Tanggung Jawab Etis dalam Konservasi Raja Ampat

Kamis, 17 Juli 2025 10:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
4 IUP Nikel Di Raja Ampat Dicabut Pemerintah
Iklan

Perlu kerangka kerja yang menggabungkan prinsip keberlanjutan ekologis dengan integritas moral dan profesionalisme pengambilan kebijakan.

Oleh : Rika Eliza dan Helena Sihotang

Raja Ampat, sebuah gugusan pulau di ujung barat Papua, dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Keindahan bawah lautnya, dengan terumbu karang yang warna-warni dan ribuan spesies ikan, telah memukau para penyelam dan wisatawan dari seluruh penjuru bumi. Pulau ini tidak hanya menjadi kebanggaan Indonesia, tetapi juga warisan global yang harus dijaga keberlanjutannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, di balik pesona karang dan biota laut yang memesona, Raja Ampat kini menghadapi ancaman nyata dari aktivitas pertambangan nikel yang kian masif dan menuai kontroversi. Isu ini tidak sekadar soal lingkungan, tetapi juga menyangkut tanggung jawab etika profesi para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat lokal.

Fenomena ini adalah sebuah dilema etis yang mendalam. Bagaimana kita bisa membenarkan pengorbanan keajaiban alam yang tak ternilai, yang telah terbentuk selama jutaan tahun, demi keuntungan jangka pendek dari aktivitas penambangan?

Eksplorasi tambang, bahkan dalam skala kecil, dapat menyebabkan kerusakan ireversibel pada ekosistem laut. Sedimen yang terangkat dapat menutupi terumbu karang, menghalangi fotosintesis, dan mencemari air. Zat-zat kimia berbahaya yang digunakan dalam proses penambangan bisa meracuni kehidupan laut, mengganggu rantai makanan, dan pada akhirnya, merugikan masyarakat lokal yang bergantung pada laut untuk penghidupan mereka.

Situasi ini menuntut refleksi mendalam tentang etika konservasi dan tanggung jawab profesi dalam pengelolaan sumber daya alam. Bagaimana mungkin sebuah kawasan yang diakui dunia sebagai laboratorium alam, justru terancam oleh keputusan-keputusan yang abai terhadap prinsip keberlanjutan?

Krisis Konservasi dan Pengkhianatan terhadap Warisan Alam

Masalah utama yang kini membelit Raja Ampat adalah pemberian izin tambang nikel kepada lima perusahaan oleh empat kementerian berbeda, yang menimbulkan tumpang tindih kebijakan dan lemahnya pengawasan. Tumpang tindih regulasi, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan pengawasan yang longgar membuka ruang pelanggaran terhadap hukum konservasi. Beberapa perusahaan telah dicabut izinnya, namun pencabutan izin ini tidak serta-merta menghapus jejak kerusakan yang telah terjadi bahkan menyisakan dampak jangka panjang yang tak mudah dipulihkan. 

Kerusakan lingkungan ini diperparah oleh dampaknya terhadap masyarakat adat yang telah lama menjadi penjaga alam. Kehadiran tambang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menggerus nilai budaya dan kearifan lokal yang selama ini menjadi benteng konservasi. Ketika hak masyarakat adat terabaikan demi investasi ekstraktif, maka yang terjadi bukan hanya krisis ekologi, tetapi juga ketidakadilan sosial.

Ironisnya, regulasi di kawasan konservasi perairan Raja Ampat secara tegas melarang segala bentuk aktivitas pertambangan dan pengambilan karang hidup untuk keperluan industri. Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran aturan ini, yang menandakan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di tingkat pusat maupun daerah. Situasi ini semakin pelik ketika kepentingan ekonomi jangka pendek lebih diutamakan dibandingkan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat lokal.

 

Konservasi Etis dan Kolaborasi Profesi untuk Masa Depan Raja Ampat

Menghadapi kompleksitas masalah ini, sangat diperlukan pendekatan konservasi etis, yakni sebuah kerangka kerja yang menggabungkan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologis dengan integritas moral dan profesionalisme dalam pengambilan kebijakan publik. Konservasi etis tidak hanya bertumpu pada perlindungan fisik terhadap lingkungan, tetapi juga menekankan pentingnya keadilan sosial, pengakuan atas hak masyarakat adat, dan tanggung jawab antargenerasi.

Dalam praktiknya, negara harus menempatkan precautionary principle atau prinsip kehati-hatian sebagai dasar setiap kebijakan yang berkaitan dengan wilayah konservasi. Prinsip ini menegaskan bahwa ketiadaan bukti ilmiah yang pasti bukan alasan untuk mengabaikan potensi kerusakan ekologis.

Dalam konteks Raja Ampat, semestinya izin tambang tidak diberikan sebelum ada kajian risiko lingkungan yang komprehensif dan partisipatif. Bahkan jika izin telah dikeluarkan, prinsip kehati-hatian memungkinkan negara untuk menarik kembali izin tersebut demi mencegah kerusakan yang lebih parah. Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum dengan memastikan tidak ada lagi izin tambang di kawasan konservasi Raja Ampat, sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Proses penegakan hukum juga harus diperkuat, tidak hanya dalam bentuk sanksi administratif, tetapi juga pidana lingkungan yang serius. Pelanggaran atas kawasan konservasi harus diperlakukan sebagai kejahatan terhadap masa depan, karena dampaknya menjangkau generasi yang belum lahir. Dalam hal ini, aparat penegak hukum, pengawas lingkungan, dan otoritas pertambangan harus menjalankan profesinya dengan menjunjung tinggi etika dan integritas.

Selain itu, pengembangan ekonomi alternatif berbasis ekowisata harus diprioritaskan sebagai pengganti aktivitas tambang. Ekowisata yang dikelola secara profesional dan beretika terbukti mampu memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.

Konservasi etis di Raja Ampat bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan mendesak. Ini berarti mengedepankan prinsip-prinsip moral dalam setiap keputusan terkait pemanfaatan sumber daya alam di wilayah tersebut. Pertama, kita harus mengakui bahwa alam memiliki nilai intrinsik, bukan hanya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi. Keindahan dan keanekaragaman hayati Raja Ampat adalah warisan global yang harus dilindungi untuk generasi sekarang dan mendatang.

Raja Ampat adalah keajaiban yang tak tergantikan. Biarkan kita bersama-sama berdiri untuk melindunginya, memastikan bahwa keindahan bawah lautnya akan terus memukau, bukan hanya dalam cerita, tetapi dalam kenyataan, untuk selamanya. 

 

Tentang Penulis

Rika Eliza Ketaren adalah mahasiswa aktif dan penulis muda yang fokus pada isu etika digital, media, dan demokrasi.
Helena Sihotang, S.E., M.M. adalah dosen di Universitas Katolik Santo Thomas Medan. Ia aktif menulis dan berbicara di berbagai forum mengenai etika profesi dan komunikasi publik.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler