Gowes Menyusuri Flores: Bertemu Banyak Malaikat (#3)

Sabtu, 3 Mei 2025 06:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Purwanti Setiadi dan Yosep Suprayogi di Flores. Foto: Istimewa
Iklan

"Jangan melihat orang Flores dari kesan yang selama ini muncul karena pekerjaan sebagian dari mereka sebagai satpam atau preman di Jawa, mas."

***

Bermalam di warung bakso sama sekali tak ada dalam rencana perjalanan kami. Ttapi malam itu Mas Wanto, pemilik warung bakso di Lando, Desa Mbuit, Kecamatan Boleng, mempersilakan kami beristirahat di tempatnya berjualan, "tapi hanya bisa ngampar".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjelang petang pada hari pertama kami bertolak menuju Ruteng itu kami sebelumnya sempat mampir di satu warung kelontong tak jauh dari warung bakso Mas Wanto.  Sebelumnya Yosep, yang di depan, melihat ada persediaan Pocari Sweat dan memutuskan berhenti untuk membelinya. Kami membayangkan meneguknya saat masih di jalan.

Sambil menikmati minuman itu kami mengobrolkan situasi yang sedang kami hadapi: bahwa kami kemalaman untuk mencapai tujuan pada hari itu, sedangkan kondisi jalan masih akan memaksa kami mendaki lagi kembali ke ketinggian 500-an meter. Kami sempat, dengan susah payah, melalui jalan naik-turun serta berkelok-kelok, dengan hutan di kiri-kanan, plus guyuran hujan menjelang tengah hari, sampai di ketinggian itu. Tapi jalanan menurun tajam setelahnya.

Gowes Flores. Warung Baksi tempat menginap saat menyusuri Flores. Foto: Purwanto Setiadi

Di warung kelontong itu kami mendapat kepastian bahwa di tempat tujuan tersebut tidak ada penginapan sama sekali, berbeda dengan petunjuk di google maps. Berita buruknya lagi, di dusun maupun desa itu juga tidak ada.

Tetapi, rupanya, selalu ada silver lining di antara awan kelabu--bahwa hal baik seakan-akan sulit untuk benar-benar amblas. Hal baik untuk situasi kami adalah adanya "malaikat" dalam wujud tiga orang yang tampil sebagai penolong.

Mula-mula seorang ibu yang baru saja membeli minyak goreng di warung kelontong tersebut. dengan ramah dia menyalami kami, bertanya kami hendak ke mana. Lalu ia menawari kami untuk bermalam seadanya di rumahnya tak jauh dari warung. Orang kedua adalah, itu tadi, Mas Wanto. Dan orang ketiga adalah anak muda pembeli bakso yang kebetulan mengajak mengobrol karena melihat kami membawa sepeda; dia mengaku berprofesi sebagai fotografer lepas yang pernah membantu event Lintang Flores 2024--event bersepeda self-supported melintasi flores.

Ibu pembeli minyak goreng sebetulnya berpesan sebelum kembali ke rumahnya bahwa kami boleh datang kapan saja setelah urusan kami di warung selesai. Tapi ketika kami memutuskan untuk makan bakso dulu di warung Mas Wanto dan mendapat tawaran untuk bermalam di tempatnya kami segera saja menyambutnya. "Belum lama ini ada orang Jjerman yang bersepeda dari Cancar kemalaman di sini juga, yang akhirnya mau menginap di sini," katanya.

Cancar adalah desa yang berjarak lebih dari 50 km dari Lando. Desa ini terkenal sebagai lokasi persawahan yang penampakannya seperti jaring laba-laba. perjalanan ke sana merupakan pendakian bukit dan harus melalui jalan naik-turun yang "sadis". Saat ini sekitar 10 kilometer di antaranya dalam kondisi rusak parah.

Saya kesulitan membayangkan bagaimana orang Jerman itu bisa melaluinya. Yang jelas, setelah dia, dengan memilih menumpang tidur di warung Mas Wanto, kami adalah pelancong bersepeda kedua yang menjadi tamu Mas Wanto.

Dan berkat hal itu kami jadi tak perlu singgah di rumah ibu pembeli minyak goreng dan melepas kesempatan dari fotografer lepas tersebut.

Mas Wanto (nama pemberian orang tuanya adalah Kiswoto; warga memanggilnya Mas Wanto) berasal dari Ajibarang, Banyumas. Dia telah merantau sejak lulus Sekolah Pendidikan Guru. Selain mengajar, dia pernah bekerja macam-macam, termasuk di pabrik tekstil dan menjadi kru kapal pesiar di Labuan Bajo sebelum pandemi.

Saat bekerja di Labuan Bajo inilah ada seorang kenalannya yang menyarankan kepadanya untuk berjualan bakso. Dengan mengambil cuti dia mencobanya. Sejak itu semua hal yang pernah dia lakukan sebelumnya jadilah sejarah. Pindah ke Lando adalah peluang yang dia lihat kemudian.

Selama perjalanan kami sejauh ini banyak sekali orang seperti Mas Wanto, juga ibu pembeli minyak goreng dan fotografer lepas itu. Mereka menyapa dengan senyuman dan menyemangati dengan acungan jempol, melayani dengan sepenuh hati ketika kami membeli keperluan di jalan dari warung mereka, dan membuat kami tertawa.

"Jangan melihat orang Flores dari kesan yang selama ini muncul karena pekerjaan sebagian dari mereka sebagai satpam atau preman di kota-kota di Jawa, mas," kata sopir pikup yang kami tumpangi sepanjang beberapa kilometer demi menghindari kemalaman di jalan menuju Bajawa. Dia tertawa.

Sopir itu dengan riang mengemudikan mobilnya seperti sedang dikejar hantu di jalanan yang berkelok-kelok tajam.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

4 Pengikut

img-content

Pertumbuhan Bukan Berhala

Selasa, 26 Agustus 2025 12:40 WIB
img-content

Danantara: Mesin ‘Austerity’ Prabowo

Senin, 18 Agustus 2025 16:53 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua