Cancel Culture: Fenomena Serius atau Cuma Drama Warganet?

Senin, 17 Maret 2025 13:46 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi bullying
Iklan

Media sosial mengubah cara masyarakat berekspresi, memunculkan fenomena cancel culture sebagai respons terhadap isu-isu yang berkembang.

Cancel Culture Itu Apa Sih?

Cancel culture adalah sebuah fenomena yang semakin sering menjadi perbincangan dalam beberapa waktu terakhir. Istilah ini merujuk pada tindakan di mana seseorang dikucilkan dari lingkungan sosial atau profesional, baik secara online melalui media sosial maupun di dunia nyata. Hal ini biasanya terjadi karena pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan norma atau nilai moral yang berlaku. Akibatnya, individu tersebut kehilangan dukungan dari masyarakat. Cancel culture juga dapat diartikan sebagai bentuk sanksi sosial terhadap seseorang atas kesalahan di masa lalu yang pernah dilakukan

Cancel culture sering dianggap sebagai cara masyarakat untuk menegur orang-orang yang melakukan kesalahan. Salah satu dampak positifnya adalah meningkatnya kesadaran sosial. Banyak isu-isu penting seperti rasisme, pelecehan seksual, dan penyalahgunaan kekuasaan yang semakin diperhatikan karena cancel culture. Orang-orang yang sebelumnya sulit bersuara, seperti korban diskriminasi atau pelecehan, kini memiliki platform untuk menyampaikan pengalaman mereka. Dengan dukungan publik, pelaku yang sebelumnya tidak tersentuh hukum atau tidak mendapatkan sanksi sosial akhirnya bisa dimintai pertanggungjawaban.

Selain itu, cancel culture juga mendorong perubahan perilaku. Banyak figur publik yang setelah mengalami cancel culture menjadi lebih sadar akan kesalahan mereka dan berusaha untuk memperbaiki diri. Beberapa perusahaan juga mulai lebih peduli terhadap isu-isu sosial, seperti lingkungan, hak pekerja, dan keberagaman, karena takut terkena boikot dari masyarakat. Dengan kata lain, cancel culture bisa menjadi pengingat bahwa tindakan seseorang memiliki konsekuensi, terutama di era digital yang semuanya bisa terdokumentasi dan viral dengan cepat.

Kontroversi dan Dampak Negatif

Meskipun bertujuan baik, cancel culture juga menimbulkan banyak perdebatan. Salah satu masalah utama dari fenomena ini adalah bagaimana seseorang bisa dicancel hanya dalam hitungan jam, tanpa ada ruang untuk klarifikasi atau perbaikan. Ketika sebuah kesalahan menjadi viral di media sosial, orang-orang cenderung langsung menghujat tanpa mencari tahu kebenaran atau memahami konteks dari situasi tersebut.

Selain itu, tidak semua orang yang dicancel benar-benar pantas mendapatkan hukuman sosial yang berat. Ada banyak kasus di mana seseorang dicancel karena kesalahan yang terjadi bertahun-tahun lalu, tanpa mempertimbangkan apakah mereka sudah berubah atau tidak. Bahkan ada orang yang dihujat hanya karena perbedaan pendapat atau kesalahpahaman.

Dampak psikologis cancel culture juga tidak bisa dianggap remeh. Orang yang menjadi target sering mengalami tekanan mental yang luar biasa. Mereka bisa kehilangan pekerjaan, reputasi, bahkan menghadapi ancaman dan serangan pribadi. Dalam beberapa kasus, orang yang dicancel mengalami depresi berat hingga menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa cancel culture bisa berubah dari upaya menegakkan keadilan menjadi bentuk perundungan massal yang kejam.

Tak hanya itu, cancel culture juga menciptakan ketakutan dalam berekspresi. Banyak orang menjadi enggan untuk berbicara atau menyampaikan pendapat karena takut dihujat atau disalahpahami. Akibatnya, ruang diskusi menjadi semakin sempit dan masyarakat justru kehilangan kesempatan untuk berdialog secara sehat.

Efektif atau Cuma Bikin Heboh?

Efektivitas cancel culture masih menjadi perdebatan. Dalam beberapa kasus, fenomena ini terbukti dapat menekan individu atau perusahaan untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ketika banyak orang bersatu untuk memboikot sebuah produk atau menuntut pertanggungjawaban figur publik, tekanan sosial yang muncul bisa sangat kuat, bahkan sampai berdampak pada keuangan atau reputasi pihak yang dicancel.

Namun, cancel culture tidak selalu berdampak jangka panjang. Ada banyak contoh di mana individu atau perusahaan yang dicancel akhirnya kembali setelah beberapa waktu, terutama jika mereka meminta maaf atau mengambil langkah perbaikan. Selain itu, tidak semua cancel culture dilakukan secara adil terkadang, seseorang bisa dicancel hanya karena kesalahpahaman perbedaan opini, bukan karena tindakan yang benar-benar merugikan.

Di sisi lain, cancel culture juga bisa berubah menjadi ajang perundungan massal, di mana seseorang dihujat habis-habisan tanpa diberikan kesempatan untuk menjelaskan atau memperbaiki kesalahan mereka. Ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental individu yang dicancel, bahkan berujung pada depresi atau kehilangan karier.

Jadi, apakah cancel culture efektif? Jawabannya tergantung pada bagaimana fenomena ini dijalankan. Jika digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban dan mendorong perubahan positif, cancel culture bisa menjadi cara yang ampuh untuk menekan seseorang atau perusahaan agar lebih bertanggung jawab. Namun, jika hanya sekadar menghujat tanpa solusi atau memberi kesempatan untuk perbaikan, maka cancel culture lebih cenderung merugikan daripada membawa perubahan yang nyata. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih bijak dalam menyikapi cancel culture dan tidak langsung mengikuti arus tanpa memahami situasi secara menyeluruh.

 

REFERENSI

Sketsa Unmul. (2021, Juni 29). Tren cancel culture: Baik atau buruk?. https://sketsaunmul.co/lifestyle/tren-cancel-culture-baik-atau-buruk/baca#.

Azky, W. (2022, Januari 16). Cancel Culture Bentuk Hukuman Sosial. https://news.unair.ac.id/id/2022/01/16/cancel-culture-bentuk-hukuman-sosial/.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Denisa Aulia Kintani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler