Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Berdiri di Atas Aspal Sendiri, Mimpi yang Sia-sia?

Kamis, 29 Mei 2025 10:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Aspal. Ilustrasi Pembangunan Jalan
Iklan

Kami kecewa, bukan karena mimpi kami terlalu tinggi, tetapi karena pemimpin kami tidak pernah mau mencoba menggapainya.

***

Di tengah gemuruh janji kedaulatan dan semangat berdikari yang kerap digemakan dari podium kekuasaan, realitas di tanah Buton tetap sunyi. Aspal alam yang dulu disebut-sebut sebagai harta karun nasional, kini kembali menjadi saksi bisu dari janji-janji yang tidak ditepati. Presiden Prabowo Subianto, yang pernah bersumpah akan menegakkan kemandirian dan kedaulatan bangsa, tetapi tampaknya lebih nyaman berjalan di atas aspal impor daripada menginjakkan kaki di atas aspal kekayaan negerinya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harapan yang dulu membuncah di awal masa pemerintahannya perlahan menguap. Tidak ada terobosan kebijakan, tidak ada percepatan industrialisasi, tidak ada keberpihakan nyata pada daerah penghasil aspal. Semua berjalan seperti biasa: tender jatuh ke tangan pengimpor, proyek infrastruktur dilapisi aspal dari negara lain, dan Buton kembali hanya menjadi catatan kaki dalam buku pembangunan nasional.

Lebih menyakitkan lagi, ketika kritik yang diajukan para pemerhati swasembada aspal dianggap sebagai gangguan, bukan aspirasi. Pemerintah pusat terlalu sibuk mengejar legitimasi global, terlalu sibuk memoles citra geopolitik, hingga lupa diri bahwa kedaulatan sejati dimulai dari sumber daya yang kita miliki. Ketika aspal alam Buton bisa menutupi ribuan kilometer jalan nasional, mengapa negara masih terus membiarkan triliunan rupiah mengalir deras ke luar negeri?

Masyarakat Buton pun kini mulai kehilangan harapan. Para pekerja lokal yang sempat dilatih di era sebelumnya kini menganggur. Pabrik pengolahan aspal yang dibangun setengah hati dibiarkan terbengkalai. Investor lokal kehilangan kepercayaan karena kebijakan berubah-ubah tanpa arah yang jelas. Mereka yang dulu sempat bermimpi besar kini hanya bisa menatap perahu nelayan yang lewat, sebuah simbol bahwa impian untuk berdiri di atas aspal sendiri telah berlayar entah ke mana.

Pak Prabowo, yang dalam pidato-pidatonya selalu menyebut soal nasionalisme, seakan lupa bahwa nasionalisme tidak cukup hanya dibangun dengan lagu dan panji-panji. Nasionalisme harus hadir dalam bentuk keputusan nyata, dalam keberanian memutus mata rantai impor, dalam ketegasan memberdayakan yang lokal. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya: mafia impor aspal tetap berjaya, kementerian tetap tutup mata, dan aspal Buton tetap dikalahkan oleh lobi-lobi kuat dari luar negeri.

Apalagi yang bisa diharapkan dari rezim yang katanya ingin berdaulat, tetapi tidak bisa mensejahterakan daerah yang menyimpan kekayaan strategis? Apa arti kemandirian bila sumber daya sendiri tidak diberdayakan? Buton bukan minta dikasihani, ia hanya minta diberi tempat yang layak dalam perencanaan nasional. Tetapi sepertinya, tempat itu sudah lama dihapus dari peta prioritas.

Kini, swasembada aspal hanya tinggal jargon di atas kertas. Tidak ada roadmap, tidak ada political will, bahkan tidak ada sinyal sedikitpun bahwa negara serius ingin melepaskan diri dari ketergantungan impor aspal. Padahal, kalau pak Prabowo mau, ia punya semua alat untuk memulainya, otoritas politik, legitimasi rakyat, bahkan momen sejarah. Tetapi ia memilih diam. Diam yang sangat menyakitkan.

Kami kecewa, bukan karena mimpi kami terlalu tinggi, tetapi karena pemimpin kami tidak pernah mau mencoba menggapainya. Di saat negara lain berlomba menemukan kekuatan dari dalam, Indonesia justru terus membiarkan potensi lokalnya terkubur dalam ketidakpedulian. Dan di atas tanah yang kaya aspal ini, rakyat hanya bisa berdiri dan bertanya: untuk apa semua ini, jika mimpi membangun di atas aspal sendiri pun tidak diberi kesempatan?

Akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan pahit: mungkin mimpi tentang swasembada aspal memang terlalu muluk untuk negeri ini. Mungkin berdiri di atas aspal sendiri memang terlalu berat untuk pemimpin yang lebih memilih jalan yang mudah: jalan yang telah dilapisi oleh produk aspal impor, oleh kepentingan asing, oleh kenyamanan jangka pendek. Dan di tengah jalan itu, mimpi kami tertinggal jauh, hancur lebur dilindas beban sejarah yang terus berulang, pengabaian atas diri sendiri. Pak Prabowo, Kami menangis!.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler