lebih inklusif, kreatif, dan bermakna. Tapi, kalau kita salah langkah, ya risiko besar juga yang kita hadapin.

 

Intinya, teknologi itu cuma alat. Yang menentukan arah masa depan tetaplah kita, sebagai manusia. Jadi, yuk, kita pake teknologi ini buat bikin dunia media yang lebih baik, bukan malah ngerusaknya.

 

Oleh: Hilmi Nur Sya'bani | Produksi Media

*) Artikel ini adalah tugas dari mata kuliah Komunikasi Digital, program studi Produksi Media, Politeknik Tempo, yang diampu oleh Rachma Tri Widuri, S.Sos., M.Si.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler