Gowes Menyusuri Flores: Renik di Atas Kapal (#2)
Kamis, 1 Mei 2025 17:53 WIB
Saya tidak mengerti apa maksud dia dengan kata "barang". Ini sebuah kode? Saya menghidu sesuatu yang saya kenal betul dari mulutnya: alkohol!
***
Kabin kami terdiri atas dua tempat tidur yang disusun bertingkat. Ini mirip tempat tidur di hotel-hotel kapsul, sebuah opsi akomodasi yang bersahabat dengan isi dompet terus cekak bekal dana.
Di Kapal Dharma Rucitra VIII, setiap tempat tidur dilengkapi matras yang ketebalan busanya cukup untuk memberi kenyamanan kepada badan yang berbaring di atasnya. Pada satu ujung dari matras ini busanya dibuat lebih tebal, yang bisa berfungsi sebagai bantal. Melengkapi ini, sebuah cermin terpasang di dinding yang membatasi satu kabin dengan kabin lain; satu meja gantung kecil di bawah cermin; dua colokan usb; dan satu lampu baca.
Kabin di Kapan Dharma Rucitra VIII. Foto: Purwanto Setiadi
"Mau tidur, enak atau tidak?" seorang teman di satu grup whatsapp alumni bertanya dengan nada bercanda, merespons foto-foto di kapal yang saya kirimkan.
Buat saya, dalam kondisi perjalanan seperti yang kami lakukan, fasilitas layanan semacam itu rasanya sudah lebih dari cukup. Bukan hanya saat tidur, untuk duduk dengan layak pun masih memungkinkan karena kepala tak sampai harus menyentuh ketinggian ruang tidur.
Tetapi, sebenarnya, yang lebih berharga dari perjalanan dengan kapal ini adalah peluangnya yang sangat terbuka untuk dapat berinteraksi dengan sesama penumpang. Berinteraksi ini bukan saja dengan penumpang di kursi atau kabin sebelah (kalau yang dipilih adalah kelas duduk dan atau kabin), melainkan juga dengan penumpang dari kelas-kelas yang berlainan.
Berbeda dengan bus, kereta, atau pesawat, kapal menyediakan ruang yang lebih luas, juga spot yang banyak, untuk bertemu dan berbaur dengan penumpang lain. Tidak selalu di satu tempat belaka. Ada tempat untuk duduk-duduk sambil mengobrol, ada kafetaria dengan meja dan kursi; ada gimnasium dan ruang karaoke; ada tempat joging; dan lain-lain. juga ada musala.
Penumpang lain yang bisa kita temui pun bermacam-macam--sudah selayaknya di tengah masyarakat majemuk seperti yang ada di negeri ini. Dan di antara mereka, ada pula yang seperti anak muda yang pada hari kedua di kapal, pagi tadi, menyamper saya saat saya baru saja menghabiskan kopi. Dia, berkaos oblong, bercelana jins pendek, dan mengenakan topi bisbol, duduk di kursi di depan saya, lalu bertanya dengan kata-kata yang tak saya pahami.
"Maaf, apa?" saya mencoba memastikan saya tak salah dengar.
Dia mengulang pertanyaannya, kali ini saya bisa menangkap kalimatnya dengan jelas, "Bapak mungkin ada barang yang mau dikirim ke bajawa?"
Saya tidak mengerti apa maksudnya, barang sebagai kode atau barang dalam makna sesungguhnya. Tapi saya menghidu sesuatu yang saya kenal betul yang menguar dari mulutnya--aroma...alkohol. Saya jawab, dengan harapan percakapan berakhir, "Oh, tidak ada; saya hanya membawa tas tenteng."
Dia beranjak pergi, masuk ke ruang penumpang kelas ekonomi duduk, setelah berkata, "Baiklah kalau begitu."
Saya buru-buru meninggalkan tempat itu, menghindari kemungkinan ada penumpang lain setipe, dan kembali menikmati suasana kabin dengan sinyal yang timbul-tenggelam.
Bersambung...

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
4 Pengikut

Kala Kekuasaan Melindungi Dirinya Sendiri
47 menit lalu
Pertumbuhan Bukan Berhala
Selasa, 26 Agustus 2025 12:40 WIBArtikel Terpopuler