Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.
Putusan Pengadilan atas Tom Lembong dan Konstipasi Hukum di Indonesia
Kamis, 7 Agustus 2025 10:12 WIB
Putusan pengadilan terhadap Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dalam kasus impor gula menjadi manifestasi konkret dari fenomena "konstipasi
Putusan pengadilan terhadap Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dalam kasus impor gula menjadi manifestasi konkret dari fenomena "konstipasi hukum" dalam sistem peradilan Indonesia. Dapat dianalisis bagaimana kasus ini mencerminkan obstruksi sistemik dalam sirkulasi keadilan, di mana proses hukum mengalami stagnasi antara aspek procedural dan substantive justice. Melalui analisis patologis terhadap putusan yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara meski terdakwa dinyatakan tidak menikmati hasil korupsi, penelitian ini mengungkap kompleksitas konstipasi hukum yang menghambat metabolisme keadilan dalam transisi demokrasi Indonesia.
Anatomi Putusan yang Paradoksal
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta kepada Tom Lembong dalam kasus impor gula, meski majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak menikmati hasil korupsi, menyajikan paradoks juridis yang mengindikasikan adanya konstipasi hukum dalam sistem peradilan Indonesia.
Konstipasi hukum, sebagai adaptasi dari metafora medis ke dalam konteks juridis, merujuk pada kondisi di mana sistem hukum mengalami obstruksi dalam sirkulasi keadilan. Seperti halnya konstipasi biologis yang menghalangi eliminasi normal limbah tubuh, konstipasi hukum menghalangi "eliminasi" ketidakadilan melalui proses peradilan yang seharusnya menghasilkan putusan yang proporsional dan substantively just (Hart, 1961).
Kasus Tom Lembong, yang terkait dengan kebijakan impor gula saat dia menjabat sebagai Menteri Perdagangan era Presiden Jokowi, didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor dan merugikan negara sebesar Rp578 miliar. Namun, kompleksitas kasus ini terletak pada gap antara formal guilt yang ditetapkan pengadilan dengan substantive culpability yang dipertanyakan.
Etiologi Konstipasi Hukum dalam Kasus Tom Lembong
Analisis etiologis terhadap konstipasi hukum dalam kasus ini mengungkap berbagai faktor kausal yang saling berinteraksi. Pertama, faktor struktural berupa rigiditas interpretasi hukum pidana korupsi yang cenderung mengutamakan strict liability daripada proportionality principle. Sistem hukum Indonesia, yang masih banyak mengadopsi civil law tradition, sering mengalami kesulitan dalam mengakomodasi nuanced judgment yang mempertimbangkan contextual factors dan moral culpability (Pompe, 2005).
Kedua, faktor institusional berupa pressure politik dan ekspektasi publik terhadap pemberantasan korupsi yang menciptakan judicial populism. Dalam konteks transisi demokrasi Indonesia, pemberantasan korupsi telah menjadi symbolic politics yang sangat charged, sehingga pengadilan sering terjebak dalam dilemma antara legal technicality dan popular expectation (Butt, 2012).
Ketiga, faktor procedural berupa keterbatasan dalam framework hukum korupsi Indonesia yang tidak secara adequate membedakan antara corruption for personal gain dengan policy mistakes yang berimplikasi kerugian negara. UU Tipikor Indonesia cenderung broad dalam definisinya, sehingga menciptakan zone abu-abu yang dapat menjerumuskan policy makers ke dalam criminalization of policy differences (Febriansyah, 2016).
Keempat, faktor cultural berupa expectation masyarakat terhadap exemplary punishment sebagai deterrent effect, yang sering mengabaikan proporsionalitas hukuman dengan tingkat culpability. Budaya hukum Indonesia yang masih strong dalam retributive justice orientation menciptakan tekanan untuk "menghukum" meski evidence tentang personal enrichment tidak conclusive.
Manifestasi Klinis Konstipasi Hukum
Manifestasi konstipasi hukum dalam kasus Tom Lembong dapat dilihat dari paradoks putusan yang menyatakan terdakwa "terbukti tidak punya mens rea" namun tetap dijatuhi hukuman penjara yang substantial. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya disconnect antara legal findings dengan legal consequences, yang merupakan gejala klasik dari obstruksi dalam sirkulasi keadilan.
Pertama, gejala mechanical jurisprudence yang ditandai dengan aplikasi hukum yang rigid tanpa mempertimbangkan contextual justice. Pengadilan tampaknya terjebak dalam formulaic approach yang mengutamakan compliance terhadap statutory requirements daripada achieving substantive justice yang proporsional dengan actual wrongdoing.
Kedua, gejala judicial ambivalence yang tercermin dari tension antara legal conviction dengan moral uncertainty. Putusan seribu halaman yang dihasilkan pengadilan mengindikasikan complexity internal dalam reasoning process, yang mungkin mencerminkan keraguan hakim terhadap appropriateness dari punishment yang dijatuhkan.
Ketiga, gejala systemic inconsistency dalam penerapan prinsip proporsionalitas. Kasus-kasus korupsi lain dengan pattern yang serupa sering menghasilkan vonis yang berbeda-beda, mengindikasikan ketiadaan coherent framework dalam menentukan appropriate punishment berdasarkan degree of culpability dan actual harm caused.
Istilah seperti, patofisiologi obstruksi juridis, adalah suatu kesamaan dalam proporsi stuktur masalahnya baik dalam bidang hukum dan kesehatan. Meskipun tidak benar-benar perisi sama dalam aspek realitas yang dihadapi sebagai dinamika dari realitasnya sebagai perwujudan matrealistik dari problem yang muncul.
Dimana, pemahaman patofisiologi konstipasi hukum dalam kasus ini membutuhkan analisis terhadap normal flow of justice dalam sistem peradilan yang sehat. Dalam kondisi ideal, proses peradilan harus mampu menghasilkan decision yang mencerminkan balanced consideration antara rule of law, proportionality, dan substantive justice.
Namun, dalam kasus Tom Lembong, terjadi obstruksi pada level judicial reasoning yang menciptakan inconsistency antara factual findings dengan legal conclusions. Pengadilan mengakui absence of personal enrichment dan mens rea, namun tetap menjatuhkan substantial punishment berdasarkan strict interpretation of statutory elements.
Obstruksi ini diperburuk oleh institutional pressure yang menciptakan fear of being perceived as "soft on corruption" jika menjatuhkan acquittal atau lighter sentence. Hal ini menciptakan judicial overcautiousness yang prioritize formal compliance over substantive justice, sehingga menghasilkan outcomes yang secara intuitive terasa disproportionate.
Implikasi Sistemik Konstipasi Hukum
Konstipasi hukum dalam kasus Tom Lembong memiliki implikasi yang luas terhadap sistem hukum Indonesia secara keseluruhan. Pertama, hal ini menciptakan chilling effect terhadap public officials yang dapat menghambat policy innovation dan risk-taking yang necessary dalam governance. Ketika boundary antara policy mistakes dengan criminal conduct menjadi blurred, hal ini dapat menciptakan bureaucratic paralysis dan excessive risk aversion (Rose-Ackerman, 1999).
Kedua, konstipasi hukum ini mengindikasikan adanya fundamental problem dalam legal framework korupsi Indonesia yang terlalu broad dan tidak sufficiently nuanced dalam membedakan various types of corruption dengan different degrees of culpability. Hal ini menciptakan potential untuk arbitrary enforcement dan inconsistent application of law.
Ketiga, pattern ini dapat mengikis public confidence dalam judicial system karena menciptakan perception bahwa court decisions lebih dipengaruhi oleh political considerations daripada legal merits. Ketika masyarakat melihat disconnect antara findings of fact dengan legal consequences, hal ini dapat mengurangi legitimacy dari judicial process secara keseluruhan.
Terapi Juridis untuk Mengatasi Konstipasi Hukum
Mengatasi konstipasi hukum membutuhkan comprehensive legal reform yang address berbagai level dari problem ini. Pertama, reform substantif berupa revision terhadap UU Tipikor untuk menciptakan more nuanced framework yang dapat distinguish antara different types of corruption dengan appropriate gradation of penalties berdasarkan actual harm dan degree of personal enrichment.
Kedua, reform procedural berupa development of judicial guidelines yang dapat assist courts dalam applying proportionality principle secara consistent. Hal ini mencakup creation of sentencing guidelines yang consider various mitigating dan aggravating factors secara systematic dan transparent.
Ketiga, reform institutional berupa strengthening of judicial independence dan creation of mechanisms yang dapat protect judges dari excessive political pressure dalam corruption cases. Hal ini penting untuk memastikan bahwa judicial decisions didasarkan pada legal merits rather than political expediency.
Keempat, reform cultural berupa public education tentang complexity of corruption cases dan importance of proportionality dalam criminal justice. Hal ini dapat help reduce public pressure untuk excessive punishment yang tidak proportionate dengan actual wrongdoing. Dan "Alternatif Framework: Restorative Justice dalam Corruption Cases" tidak semata-mata, perlu bahkan sangat diperlukan.
Kasus Tom Lembong mengindikasikan perlunya exploration terhadap alternative approaches dalam handling corruption cases, khususnya yang involve policy decisions dengan ambiguous boundaries antara mistakes dengan criminal intent. Restorative justice framework dapat menawarkan more appropriate response untuk cases di mane personal enrichment minimal atau absent namun terjadi kerugian negara akibat policy decisions.
Dalam framework ini, focus lebih ditekankan pada restitution, accountability, dan systemic improvement daripada purely punitive measures. Hal ini dapat mencakup mechanisms seperti civil recovery, administrative sanctions, dan institutional reforms yang dapat address underlying problems tanpa necessarily resorting ke criminal sanctions yang disproportionate.
Sebagai studi Komparatif dari Lessons dari Jurisdiksi yang lain, Dapat disnalysis komparatif terhadap bagaimana jurisdiksi lain handle similar cases dapat provide valuable insights untuk addressing konstipasi hukum ini. Misalnya, beberapa negara telah develop more sophisticated frameworks yang distinguish antara grand corruption dengan regulatory offenses, dengan different procedural requirements dan penalty structures.
Singapore, misalnya, memiliki framework yang membedakan corruption cases berdasarkan amount involved, degree of premeditation, dan extent of personal benefit. Hal ini memungkinkan more proportionate responses yang consider contextual factors sambil tetap maintaining deterrent effect.
Menuju Sirkulasi Keadilan yang Sehat
Kasus putusan Tom Lembong merupakan manifestasi concrete dari konstipasi hukum yang menghambat achievement of substantive justice dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan Tom Lembong yang mengajukan banding dengan harapan mendapat putusan yang lebih adil, kasus ini menjadi test case penting untuk evaluating capacity sistem peradilan Indonesia dalam self-correction.
Mengatasi konstipasi hukum ini membutuhkan comprehensive approach yang address legal, institutional, dan cultural dimensions dari problem ini. Hal yang paling fundamental adalah recognition bahwa justice bukan hanya tentang strict application of legal rules, tetapi juga tentang achieving proportionate outcomes yang reflect both rule of law dan substantive fairness.
Future legal development perlu focus pada creation of more nuanced frameworks yang dapat distinguish antara different types of wrongdoing dengan appropriate responses. Hal ini essential tidak hanya untuk individual justice, tetapi juga untuk maintaining public confidence dalam legal system dan ensuring effective governance dalam era demokratisasi Indonesia.
Ultimately, healthy circulation of justice requires balance antara accountability dan proportionality, antara deterrence dan fairness. Tanpa addressing konstipasi hukum ini, sistem peradilan Indonesia akan continue to produce outcomes yang technically legal namun substantively questionable, yang dapat undermine both rule of law dan democratic governance dalam jangka panjang.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Parau
Senin, 1 September 2025 14:51 WIB
Mahmudat Ikhwanat Dipanggil Hamidah, Sebuah Anekdot Linguistik
Senin, 1 September 2025 14:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler