Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.
Mens Rea dalam Perspektif Mahfud MD
Kamis, 7 Agustus 2025 10:19 WIB
***
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis Tom Lembong dengan pidana penjara 4,5 tahun meski pengadilan sendiri mengakui ketiadaan mens rea telah memicu reaksi keras dari Prof. Dr. Mahfud MD. Sebagai figur otoritatif dalam hukum tata negara Indonesia dan mantan Koordinator Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan, kritik Mahfud MD terhadap putusan ini tidak dapat diabaikan sebagai sekadar opini politik, melainkan diagnosis profesional terhadap kondisi patologis sistem peradilan Indonesia.
Konseptualisasi metabolisme hukum dalam konteks ini merujuk pada kemampuan sistem hukum untuk memproses input berupa fakta-fakta hukum menjadi output berupa putusan yang mencerminkan keadilan substantif. Sebagaimana metabolisme biologis memerlukan fungsi yang harmonis antara berbagai organ untuk mengubah nutrisi menjadi energi yang berguna bagi tubuh, metabolisme hukum membutuhkan koordinasi yang efektif antara berbagai elemen sistem peradilan untuk mengkonversi evidence dan prinsip hukum menjadi putusan yang adil dan proporsional (Dworkin, 1986).
Mahfud MD, dalam kritiknya yang tajam terhadap putusan Tom Lembong, pada dasarnya mengidentifikasi terjadinya gangguan serius dalam metabolisme hukum ini. Ketika prinsip fundamental seperti mens rea tidak dapat dimetabolisme dengan benar oleh sistem peradilan, hal ini mengindikasikan adanya obstruksi atau disfungsi yang dapat mengancam integritas rule of law secara keseluruhan. Analisis terhadap perspektif Mahfud MD menjadi penting karena memberikan insight dari seorang praktisi dan akademisi hukum yang memiliki pengalaman luas dalam sistem hukum Indonesia, baik dari sisi teoritis maupun praktis.
Diagnosis Mahfud MD: Stagnasi Prinsip Mens Rea
Mahfud MD dalam berbagai pernyataannya pasca putusan Tom Lembong telah memberikan diagnosis yang tegas terhadap apa yang ia anggap sebagai kesalahan fundamental dalam putusan tersebut. Kritik utama Mahfud MD berpusat pada absennya mens rea (niat jahat) dalam perbuatan yang didakwakan kepada Tom Lembong, namun tetap dijatuhkannya pidana penjara yang substansial. Dalam perspektif Mahfud MD, hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip fundamental hukum pidana yang telah mapan secara universal.
Prinsip "geen straf zonder schuld" yang ditekankan Mahfud MD merupakan salah satu pilar dasar hukum pidana modern yang berasal dari tradisi hukum Eropa Kontinental. Prinsip ini menegaskan bahwa tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan, dan unsur kesalahan yang paling fundamental adalah mens rea atau niat jahat. Dalam konteks hukum pidana Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh tradisi civil law, prinsip ini seharusnya menjadi guidance yang tidak dapat diabaikan dalam setiap putusan pidana (Remmelink, 2003).
Mahfud MD mengidentifikasi bahwa dalam kasus Tom Lembong, terdakwa hanya melaksanakan tugas administratif berdasarkan perintah dari atasan, tanpa adanya inisiatif pribadi untuk melakukan korupsi atau memperoleh keuntungan personal. Hal ini, menurut Mahfud MD, menunjukkan ketiadaan mens rea yang seharusnya menjadi syarat mutlak untuk pemidanaan. Ketika sistem peradilan gagal memproses fakta ini menjadi putusan yang sesuai dengan prinsip hukum, terjadilah apa yang dapat disebut sebagai stagnasi dalam metabolisme hukum.
Perspektif Mahfud MD ini mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang perbedaan antara policy mistakes dengan criminal conduct. Dalam governance modern, seringkali terdapat gray area antara keputusan kebijakan yang kemudian terbukti merugikan dengan tindakan pidana yang dilakukan dengan niat jahat. Kegagalan sistem peradilan dalam membedakan kedua hal ini dapat menciptakan chilling effect yang serius terhadap fungsi pemerintahan, karena pejabat publik akan takut mengambil keputusan yang necessary namun berisiko.
Patofisiologi Metabolisme Hukum yang Terganggu
Analisis Mahfud MD terhadap kasus Tom Lembong mengungkap adanya gangguan dalam apa yang dapat disebut sebagai patofisiologi metabolisme hukum. Dalam sistem hukum yang sehat, terdapat alur yang jelas dari input (fakta hukum dan evidence) melalui processing (analisis juridis berdasarkan prinsip hukum) menuju output (putusan yang adil dan proporsional). Namun, dalam kasus Tom Lembong, Mahfud MD mengidentifikasi adanya disconnect yang signifikan dalam alur ini.
Gangguan pertama terjadi pada level input processing, di mana fakta bahwa Tom Lembong tidak memperoleh keuntungan personal dan hanya melaksanakan tugas administratif tidak dapat diproses dengan baik oleh sistem. Meskipun fakta-fakta ini diakui dalam persidangan, sistem gagal mengkonversinya menjadi legal reasoning yang koheren. Hal ini mengindikasikan adanya rigiditas dalam framework hukum korupsi Indonesia yang tidak dapat mengakomodasi nuanced situations yang tidak fit perfectly dengan statutory definitions.
Gangguan kedua terjadi pada level judicial reasoning, di mana prinsip fundamental mens rea mengalami stagnasi dan tidak dapat dimetabolisme dengan benar. Mahfud MD mengamati bahwa meskipun pengadilan mengakui ketiadaan niat jahat, hal ini tidak diterjemahkan menjadi legal consequences yang logis. Ini menunjukkan adanya mechanical jurisprudence yang mengutamakan formal compliance terhadap statutory elements tanpa mempertimbangkan substantive justice yang merupakan tujuan ultimate dari sistem hukum.
Gangguan ketiga terjadi pada level output, di mana putusan yang dihasilkan tidak mencerminkan proportionality antara degree of culpability dengan severity of punishment. Mahfud MD melihat hal ini sebagai manifestasi dari judicial populism yang lebih mengutamakan popular expectation daripada legal principles. Dalam konteks transisi demokrasi Indonesia di mana pemberantasan korupsi menjadi symbolic politics yang highly charged, pengadilan sering terjebak dalam pressure untuk "menghukum" tanpa mempertimbangkan apakah punishment tersebut justified berdasarkan actual wrongdoing.
Implikasi Sistemik : Chilling Effect Dan Erosi Kepercayaan
Perspektif Mahfud MD terhadap kasus Tom Lembong tidak hanya fokus pada injustice yang dialami oleh individu terdakwa, tetapi juga pada implikasi sistemik yang lebih luas. Salah satu concern utama yang diangkat Mahfud MD adalah potential chilling effect terhadap pejabat publik yang dapat menghambat effective governance. Ketika boundary antara policy mistakes dengan criminal conduct menjadi blurred, hal ini dapat menciptakan excessive risk aversion di kalangan birokrat yang akan menghindari decision-making yang necessary namun potentially controversial.
Dalam konteks pembangunan ekonomi dan social development, pejabat publik sering harus mengambil keputusan dalam kondisi uncertainty dengan information yang incomplete. Jika setiap keputusan yang kemudian terbukti tidak optimal dapat berpotensi dikriminalisasi tanpa mempertimbangkan mens rea, hal ini akan menciptakan bureaucratic paralysis yang dapat menghambat progress pembangunan nasional. Mahfud MD, dengan pengalaman sebagai Menko Polhukam, memahami betul kompleksitas decision-making dalam governance dan risiko overcriminalization terhadap fungsi pemerintahan.
Selain chilling effect, Mahfud MD juga mengidentifikasi risiko erosi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Ketika masyarakat melihat disconnect yang obvious antara legal findings (ketiadaan mens rea) dengan legal consequences (pidana penjara), hal ini dapat mengurangi legitimacy dari judicial process secara keseluruhan. Public confidence dalam rule of law merupakan foundation yang essential untuk democratic governance, dan ketika confidence ini terkikis, hal ini dapat mengancam stability dari keseluruhan sistem politik.
Mahfud MD juga menekankan risiko arbitrariness dalam law enforcement yang dapat terjadi ketika prinsip-prinsip fundamental seperti mens rea tidak diterapkan secara consistent. Jika courts dapat memvonis seseorang tanpa mens rea dalam satu kasus, hal ini membuka precedent untuk arbitrary application of law dalam kasus-kasus lain. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law yang merupakan cornerstone dari rule of law modern.
Rekomendasi Mahfud MD
Dalam rangka mengatasi gangguan metabolisme hukum yang diidentifikasi dalam kasus Tom Lembong, Mahfud MD telah memberikan beberapa indikasi tentang terapi yang diperlukan, meskipun tidak selalu dalam bentuk rekomendasi yang sistematis. Berdasarkan analisis terhadap berbagai pernyataannya, dapat diidentifikasi beberapa level intervensi yang dianggap necessary oleh Mahfud MD.
Pada level immediate, Mahfud MD mendorong upaya legal remedy melalui mekanisme banding dan kasasi. Hal ini merupakan bentuk detoksifikasi sistemik yang dapat mengoreksi kesalahan dalam putusan tingkat pertama. Mahfud MD tampaknya optimis bahwa higher courts akan memiliki better capacity untuk memproses prinsip mens rea dengan benar dan menghasilkan putusan yang lebih proportionate. Keyakinan ini mungkin didasarkan pada pengalaman bahwa judges di tingkat yang lebih tinggi umumnya memiliki expertise yang lebih advanced dan less susceptible terhadap local political pressures.
Pada level intermediate, implisit dalam kritik Mahfud MD adalah kebutuhan untuk judicial education dan capacity building untuk judges, khususnya dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip fundamental hukum pidana. Stagnasi mens rea yang terjadi dalam kasus Tom Lembong mungkin mencerminkan gap dalam pemahaman judicial tentang kompleksitas dalam corruption cases, khususnya yang melibatkan policy decisions. Enhanced training dan continuing education untuk judges dapat menjadi preventive measure untuk menghindari similar mistakes di masa depan.
Pada level struktural, meskipun tidak explicitly stated, perspektif Mahfud MD mengindikasikan kebutuhan untuk legal reform yang dapat provide more nuanced framework dalam corruption cases. UU Tipikor Indonesia yang current mungkin terlalu broad dan tidak adequately distinguish antara different types of corruption dengan different degrees of culpability. Reform yang dapat create gradation of offenses berdasarkan presence atau absence of mens rea, degree of personal enrichment, dan actual harm caused dapat membantu courts dalam menghasilkan more proportionate decisions.
Komparasi dengan Best Practices Internasional
Perspektif Mahfud MD terhadap kasus Tom Lembong dapat diperkaya dengan comparative analysis terhadap bagaimana jurisdiksi lain menangani similar issues. Dalam many developed democracies, terdapat clearer distinction antara criminal corruption dengan administrative violations, dengan different procedural requirements dan penalty structures. Sebagai contoh, dalam sistem hukum Inggris, prosecution untuk corruption cases membutuhkan proof of dishonest intent yang lebih stringent, sementara policy mistakes yang tidak melibatkan personal enrichment umumnya ditangani melalui administrative procedures rather than criminal prosecution.
Sistem hukum Singapura, yang sering dijadikan benchmark untuk good governance di Asia, memiliki framework yang lebih sophisticated dalam membedakan corruption cases berdasarkan amount involved, degree of premeditation, dan extent of personal benefit. Hal ini memungkinkan more proportionate responses yang consider contextual factors sambil tetap maintaining deterrent effect. Framework seperti ini mungkin dapat menjadi model untuk reform hukum korupsi Indonesia yang dapat address concerns yang diangkat oleh Mahfud MD.
Dalam konteks Eropa, prinsip proportionality telah menjadi cornerstone dalam criminal justice systems, di mana severity of punishment harus proportionate dengan gravity of offense dan degree of culpability. European Court of Human Rights telah repeatedly emphasized bahwa disproportionate punishment dapat constitute violation terhadap human rights, even dalam corruption cases. Perspektif ini aligned dengan concern Mahfud MD tentang disproportionality dalam putusan Tom Lembong. Dapat dipastikan bahwa, implikasi untuk "Reformasi Sistem Peradilan Indonesia" di dalam analisis terhadap perspektif Mahfud MD dalam kasus Tom Lembong memberikan insights yang valuable untuk broader reform agenda sistem peradilan Indonesia. Gangguan metabolisme hukum yang diidentifikasi dalam kasus ini mungkin tidak unique, tetapi reflective dari systematic problems yang membutuhkan comprehensive approach untuk resolution.
Pertama, perlu ada strengthening dalam judicial independence dan protection dari political pressures. Dalam corruption cases yang highly politicized, judges membutuhkan institutional support untuk dapat membuat decisions berdasarkan legal merits rather than popular expectations atau political considerations. Hal ini mungkin membutuhkan reform dalam judicial appointment processes, tenure protections, dan disciplinary mechanisms yang dapat ensure judicial accountability tanpa compromising independence.
Kedua, diperlukan development of more sophisticated legal frameworks yang dapat accommodate kompleksitas dalam modern governance. Distinction antara criminal conduct dengan policy mistakes perlu dibuat lebih clear dalam statutory provisions, dengan appropriate procedural safeguards untuk protect public officials yang act in good faith. Hal ini tidak berarti memberikan impunity kepada public officials, tetapi ensuring bahwa criminalization hanya terjadi ketika terdapat actual wrongdoing dengan sufficient degree of culpability.
Ketiga, perlu ada investment dalam judicial education dan capacity building yang dapat enhance kemampuan judges dalam menangani complex cases. Training programs yang focus pada application of proportionality principles, understanding of mens rea dalam different contexts, dan skills dalam balancing various competing considerations dapat membantu improve quality of judicial decisions. Collaboration dengan international judicial training institutions dapat menjadi beneficial dalam hal ini.
Perspektif Mahfud MD terhadap putusan Tom Lembong memberikan lens yang valuable untuk memahami gangguan metabolisme hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Stagnasi prinsip fundamental mens rea yang diidentifikasi dalam kasus ini bukan merely technical error, tetapi symptom dari broader systematic problems yang membutuhkan serious attention dari policy makers dan legal practitioners.
Kritik Mahfud MD terhadap putusan tersebut mencerminkan concern yang legitimate tentang direction dari law enforcement dalam Indonesia, khususnya dalam corruption cases. Balance antara effective anti-corruption efforts dengan protection of individual rights dan good governance principles merupakan challenge yang complex namun essential untuk addressed dalam democratic society. Kegagalan untuk maintain balance ini dapat menghasilkan outcomes yang counterproductive, di mana upaya pemberantasan korupsi malah menghambat effective governance dan mengikis public confidence dalam rule of law.
Moving forward, lessons learned dari kasus Tom Lembong, sebagaimana dianalisis melalui perspektif Mahfud MD, dapat menjadi catalyst untuk broader reform efforts yang aimed pada strengthening rule of law di Indonesia. Hal ini membutuhkan commitment dari various stakeholders, termasuk judiciary, legal profession, civil society, dan political leadership, untuk work collaboratively dalam addressing systematic weaknesses yang telah diidentifikasi. Only through such comprehensive approach dapat metabolisme hukum Indonesia dikembalikan kepada kondisi yang sehat dan dapat effectively serve the cause of justice dan good governance.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Parau
Senin, 1 September 2025 14:51 WIB
Mahmudat Ikhwanat Dipanggil Hamidah, Sebuah Anekdot Linguistik
Senin, 1 September 2025 14:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler