Saya adalah mahasiswi dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Etika Sosial dalam Menghadapi Krisis Moneter

Rabu, 16 Juli 2025 17:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
3 Potensi Ekonomi di Daerah Padat Penduduk Kabupaten Pidie
Iklan

Krisis moneter berdampak pada sektor pertanian, maka penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menghadapinya dengan prinsip etika sosial.

Oleh Naomi Anakampun1 dan Helena Sihotang,SE,.MM.2

Penulis pertama adalah mahasiswi dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penulis kedua adalah dosen Fakultas Ekonomi UNIKA Medan.

Krisis moneter bukan hanya sekadar gejolak ekonomi yang tercermin dalam angka inflasi, nilai tukar, dan defisit anggaran. Lebih dari itu, ia menyentuh langsung kehidupan masyarakat khususnya mereka yang berada dalam posisi sosial paling rentan, seperti petani kecil. Di Indonesia sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi lokal dan sumber penghidupan utama bagi jutaan orang. Namun, ketika krisis melanda, petani justru menjadi pihak yang paling terdampak dan paling sedikit mendapatkan perlindungan.

Diambil dari buku Monetary Policy Strategy (2007) karya Frederic S Mishkin, krisis moneter adalah krisis yang berhubungan dengan keuangan suatu negara.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar yang bersifat etis: Apakah sistem ekonomi yang ada sudah adil bagi semua lapisan masyarakat? Apakah kebijakan negara selama masa krisis sudah memenuhi prinsip tanggung jawab sosial dan keadilan distributif? Ketika sebagian besar petani kehilangan akses terhadap produksi, pembiayaan, dan pasar, maka yang dipertaruhkan bukan hanya pendapatan, tetapi juga martabat dan hak dasar mereka sebagai warga negara.

Menurut K.Bertens (1993), etika adalah nilai dan norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sementara etika sosial membahas masalah moral dalam kehidupan sosial, seperti keadilan dan diskriminasi.

Di tengah tantangan tersebut, pendekatan etis menjadi sangat penting. Bukan hanya untuk menjawab dampak jangka pendek krisis, tetapi juga untuk membentuk kembali struktur kebijakan publik yang lebih adil dan manusiawi. Artikel ini membahas bagaimana krisis moneter berdampak pada sektor pertanian di Indonesia, serta mengapa penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menghadapinya dengan prinsip-prinsip etika sosial yang kuat.

Ketimpangan dan Beban Krisis di Sektor Pertanian

Krisis moneter yang menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah telah berdampak besar pada naiknya biaya produksi pertanian, mulai dari pupuk, pestisida, hingga benih. Di sisi lain, harga jual hasil pertanian tidak mengalami peningkatan sebanding, bahkan dalam banyak kasus mengalami penurunan karena turunnya daya beli masyarakat. Akibatnya, margin keuntungan petani menyusut drastis.

Sekitar 70% petani di Sumatera Utara merupakan petani kecil yang sangat bergantung pada pembiayaan dari luar, sementara akses kredit menurun sekitar 15% pada tahun 2024 (Bank Indonesia, 3 Desember 2024). Biaya produksi yang tinggi, minimnya akses pembiayaan, dan pasar yang tidak berpihak membuat banyak petani tidak mampu melanjutkan usaha taninya. Beberapa bahkan terpaksa menjual aset produktif atau mengalihkan usaha ke sektor lain yang lebih menjanjikan.

Penyebab krisis moneter yang dikutip dari www.umsu.ac.id (3 Desember 2024) dapat bervariasi tergantung pada konteks dan faktornya, beberapa diantaranya yaitu ketidakseimbangan pada neraca perdagangan, untang yang tinggi kepada luar negeri, tidak stabilnya keuangan, kebijakan moneter yang tidak efektif dan krisis ekonomi global.

Yang lebih ironis, ketika nilai tukar rupiah melemah, harga komoditas ekspor seperti karet dan kopi memang naik di pasar global. Namun, keuntungan ini tidak dinikmati oleh petani kecil karena struktur pasar yang timpang. Perantara atau pelaku pasar besar lebih dulu mengambil margin, sementara petani hanya menerima harga jual dasar yang tidak sebanding dengan biaya tanam dan panen.

Situasi ini menggambarkan ketimpangan sistemik yang berlangsung lama. Petani kecil selalu berada di posisi paling lemah dalam rantai ekonomi. Saat krisis datang, mereka tidak punya penyangga sosial, ekonomi, atau politik yang bisa melindungi keberlangsungan hidup mereka.

Tanggung Jawab Etika dan Keadilan Sosial dalam Kebijakan Pertanian

Dalam kerangka etika sosial, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi kelompok rentan dari dampak krisis. Prinsip keadilan distributif menuntut agar kebijakan publik tidak netral, melainkan berpihak pada mereka yang paling terdampak. Sayangnya, dalam banyak kasus, respons kebijakan cenderung makro dan teknokratis, tanpa mempertimbangkan realitas sosial petani kecil di lapangan.

Subsidi pupuk, bantuan benih, dan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebenarnya sudah ada, tetapi distribusinya sering tidak merata, lambat, atau bahkan tidak sampai ke tangan petani yang paling membutuhkan. Tanpa pendekatan etis dalam pelaksanaan, kebijakan ini menjadi tidak efektif.

Etika publik juga menuntut partisipasi dan transparansi. Petani harus dilibatkan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan pertanian. Mereka bukan sekadar objek bantuan, tetapi subjek utama dalam pembangunan sektor pertanian.

Selain itu, investasi dalam infrastruktur dasar seperti jalan tani, irigasi, dan gudang penyimpanan hasil panen adalah bagian dari keadilan sosial. Pemerataan pembangunan harus menjadi komitmen jangka panjang, bukan hanya program darurat saat krisis.

Mendorong diversifikasi tanaman, pelatihan penggunaan teknologi, dan kolaborasi antara pemerintah daerah dengan lembaga riset agrikultur juga merupakan bagian dari tanggung jawab moral negara untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan dan adil bagi semua pelaku di dalamnya.

Krisis moneter menjadi titik ujian bagi integritas moral negara. Ketika petani kecil dibiarkan berjuang sendiri di tengah ketidakpastian ekonomi, maka yang gagal bukan hanya kebijakan ekonomi, tetapi juga komitmen kita terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Sudah saatnya pendekatan etis menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan pertanian. Dengan menjunjung keadilan, solidaritas, dan keberpihakan terhadap yang lemah, krisis bukan lagi menjadi bencana, tetapi momentum untuk memperbaiki struktur sosial dan ekonomi yang lebih adil dan tangguh di masa depan.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Naomi Anakampun dan Helena Sihotang,SE.,MM.

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler