saya adalah seorang mahasiswa fakultas hukum universitas katolik santo thomas medan
Lemahnya Penindakan Hoaks Digital oleh Pemerintah
Selasa, 24 Juni 2025 07:46 WIB
Di era digital saat ini, hoaks bukan lagi sekadar lelucon iseng.
Ia bisa menjadi senjata ampuh untuk menciptakan kepanikan, merusak reputasi, bahkan mengguncang stabilitas negara. Yang lebih mengkhawatirkan: hoaks menyebar lebih cepat dibanding upaya penindakannya. Media sosial menjadikan siapa pun bisa jadi penyebar informasi, tanpa harus melewati proses verifikasi atau tanggung jawab jurnalistik. Sementara aparat hukum dan regulator masih sibuk mengejar-ngejar jejak digital yang sudah keburu viral.
Bayangkan, hanya dalam hitungan menit, satu unggahan hoaks bisa dibagikan ulang oleh ribuan akun. Namun, untuk menindak pelakunya, bisa butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun. Dan sering kali, penindakan hukum baru terjadi setelah efek buruk dari hoaks itu terasa seperti konflik sosial, penolakan terhadap kebijakan, atau kerusuhan.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sepanjang 2023, mereka menemukan lebih dari 11.000 konten hoaks yang tersebar di berbagai platform digital. Dari jumlah itu, hanya sebagian kecil yang berujung pada proses hukum. Mayoritas kasus hanya di-take down atau ditandai sebagai misleading. Dampaknya? Para pelaku tetap bebas, masyarakat tetap bingung, dan hoaks pun tetap berkembang biak.
Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya kapasitas penegak hukum, terutama dalam bidang forensik digital. Seperti yang diakui oleh Brigjen Pol Adi Vivid Agustiadi, Direktur Siber Bareskrim Polri, "Kami masih kekurangan tenaga dan alat untuk menangani ribuan laporan hoaks. Beberapa wilayah bahkan belum memiliki tim siber yang memadai." (Kompas.com, 12 Januari 2024)
Dengan keterbatasan seperti itu, tak heran kalau banyak kasus hoaks berakhir tanpa kejelasan. Apalagi, banyak pelaku menggunakan akun anonim, menyebar lewat grup tertutup, atau menyamarkan jejak digital mereka. Padahal, efeknya bisa sangat nyata. Kasus hoaks vaksin COVID-19 adalah contoh nyata bagaimana informasi sesat bisa memengaruhi kebijakan publik dan kesehatan masyarakat. Di beberapa daerah, tingkat vaksinasi rendah disebabkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap hoaks yang menyebut vaksin sebagai “alat untuk membunuh umat Islam” atau “alat chip dari Zionis”.
Parahnya lagi, hoaks kini sering dipakai sebagai alat politik. Dalam masa kampanye atau menjelang pemilu, banyak akun tidak dikenal tiba-tiba muncul menyebar fitnah, manipulasi gambar, hingga narasi palsu untuk menjatuhkan lawan. Tapi lagi-lagi, hukumnya lambat. Kalaupun ada yang ditangkap, publik kerap melihatnya sebagai tebang pilih.
UU ITE, terutama Pasal 28 ayat (1), sebenarnya sudah mengatur soal larangan menyebar hoaks yang menimbulkan keonaran. Tapi implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak aparat bingung membedakan mana hoaks yang berbahaya dan mana yang hanya opini. Tak sedikit juga yang akhirnya memilih "jalan aman", tidak menindak sama sekali.
Hal ini diperparah oleh kurangnya literasi digital masyarakat. Banyak orang masih gampang percaya dengan screenshot WhatsApp, video editan, atau narasi panjang yang katanya “dari sumber terpercaya” padahal tak jelas asal-usulnya. Orang malas cross-check, tapi cepat klik “share”.
Menurut Dr. Herlambang P. Wiratraman, ahli hukum dari Universitas Indonesia, "Hoaks itu seperti virus. Kalau kita tidak memperkuat sistem imun masyarakat lewat literasi digital, maka kita akan terus jadi korban informasi palsu." (Tempo.co, 7 Oktober 2023)
Solusi dari masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan hukum. Harus ada pendekatan lebih luas, melibatkan banyak pihak. Pertama tentu saja literasi digital. Program seperti Siberkreasi, kerjasama Kominfo dengan komunitas digital, sebenarnya bagus. Mereka rutin mengedukasi masyarakat soal hoaks, cara cek fakta, dan tips mengenali informasi palsu. Tapi program ini masih terbatas jangkauannya, belum semua sekolah, desa, atau lapisan masyarakat tahu atau ikut.
Kedua, perlu ada kolaborasi yang kuat dengan platform digital seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan lainnya. Selama ini platform ini masih lambat dalam merespons laporan hoaks dari pengguna Indonesia. Konten yang jelas-jelas menyesatkan bisa bertahan berhari-hari, bahkan berminggu, sebelum akhirnya dihapus. Padahal algoritma mereka bisa dibilang pintar, bisa mengenali musik, wajah, bahkan ekspresi. Tapi kenapa untuk hoaks yang menyebar kebencian dan kebohongan, algoritma seolah lambat?
Selain itu, platform harus lebih transparan. Siapa saja akun penyebar hoaks? Sudah berapa banyak akun yang ditindak? Indonesia sebagai pasar besar pengguna media sosial punya daya tawar untuk menuntut platform bertindak lebih tegas.
Ketiga, penegakan hukum harus diperkuat dan dipercepat, terutama dalam kasus hoaks yang menimbulkan keresahan massal. Jangan hanya aktif kalau sudah viral. Jangan hanya tegas kalau menyangkut tokoh politik. Ketegasan penegakan hukum harus adil dan merata. Kalaupun pelakunya rakyat biasa, tetap harus diproses sesuai hukum. Hukum tidak boleh tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Kasus seperti yang terjadi di tahun 2023, saat seorang ibu rumah tangga ditangkap karena menyebar hoaks soal penculikan anak, menunjukkan bahwa hukum bisa ditegakkan. Tapi kenapa saat politisi menyebar hoaks kampanye, prosesnya rumit dan lambat?
Jurnalis Najwa Shihab pernah berkata, “Hoaks adalah virus yang menyebar lebih cepat dari kebenaran. Kalau kita tidak membangun kekebalan informasi lewat literasi, kita akan terus jadi korban berita palsu.” (Narasi TV, Desember 2023).
Indonesia butuh sistem yang bukan cuma reaktif, tapi juga preventif. Kita tidak bisa terus-terusan jadi bangsa yang baru sibuk setelah masalah muncul. Harus ada early warning system digital yang mampu memantau, mendeteksi, dan menanggulangi hoaks secara real-time.
Pendidikan juga harus mengambil peran. Kurikulum sekolah sudah saatnya memasukkan pelajaran tentang literasi digital, berpikir kritis, dan etika bermedia sosial. Anak muda sebagai pengguna utama platform digital harus dibekali kemampuan menilai informasi. Karena di tangan mereka pula masa depan informasi Indonesia akan ditentukan.
Di tengah dunia yang makin kompleks dan terhubung, kecepatan menyebarkan informasi harus diimbangi dengan tanggung jawab. Jika tidak, maka kebohongan akan terus menang. Dan kita semua tanpa sadar jadi bagian dari sistem yang memperkuat hoaks itu sendiri.

penulis indonesiana
0 Pengikut

Lemahnya Penindakan Hoaks Digital oleh Pemerintah
Selasa, 24 Juni 2025 07:46 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler