Pemerhati demokrasi dan politik lokal, mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, serta penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Politik Identitas ala Dedi Mulyadi: Efektivitas Elektoral atau Risiko Demokrasi?

Kamis, 19 Juni 2025 12:40 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi di kantor Tempo untuk hadiri acara Diskusi Mudik Lebaran 2025 di Palmerah Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Iklan

Gaya Dedi berisiko besar. Politik identitas berlebihan dapat memperdalam fragmentasi sosial, populisme performatif bisa mengaburkan fokus.

Dalam kancah politik Indonesia, Dedi Mulyadi telah muncul sebagai salah satu figur yang paling berhasil memanfaatkan identitas budaya, populisme performatif, dan microtargeting digital untuk membangun basis elektoral yang solid. Dengan menonjolkan simbol budaya Sunda dan menggunakan teknologi kampanye yang canggih, ia mampu menarik simpati masyarakat serta memperkuat loyalitas politik pemilihnya.

Namun, strategi ini juga memunculkan pertanyaan besar tentang konsekuensi politik jangka panjang, terutama dalam hal kualitas demokrasi dan kohesi sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam dunia politik yang semakin didominasi oleh data dan teknologi, microtargeting telah menjadi alat utama dalam kampanye elektoral. Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Mathieu Lavigne (2020) dalam Strengthening Ties: The Influence of Microtargeting on Partisan Attitudes and the Vote, teknik ini bukan hanya alat persuasi politik, tetapi juga memperkuat afiliasi partisan dan membuat pemilih lebih kecil kemungkinannya untuk berpindah pilihan politik selama kampanye.

Namun, keberhasilan strategi ini juga diiringi dengan sejumlah risiko besar. Politik identitas yang berlebihan dapat memperdalam fragmentasi sosial, populisme performatif dapat mengaburkan fokus kebijakan, dan microtargeting yang tidak terkendali dapat menciptakan lingkungan informasi yang terisolasi dan memperburuk polarisasi politik.

Tulisan ini berusaha untuk mengeksplorasi bagaimana strategi politik Dedi Mulyadi beroperasi, apa dampaknya terhadap demokrasi, dan bagaimana seharusnya ia bertransformasi agar tetap relevan dalam skala politik yang lebih besar.

Identitas Sunda sebagai Strategi Elektoral

Dedi Mulyadi tidak sekadar menggunakan simbol budaya sebagai alat pemasaran politik, tetapi juga membentuk narasi yang berakar dalam identitas Sunda untuk menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan pemilihnya. Pendekatan ini sesuai dengan konsep mobilisasi “cleavages” yang dikemukakan oleh Norris (2004), yang menyatakan bahwa garis pemisah sosial seperti etnisitas dapat diaktifkan untuk memperkuat loyalitas politik.

Dengan menonjolkan identitas Sunda dalam penampilan, komunikasi, dan kebijakan, Dedi berhasil membangun basis dukungan yang tidak hanya bersifat politis tetapi juga emosional. Pemilih melihatnya bukan hanya sebagai politisi, tetapi sebagai representasi budaya Sunda dalam politik nasional. Keberhasilan ini sangat signifikan mengingat Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia.

Namun, ada bahaya dalam penggunaan identitas yang terlalu dominan dalam politik. Ketika identitas tertentu terlalu ditekankan, masyarakat dapat tersegmentasi secara sosial dan politik, yang berujung pada eksklusivitas politik berbasis etnis atau budaya. Sebuah demokrasi yang sehat membutuhkan integrasi dan dialog lintas kelompok, bukan hanya penguatan identitas yang dapat memperdalam batas-batas sosial.

Populisme Performatif: Politik sebagai Tontonan

Pendekatan populisme yang diterapkan Dedi Mulyadi mencerminkan pola populisme performatif, sebagaimana yang dijelaskan oleh Benjamin Moffitt (2016). Dalam populisme model ini, pemimpin membingkai dirinya sebagai figur yang dekat dengan rakyat, sering kali dengan menciptakan narasi krisis dan konflik dengan elit.

Beberapa contoh nyata dari populisme performatif Dedi adalah kebijakan pembentukan satgas anti-premanisme, pembatasan jam malam bagi pelajar, dan pengiriman siswa nakal ke barak militer. Kebijakan semacam ini bukan hanya sekadar solusi administratif, tetapi juga strategi politik untuk memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin yang tegas. Dengan memanfaatkan media sosial, Dedi memastikan bahwa setiap langkahnya mendapatkan perhatian publik, membuatnya tampak sebagai pemimpin yang aktif dan responsif.

Namun, populisme performatif memiliki sisi negatif. Politik yang terlalu bergantung pada narasi krisis dan pertunjukan kepemimpinan dapat menggeser fokus dari substansi kebijakan ke aspek emosional kampanye. Hal ini bisa menghambat deliberasi kebijakan yang berbasis bukti, karena pemilih lebih terdorong oleh retorika ketimbang analisis kebijakan yang rasional.

Microtargeting Digital: Memperkuat Loyalitas, Memperdalam Polarisasi

Microtargeting adalah strategi kampanye yang menggunakan data pemilih untuk menyampaikan pesan politik yang dipersonalisasi sesuai dengan karakteristik dan preferensi individu. Teknik ini sangat efektif dalam mempertahankan loyalitas pemilih, karena pesan yang diterima lebih relevan dan menarik bagi mereka. Namun, menurut penelitian Lavigne (2020), microtargeting juga dapat memperkuat afiliasi partisan dan mengurangi kemungkinan pemilih berpindah pilihan politik, yang berpotensi memperdalam polarisasi dan menghambat diskusi politik yang lebih luas dalam demokrasi.

Dedi Mulyadi menggunakan teknik ini dengan menargetkan pesan-pesan politik yang menonjolkan nilai-nilai Sunda dan kedekatan personalnya dengan masyarakat. Kampanye ini dirancang sedemikian rupa agar pemilih merasakan koneksi personal dengan Dedi, sehingga ikatan politik mereka semakin kuat.

Namun, microtargeting juga dapat mengisolasi pemilih dalam ekosistem informasi yang sempit, menciptakan ruang gema (echo chamber), di mana individu hanya terpapar informasi yang mendukung keyakinan mereka sendiri. Jika hal ini dibiarkan, maka akan memperdalam polarisasi sosial dan politik, membuat dialog antar kelompok semakin sulit.

Dalam kondisi ekstrem, microtargeting dapat digunakan untuk manipulasi elektoral, seperti yang terjadi dalam Pemilu AS 2016. Donald Trump menggunakan microtargeting untuk mende-mobilisasi pemilih Demokrat, dengan menampilkan iklan negatif yang dirancang untuk membuat mereka ragu-ragu menggunakan hak suaranya. Tanpa regulasi yang kuat, microtargeting dapat menjadi alat manipulasi politik yang berbahaya bagi demokrasi.

Ujian Kepemimpinan Programatik

Keberhasilan elektoral berbasis identitas dan populisme tidak cukup untuk mempertahankan kepemimpinan dalam jangka panjang. Menurut Mudde & Kaltwasser (2017), populisme harus bertransisi ke politik programatik yang menawarkan solusi kebijakan konkret untuk tetap relevan.

Dedi Mulyadi perlu memperluas cakupan politiknya ke isu-isu strategis yang lebih luas, seperti ketahanan pangan, transisi energi, dan inovasi teknologi. Ia harus mampu menawarkan visi kebijakan yang substansial, bukan hanya simbol budaya atau retorika populis.

Kesimpulan: Antara Efektivitas dan Risiko

Dedi Mulyadi telah membuktikan bahwa politik identitas, populisme performatif, dan microtargeting digital dapat bersinergi untuk membangun basis dukungan yang solid. Namun, efektivitas strategi ini memiliki konsekuensi besar: potensi polarisasi, degradasi diskursus kebijakan, dan risiko manipulasi elektoral.

Jika ingin menjadi figur nasional yang berpengaruh, Dedi harus bertransformasi dari sekadar simbol budaya menjadi pemimpin programatik yang mampu menawarkan solusi konkret bagi tantangan bangsa. Transformasi ini bukan hanya soal strategi politik, tetapi juga tanggung jawab moral dalam menjaga kualitas demokrasi dan kohesi sosial di Indonesia.

Demokrasi yang sehat tidak dibangun dari sekadar mobilisasi elektoral, tetapi dari kepemimpinan yang menawarkan visi inklusif, deliberatif, dan berbasis kebijakan yang berkelanjutan.

Referensi

Lavigne, M. (2020). Strengthening ties: The influence of microtargeting on partisan attitudes and the vote. Party Politics, 27(5), 965–976. https://doi.org/10.1177/1354068820918387

Moffitt, B. (2016). The Global Rise of Populism. Stanford University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctvqsdsd8

Mudde, C., & Kaltwasser, C. R. (2017). Populism: A Very Short Introduction. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/actrade/9780190234874.001.0001

Norris, P. (2004). Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behavior. In Sustainability (Switzerland) (Vol. 11, Issue 1). Cambridge University Press.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ibrayoga Rizki Perdana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Demokrasi dalam Kepungan Asap

Senin, 1 September 2025 17:13 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler