Pemerhati demokrasi dan politik lokal, mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, serta penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Ketika Bendera Luffy ‘Membajak’ Perayaan 17 Agustus

Rabu, 6 Agustus 2025 07:38 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Bendera merah putih bersanding dengan bendera Jolly Roger dari serial anime Jepang One Piece di Bandung, Jawa Barat, 3 Agustus 2025. Tempo/Prima Mulia
Iklan

Bendera Topi Jerami di Hari Kemerdekaan: simbol sunyi bahwa kebebasan sejati belum sepenuhnya kita genggam.

***

Agustus tiba, tak terasa sebentar lagi kemerdekaan Indonesia menginjak usia yang ke 80 tahun. Di sepanjang jalan, di gang-gang sempit hingga gedung-gedung megah, lautan Merah Putih berkibar. Sebuah ritual tahunan yang sakral, penanda bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat, bangsa yang telah merebut kemerdekaannya dengan darah dan air mata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, di tengah lautan merah-putih itu, sebuah anomali muncul. Sebuah bendera hitam dengan gambar tengkorak menyeringai, mengenakan topi jerami yang khas. Bendera Bajak Laut Topi Jerami dari serial One Piece.

Bagi sebagian orang, ini adalah tindakan kurang ajar. Sebuah lelucon yang tidak pada tempatnya. Penghinaan terhadap perjuangan pahlawan. Tapi jika kita berhenti sejenak dan bertanya, bukan dengan amarah, tapi dengan rasa ingin tahu, kita akan menemukan sebuah pesan yang jauh lebih dalam. Ini bukan kenakalan, ini adalah sebuah pemberontakan sunyi.

Ketika Tirani dalam Fiksi Terasa Sangat Nyata

Untuk memahami mengapa bendera bajak laut ini dikibarkan, kita tidak perlu membuka buku teori politik yang tebal. Cukup tonton atau baca One Piece. Serial ini bukan sekadar cerita tentang petualangan mencari harta karun. Ia adalah epos perlawanan terhadap kekuasaan absolut.

Lawan utama Monkey D. Luffy dan kawan-kawannya bukanlah bajak laut lain, melainkan Pemerintah Dunia (World Government). Sebuah rezim global yang di permukaan tampak menjaga “keadilan”, namun di baliknya busuk oleh korupsi, manipulasi sejarah, dan penindasan brutal oleh kaum elite bernama Naga Langit (Tenryuubito) yang merasa bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi.

Terdengar akrab?

Bagi semakin banyak anak muda di Indonesia, deskripsi Pemerintah Dunia itu terasa “terlalu nyata”. Ketika mereka melihat berita tentang koruptor yang dihukum ringan, pejabat yang memamerkan kemewahan di tengah kesulitan rakyat, atau hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, mereka tidak lagi melihatnya sebagai berita biasa. Mereka melihat cerminan dari rezim fiksi yang mereka benci.

Mengibarkan bendera Topi Jerami adalah sebuah sindiran telak. Pesannya sederhana: “Sistem yang kalian jalankan semakin mirip dengan musuh yang kami lihat di layar kaca. Jadi, siapa penjahatnya sekarang?”

Senjata Kaum yang Tak Punya Senjata

Sosiolog James C. Scott menyebut ini “Weapons of the Weak” atau Senjata Kaum Lemah. Ini adalah bentuk perlawanan dari mereka yang tidak punya kuasa untuk protes secara terang-terangan. Mengorganisir demonstrasi besar berisiko ditangkap. Menulis kritik tajam bisa berujung pada gugatan hukum.

Lalu apa senjata yang tersisa? Simbol.

Bendera One Piece adalah senjata yang brilian. Ia memiliki lapisan pelindung yang tebal: penyangkalan yang masuk akal (plausible deniability). Jika ada aparat yang bertanya, jawabannya mudah: “Saya cuma ngefans, Pak. Ini kan kartun”.

Namun, di antara sesama mereka yang paham, pesan itu sampai dengan keras dan jelas. Ini adalah kode rahasia, sebuah kedipan mata di tengah kerumunan yang menandakan, “Aku tahu, dan kamu tahu”. Ini adalah politik gerilya di ranah budaya, sebuah pemberontakan yang terjadi di pekarangan rumah, di tiang bendera, di sosial media, di bawah radar kekuasaan formal.

Mempertanyakan Ulang Arti “Merdeka”

Yang membuat fenomena ini semakin tajam adalah konteksnya: Hari Kemerdekaan. Momen ini memaksa kita untuk menabrakkan dua ide besar.

Di satu sisi, ada kemerdekaan yang dirayakan secara seremonial, bebas dari penjajah asing. Di sisi lain, ada cita-cita Luffy, sang kapten Topi Jerami. Ia tidak ingin menaklukkan dunia. Ia hanya ingin menjadi “orang yang paling bebas di lautan”.

Kebebasan versi Luffy bukanlah kebebasan untuk menindas, melainkan kebebasan dari penindasan. Kebebasan dari kelaparan, dari ketakutan, dari sistem yang tidak adil.

Dengan mengibarkan bendera Luffy di hari kemerdekaan bangsa, para pengkritik ini secara implisit bertanya: “Apakah kita sudah benar-benar bebas seperti yang Luffy impikan? Ataukah kita hanya berganti tuan, dari penjajah asing ke penindas dari bangsa sendiri?”

Pada akhirnya, bendera hitam itu bukanlah ancaman bagi Merah Putih. Ia adalah sebuah pertanyaan besar untuknya. Sebuah pengingat bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir yang sudah tercapai pada 1945, melainkan sebuah perjuangan tanpa henti.

Jadi, sebelum kita marah pada bendera tengkorak bertopi jerami itu, mungkin ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: mengapa mereka merasa perlu mengibarkannya?

Jangan-jangan, jawaban dari pertanyaan itulah yang seharusnya paling kita takuti.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ibrayoga Rizki Perdana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Demokrasi dalam Kepungan Asap

Senin, 1 September 2025 17:13 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler