Era Digital dan Ancaman Autisme Virtual bagi Anak

Senin, 5 Mei 2025 07:49 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Asyik Main HP
Iklan

Tariklah mereka dari dunia maya ke alam nyata. Ajak anak mengenal dunia lewat sentuhan, pelukan, tawa, dan konflik kecil yang mendewasakan.

SEORANG ayah menumpahkan kejengkelannya pada sang anak yang masih SD. “Sudah berapa kali dibilang! Main ke luar sana! Jangan cuma ngendon di kamar dengan permainan di-handphone-mu!” bentaknya.

Si ayah terus mengomel dengan penuh kerisauan. “Mending kamu panas-panasan atau hujan-hujanan, daripada terlena sama handphone!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anaknya hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus menatap layar. Di dalam kamar, ia punya dunia sendiri: game tanpa jeda, video tanpa akhir, dan notifikasi yang lebih cepat direspons daripada suara orang tuanya.

Sang ayah menghela napas panjang. Tak habis pikir kenapa anaknya begitu betah di kamar, menyendiri, tak bicara, tak banyak bertanya, bahkan tak tampak tertawa. Ia mulai bertanya-tanya: apakah ini bentuk baru dari kesepian… atau justru evolusi baru dari manusia?

Istilahnya Keren: Autisme Virtual

Bukan, ini bukan autisme dalam pengertian medis. Ini autisme buatan zaman modern — ketika anak-anak bukan terlahir dengan gangguan, tapi dibesarkan dalam kebiasaan yang mengganggu. Mereka tidak punya gangguan komunikasi sejak lahir, tetapi gadget-lah yang mengambil alih percakapan. Mereka bukan tak bisa menatap mata orang tuanya karena masalah saraf, tapi karena mata mereka terlalu sibuk menatap layar 6 inci.

Sungguh, ini zaman keemasan parenting berbasis teknologi. Gadget kini jadi pengasuh favorit yang tak pernah rewel, tak minta digaji, dan selalu bisa disetel volumenya. Lelah? Tinggal silent. Boring? Autoplay saja. Anak menangis? Kasih HP. Anak bosan? Kasih HP. Anak lapar? Kasih nasi — tapi sambil nonton HP. Simpel!

Para ahli perkembangan anak sudah bersuara. Bahkan WHO menyarankan anak di bawah dua tahun tidak terpapar layar smartphone sama sekali. Tapi, suara WHO kalah dengan suara video animasi yang disetel volume maksimal di mana-mana. 

Lucunya, banyak orang tua tak sadar bahwa mereka sedang menukar interaksi nyata dengan hiburan virtual. Di satu sisi, mereka mengeluhkan anak jadi pendiam, tidak bersosialisasi, telat bicara, dan mudah marah kalau gadget diambil. Di sisi lain, mereka sendiri yang menyiapkan kondisi itu dengan dalih, “Yang penting anteng.”

Anteng memang, tapi dalam diam yang dalam.

Anak-anak yang tumbuh bersama layar akan kesulitan mengenali ekspresi manusia. Mereka terbiasa dengan stimulus super cepat, suara berulang, warna mencolok, dan reward digital. Dunia nyata terlalu pelan, terlalu membosankan. Akibatnya, empati pun jadi barang langka, dan permainan tradisional jadi seperti fosil.

Namun semua belum terlambat. Syaratnya cuma satu: ganti gadget dengan kehadiran. Main bersama, bicara dari hati ke hati, ajak anak mengenal dunia lewat sentuhan, pelukan, tawa, dan konflik kecil yang mendewasakan.

Dan, seperti gertakan sang ayah di awal cerita. Akhirnya ia gembira anaknya mau banyak berinteraksi dan bercengkrama dengan anggota keluarga serta bermain ceria di luar rumah dengan teman sebaya. 

“Nah,” kata si ayah sambil mendekat, “Ayah lebih suka kamu menjadi anak gaul, bermain-main di luar rumah dengan teman sebayamu. Ayah pun lebih suka kamu pulang basah kuyup karena hujan-hujanan atau kulitmu menjadi ireng karena terpapar matahari dan debu alam, daripada ngendon terus di kamar dengan permainan di HP-mu yang membuat 'autis'.”

Itu bukan sekadar omelan. Itu "panggilan pulang" — dari seorang ayah yang tak mau kehilangan anaknya yang tersesat "ke dunia lain", yaitu dunia maya (virtual). Kita pun mungkin perlu mulai tegas, bukan galak, tapi sadar.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

4 Pengikut

img-content

Mr Q

Sabtu, 27 September 2025 06:50 WIB
img-content

Agama, Bola, dan Problem Sosial Generasi Z

Minggu, 21 September 2025 17:20 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler