Pemerhati demokrasi dan politik lokal, mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, serta penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Demokrasi dalam Kepungan Asap

Senin, 1 September 2025 17:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Unjuk Rasa. Mahasiswa terlibat bentrok dengan kepolisian dalam aksi tolak kenaikan gaji anggota DPR di Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta, 28 Agustus 2025. Tempo/Amston Probel
Iklan

Ketika kobaran api dan narasi anarki membungkam aspirasi rakyat, dan nalar publik tercekik oleh strategi kekuasaan yang lihai membalikkan peran.

***

Asap itu memiliki bau yang khas. Bukan sekadar bau ban terbakar atau gas air mata, melainkan aroma getir dari nalar publik yang sedang dilumpuhkan. Dari berbagai sudut kota, ia mengepul, membawa serta citra rumah pejabat yang dijarah dan fasilitas umum yang luluh lantah. Jalanan yang semula menjadi panggung orasi kini berubah menjadi teater pertempuran yang mencekam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di layar gawai kita, potongan-potongan video kekacauan itu diputar dalam putaran tak berujung, membangun sebuah kebenaran tunggal: demonstrasi telah tergelincir menjadi anarki. Kita pun terdesak untuk percaya, karena apa yang terlihat tampak begitu nyata. Namun, di balik realitas yang disajikan itu, sebuah pertanyaan yang lebih fundamental harus diajukan: apakah kita sedang menyaksikan ledakan amarah yang otentik, atau justru sebuah pementasan agung yang dirancang untuk membajak dan membunuh substansi?

Aksi massa yang kita saksikan sejatinya lahir dari luka kolektif yang sah: tuntutan keadilan atas kematian Affan Kurniawan serta perlawanan terhadap privilese politik yang merobek rasa keadilan. Namun, substansi itu kini lenyap, ditelan oleh tontonan kekacauan yang lebih sensasional. Api yang membakar gedung negara tidak hanya menghanguskan aset fisik, tetapi juga membakar habis agenda perjuangan para demonstran. Publik kini hanya mengingat api, bukan lagi aspirasi.

Pola ini bukanlah hal baru; ia memiliki silsilah yang panjang dalam sejarah politik kekuasaan. Inilah yang secara teknis disebut strategi cipta kondisi. Dalam ranah politik, istilah ini bermakna lebih gelap: merekayasa sebuah krisis untuk menjadikan represi sebagai solusi yang tak terhindarkan. Kekacauan di sini bukan lagi produk sampingan dari kemarahan, melainkan instrumen yang diperhitungkan dengan dingin.

Sejarah dunia mencatat bagaimana dalih semacam ini menjadi bahan bakar bagi mesin-mesin perang dan penindasan. Insiden Teluk Tonkin pada 1964, yang kebenarannya kini sangat diragukan, menjadi justifikasi bagi Amerika Serikat untuk terjun lebih dalam ke palung Perang Vietnam (Herman & Chomsky, 2008). Rangkaian pengeboman apartemen di Moskwa pada 1999, yang oleh jurnalis investigatif seperti David Setter (2016) diindikasikan melibatkan aparat negara, menjadi legitimasi bagi Rusia untuk melancarkan agresi brutal ke Chechnya. Pola yang sama berulang: kekerasan diciptakan, musuh ditunjuk, lalu represi dilegalkan.

Di Indonesia, kita hidup dalam gema sejarah serupa. Dari “massa tak dikenal” di era Orde Baru hingga hari ini, narasi tentang penyusup selalu hadir untuk mendelegitimasi kritik. Begitu api pertama dinyalakan oleh provokator, negara masuk bukan sebagai fasilitator demokrasi, melainkan sebagai pemadam kebakaran yang ironisnya berkepentingan agar api itu terus ada sebagai pembenaran atas eksistensinya.

Pidato Presiden Prabowo Subianto pada 31 Agustus 2025, yang disampaikan di tengah bara kerusuhan, memperlihatkan paradoks yang menyakitkan. Di satu sisi, ia menyatakan bahwa pemerintah menghormati kebebasan berpendapat dan akan menindak aparat yang melanggar. Namun di sisi lain, ia menegaskan bahwa aksi anarkis dan penjarahan bisa menjurus pada makar dan terorisme. Pernyataan ini, alih-alih menjadi penjernih udara, justru mempertebal kabut kecurigaan terhadap gerakan sipil. Ketika demonstrasi yang lahir dari luka kolektif dibingkai sebagai ancaman terhadap negara, maka demokrasi sedang dipentaskan sebagai ilusi.

Di jantung strategi ini terletak sebuah alkimia politik yang keji: pembalikan peran melalui taktik false flag atau bendera palsu. Demonstran yang datang sebagai korban kebijakan atau pembawa aspirasi, melalui sihir panggung ini, diubah menjadi pelaku kekerasan. Sebaliknya, pejabat yang semula menjadi target kritik karena kebijakannya yang bermasalah, kini tampil di panggung sebagai korban yang patut dikasihani. Serangan terhadap properti pribadi adalah puncak dari drama ini; ia berhasil memindahkan sorotan dari isu publik ke tragedi personal, dari kritik struktural ke isu kriminalitas murni.

Begitu narasi “anarki” ini menguasai panggung, hukum pun dipanggil bukan sebagai pelindung hak, melainkan sebagai stempel legitimasi. Pasal-pasal karet dalam KUHP dan UU ITE menjadi instrumen yang fleksibel untuk menjerat siapa pun yang dianggap “mengganggu ketertiban”. Di sinilah kita teringat pada wawasan Foucault (1995) bahwa hukum bukanlah wasit yang netral, melainkan perpanjangan tangan kuasa. Kriminalisasi terhadap aktivis menjadi bisa diterima oleh publik karena, seperti dianalisis Gramsci (1971), hegemoni telah bekerja: masyarakat telah diyakinkan untuk menyetujui penindasan atas nama keamanan bersama.

Dalam lanskap digital saat ini, pementasan ini menemukan panggungnya yang paling sempurna. Algoritma media sosial adalah kurator yang tidak peduli pada kebenaran, hanya pada keterlibatan emosional. Video api dan bentrokan adalah konten premium dalam ekosistem kemarahan ini. Debord (1994) menyebutnya sebagai masyarakat tontonan, di mana realitas otentik dikalahkan oleh citra yang membius. Kita tidak lagi berdebat tentang isi tuntutan, kita hanya berbagi dan mengomentari kobaran apinya.

Konsekuensinya merasuk jauh ke dalam sendi demokrasi. Setiap aksi massa kini dibayangi kecurigaan. Ruang gerak masyarakat sipil menyempit, terperangkap dalam stigma “perusuh”. Lebih parah lagi, publik perlahan kehilangan otot deliberatifnya, terbiasa menjadi penonton pasif ketimbang warga negara yang aktif berwacana.

Demokrasi tidak mati oleh satu ledakan bom atau tembakan senjata. Ia mati perlahan, tersedak asap manipulasi yang kita hirup setiap hari. Ia layu ketika pejabat yang dikritik bisa dengan mudah mengubah diri menjadi korban, sementara rakyat yang menuntut haknya dilabeli sebagai ancaman.

Maka, di tengah kepungan asap ini, tugas intelektual dan kewargaan kita bukanlah sekadar memilih pihak. Tugas kita adalah menjadi penjernih udara. Menolak untuk terhanyut dalam tontonan, dan terus-menerus mengajukan pertanyaan fundamental: cui bono, siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari kobaran api ini?

Karena di era ketika asap menjadi senjata, nalar jernih adalah satu-satunya perisai yang kita miliki. Menjaganya tetap menyala adalah bentuk perlawanan paling sunyi, namun paling esensial.

Referensi

Debord, G. (1994). The Society of the Spectacle. Zone Books. https://doi.org/10.2307/j.ctv1453m69

Foucault, M., & Sheridan, A. (1995). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Random House.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. In Q. Hoare & G. N. Smith (Eds.), On Violence. International Publishers. https://doi.org/10.1515/9780822390169-020

Herman, E. S., & Chomsky, N. (2008). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. In Global Media and Communication (Vol. 6, Issue 2). The Bodley Head.

Setter, D. (2016). The Less You Know, The Better You Sleep: Russia’s Road to Terror and Dictatorship under Yeltsin and Putin (Unabridged). Yale University Press.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ibrayoga Rizki Perdana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Demokrasi dalam Kepungan Asap

Senin, 1 September 2025 17:13 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler