Expert jurnalisme data, jurnalisme konstruktif, writing specialist, MEAL, data classification and summarization, dan Web designer dengan Elementor
Dasein di Ruang Kelas. Ketika Pendidikan adalah Puisi
Sabtu, 21 Juni 2025 18:58 WIB
Pendidikan sebagai puisi memberi ruang bagi pertumbuhan batin dan makna, bukan hanya pertumbuhan angka, kurikulum, dan akreditasi sekolah
***
Dalam dunia pendidikan modern, kita sering kali terburu-buru. Kita mengejar nilai, ranking, dan akreditasi. Kita belajar supaya lulus ujian, masuk universitas, atau dapat pekerjaan. Begitu halnya, pembelajaran di sekolah kadang berjalan sebagai rutinitas untuk memenuhi skema kurikulum. Tak heran guru hanya mengejar target selesai materi untuk ujian, tapi tidak peduli apakah siswa benar-benar paham atau tidak. Ataupun peserta didik yang diwajibkan membuat proyek, tapi yang dinilai hanya hasil akhirnya. Sedangkan proses berpikir, kerja sama, dan kreativitas siswa diabaikan karena tidak masuk penilaian angka. Kalaupun diperhatikan, maka hanya dijadikan formalitas dan bukan yang utama dalam pembelajaran.
Pendidikan semacam ini berpotensi jatuh pada apa yang Heidegger sebut sebagai enframing (Gestell) yakni cara pandang yang menjebak dunia (dan kita) ke dalam kerangka teknologis dimana semua hal dianggap sebagai alat maupun sebagai sumber daya yang bisa dikontrol, difungsikan, dan diukur manfaatnya. (Peter, 2002). Tak salah memang, tapi pendidikan yang serba cepat, efisien, penuh angka, skor, ranking, grafik, akreditasi, dan murid dilatih untuk menjadi tenaga yang siap pakai acap kali mengabaikan makna eksistensial guru, peserta didik, dan komunitas sekolah sebagai Dasein
Fenomenologi Pendidikan antara Dasein dan Das Man
Filsuf eksistensialisme Heidegger menyebut Dasein adalah cara berada yang sadar akan keberadaannya dan bertanya tentang arti “menjadi”. Dasein tidak menjalani hidup sebagai rutinitas, tetapi menjalani hidup dengan arah dan makna. Ia tidak ikut-ikutan, tetapi punya pilihan sendiri. Dalam konteks pendidikan, momen Dasein muncul ketika ketika guru mulai mempertanyakan metode mengajarnya. Atau ketika seorang guru yang tidak hanya menyampaikan materi pelajarannya, tapi mengajak murid berpikir: "Apa arti materi ini bagi masa depan kita? Apa tanggung jawab kita setelah mempelajari materi ini?". Di sana, guru mengajar karena kesadaran akan panggilan eksistensialnya sebagai guru.
Dasein tidak statis, tetapi selalu menjadi. Manusia sebagai Dasein menyadari bahwa dirinya tidak pernah selesai. Baginya, hidup adalah soal kemungkinan dan pilihan. Dasein yang terus menjadi nampak dalam momen-momen ketika seorang guru yang dulunya kaku, mulai belajar pendekatan baru agar murid-muridnya tidak merasa bosan. Atau ketika guru yang dulunya pemarah dan suka menghukum peserta didik, mulai belajar untuk lebih ramah dan sabar terhadap peserta didik.
Di sini, guru tersebut tidak merasa "sudah jadi guru", tapi terus menjadi guru yang lebih peka dan manusiawi. Begitu halnya dengan momen bendahara atau kepala sekolah sebagai Dasein yang menjadi muncul ketika mereka yang dulunya suka mencopot dan tidak transparan dalam keuangan sekolah, mulai transparan dan bertanggung jawab mengelola uang sekolah.
Bahkan momen Dasein sebagi ke-menjadi-an dapat muncul pada diri peserta didik yang awalnya sering mencontek akhirnya memilih belajar sungguh-sungguh karena merasa ingin jujur terhadap dirinya sendiri. Dan momen Dasein yang paling penting adalah ketika guru, murid, dan komunitas sekolah menyadari bahwa suatu hari mereka akan mati sehingga mereka ingin hidup lebih baik dari sekarang.
Namun, dalam keseharian, dasein sering tergelincir dalam apa yang disebut Heiddeger sebagai das man. Das man adalah cara hidup seperti kebanyakan orang, ikut-ikutan, tanpa berpikir sendiri dan ikut arus karena nilai, makna, dan tujuan hidup diambil alih oleh opini publik dan standar umum.
Momen dunia pendidikan sebagai das man muncul ketika guru mengajar tanpa memperhatikan kebutuhan peserta didik. Akibatnya bahwa materi tetap harus diajarkan karena tuntutan kurikulum. Begitu halnya dengan ruang kelas menjadi momen das man ketika kelas berjalan seperti skrip dimana semua pelajaran dimulai dengan salam, absen, materi, tugas, pulang.
Semua merasa aman karena semuanya sesuai kebiasaan. Tapi tidak ada yang sungguh-sungguh hadir dan bertanya: Apa arti semua ini bagi hidup saya?”. Das man dalam pendidikan adalah saat semua pihak yakni siswa, guru, sekolah terjebak pada “yang biasa”, “yang umum”, tanpa bertanya: Apa arti semua ini bagi hidup kita sebagai manusia?. Di sinilah pendidikan mencerminkan enframing dimana tujuan pendidikan bergeser dari pengembangan esensi manusia menjadi pengejaran hasil yang terukur dan instrumental.
Counter education Pendidikan Sebagai Puisi
Enframing membuat pendidikan hanya dilihat sebagai alat untuk sukses dan memenuhi skenario kurikulum, bukan sebagai jalan untuk menjadi manusia yang autentik. Karena itu, dibutuhkan counter education. Di sinilah pendidikan sebagai puisi mendapat tempatnya. Kalau Enframing suka menyederhanakan pendidikan dalam satu cara melihat, satu jalan sukses, maka pendidikan sebagai puisi sebaliknya, membuka banyak pintu.
Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal harus seragam. Kita bisa tinggal di banyak dunia kehidupan (lebenswelt) sekaligus yakni di dunia sains, dunia seni, dunia batin, dunia relasi. Dalam konteks pendidikan, hal itu berarti bahwa tidak semua peserta didik harus jadi insinyur atau dokter. Peserta didik yang menjadi penulis, pendengar yang baik, pengasuh, seniman, ibu rumah tangga, ataupun pedagang tetap sah jika dijalani dengan makna dan cinta.
Jika enframing memandang segala sesuatu sebagai alat dimana mata pelajaran menjadi kumpulan informasi yang harus dikuasai untuk ujian, maka pendidikan sebagai puisi mengajarkan bahwa materi pelajaran bukan hanya sebagai bahan ujian, melainkan juga jendela menuju pemahaman yang lebih dalam. Pendidikan sebagai puisi mengajarkan bahwa daun bukan hanya mengandung klorofil sebagaimana yang tertulis di buku, melainkan juga wujud keindahan yang unik.
Pendidikan sebagai puisi bukan anti pengetahuan. Ia justru lebih dalam yakni mengajarkan cara berpikir, merasa, dan menjadi. Pendidikan sebagai puisi mencirikan pola berpikir secara puitis yaitu berpikir dengan hati, pelan, dan penuh makna. (Peter, 2002). Dalam pendidikan, hal ini berarti memberi ruang untuk rasa ingin tahu dan pendalaman makna. Pendidkan sebagai puisi menghargai proses, bukan hanya hasil. Ia melihat murid sebagai pribadi yang unik, bukan angka di rapor. Dan guru menjadi teman berpikir, bukan hanya penguji.
Dalam pendidikan seperti ini, hubungan antara guru dan murid bukan seperti antara atasan dan bawahan. Guru bukan pengisi gelas kosong. Guru justru membuka ruang agar murid bisa mendengar, merasakan, dan merespons. Guru sejati membiarkan belajar, bukan mengajar dengan paksa. Ia menciptakan ruang agar belajar bisa tumbuh.(Peter, 2002).
Di sinilah pendidikan menjadi pengembaraan yakni sebuah perjalanan kembali ke “rumah” Dasein/ke keberadaan sejatinya. Murid tak lagi hanya mengejar nilai, tapi mulai mengenali siapa dirinya, apa yang penting baginya, dan bagaimana ia bisa hidup dengan autentik. Ia belajar untuk berdiam dalam arti hadir secara utuh di tengah dunia, bukan larut dalam keramaian yang riuh dan dangkal.
Pendidikan sebagai puisi bukanlah pendidikan instan. Ia tak tunduk pada standar-standar yang ditentukan dari luar. Ia tak bisa diburu oleh kurikulum yang kaku atau diukur oleh angka-angka semata. Sebab yang ia tuju adalah sesuatu yang tak bisa dihitung yakni makna. Pendidikan puitis adalah pendidikan yang memberi ruang bagi pertumbuhan batin, bukan hanya pertumbuhan angka.
Dan di tengah dunia yang semakin teknologis yang melihat segalanya sebagai “sumber daya”. pendidikan puitis justru mengajak kita untuk "berdiam" secara puitis di dunia dalam arti menghayati dunia pendidikan, bukannya terjebak dalam rutinitas pendidikan. Belajar dengan cara puitis berarti belajar menjadi manusia. Belajar bukan sekadar untuk lulus, tapi sadar dan memaknai hidup. Bukan hanya tahu, tapi memaknai. Bukan hanya cepat, tapi dalam. Dan mungkin, di situlah kita bisa menemukan makna sejati dari pendidikan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Stikes St. Elisabeth Maumere Gelar Dies Natalis dengan Doa Perdamaian Indonesia
Jumat, 5 September 2025 15:16 WIB
Sanpukat dan Kindermissionwerk-Jerman Kampanye Perlindungan Anak Maumere
Sabtu, 26 Juli 2025 12:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler