Saya adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, dengan konsentrasi pada Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Selama menjalani studi, saya aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, baik intra maupun ekstra kampus, sebagai bagian dari proses pengembangan kapasitas diri dan kontribusi sosial. Dalam ranah organisasi intra kampus, saya terlibat di Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Bimbingan dan Penyuluhan Islam, khususnya di Departemen Keislaman. Keterlibatan ini memberi saya ruang untuk memperkuat pemahaman keagamaan dan nilai-nilai dakwah yang inklusif di lingkungan akademik. Di luar struktur organisasi kampus, saya merupakan kader aktif Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Komisariat UIN Jakarta dan saat ini mengemban amanah sebagai Bendahara Umum. Peran ini memperluas wawasan saya dalam advokasi sosial serta gerakan mahasiswa berbasis ideologi kerakyatan dan nasionalisme. Selain itu, saya juga cukup aktif dalam Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (Kompak), sebuah forum yang berfokus pada upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai bentuk kekerasan, baik dalam lingkup kampus maupun masyarakat luas. Keterlibatan saya dalam berbagai organisasi ini merupakan bentuk komitmen untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman, keilmuan, dan kemanusiaan dalam praktik nyata kehidupan mahasiswa.

Delapan Dekade Merdeka, Delapan Puluh Tahun Terjerat

Minggu, 10 Agustus 2025 20:48 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Hut RI 80
Iklan

Rakyat miskin terus terjebak, sementara elite menikmati “hasil” dari sistem yang rusak.

***

Delapan puluh tahun lalu, Indonesia berdiri tegak sebagai bangsa merdeka. Bendera Merah Putih dikibarkan dengan penuh haru, dan suara “Merdeka!” menggema di langit Nusantara. Tahun ini, kita akan merayakan HUT RI ke-80—sebuah usia yang matang untuk sebuah negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perjalanan panjang telah kita tempuh: mengusir penjajah, membangun infrastruktur, memperluas pendidikan, mengokohkan demokrasi, dan menempatkan diri sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Asia Tenggara. Semangat gotong royong, keberagaman budaya, dan tekad untuk bersatu adalah warisan yang patut bangsa ini banggakan.

Namun, di tengah gegap gempita perayaan, ada kenyataan lain yang tidak boleh kita abaikan: masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, bukan karena tak ada sumber daya, melainkan karena kemiskinan itu secara halus dipelihara oleh struktur sosial, ekonomi, dan politik yang ada.

Wajah Kejahatan yang dianggap Kebiasaan

Hannah Arendt, dalam teorinya banality of evil, menggambarkan bagaimana kejahatan besar dapat lahir dari tindakan orang-orang biasa yang sekadar “menjalankan tugas” tanpa berpikir kritis atau mempertanyakan moralitas dari sistem yang mereka layani. Ia menemukan hal ini ketika mengamati Adolf Eichmann, seorang birokrat Nazi, yang melakukan perannya dalam Holocaust bukan karena kebencian mendalam, melainkan karena kepatuhan terhadap perintah dan kebiasaan administrasi.

Konteks ini menemukan pantulannya di Indonesia. Banyak aparat, birokrat, dan bahkan sebagian warga, ikut serta secara sadar maupun tidak dalam mempertahankan kejahatan sistemik yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan struktural yang kemudian menjadikannya lingkaran setan. Misalnya, ketika masyarakat hidup dalam kemiskinan bertahun-tahun, mereka tidak hanya kehilangan uang, tapi juga kehilangan harapan bahwa sistem akan memberi mereka perubahan yang nyata.

Dalam kondisi seperti itu, janji-janji politik yang dibungkus dengan uang tunai saat musim pemilu terasa seperti “rezeki nomplok” yang jarang datang. Alih-alih melihatnya sebagai suap atau bentuk korupsi politik, banyak yang memandangnya sebagai “hak” atau “kesempatan” untuk setidaknya mendapat sesuatu kembali dari para politisi yang biasanya hanya datang saat kampanye. Inilah yang membuat praktik money politics menjadi normal di mata sebagian masyarakat miskin—bukan karena mereka tidak tahu itu salah, tapi karena sistem yang ada membuat mereka terbiasa bertahan hidup dari pemberian instan, bukan dari perubahan struktural yang berkelanjutan.

Kemudian para pejabat bermain peran melalui program bantuan sosial yang seharusnya memutus rantai kemiskinan, justru dipolitisasi untuk mempertahankan ketergantungan. Korupsi dana publik dianggap “uang rokok,” pungli dianggap “biaya maklum,” dan proyek-proyek pembangunan sering kali berhenti di papan nama peresmian.

Inilah banality of evil dalam wajah Indonesia modern: kejahatan yang tidak lagi bergema dalam bentuk kekerasan fisik massal, tetapi dalam bentuk kelalaian, kepatuhan, dan normalisasi ketidakadilan yang berjalan setiap hari.

Analisis Dialektis ala Marhaenisme

Jika kita melihat sejarah Indonesia pasca 1945 dari kacamata Marhaenisme—ideologi yang digagas oleh Soekarno—kondisi sosial-ekonomi hari ini bukan sekadar soal kemalasan rakyat atau kebobrokan moral individu. Justru, akar masalahnya jauh lebih dalam: ini adalah benturan kepentingan kelas yang telah berlangsung sejak awal berdirinya negara, bahkan jauh sebelum itu.

Marhaenisme berangkat dari keyakinan bahwa rakyat kecil (kaum Marhaen)—petani, buruh, nelayan, pedagang kecil—adalah penguasa sejati negeri ini. Mereka adalah tulang punggung yang menopang kehidupan bangsa, penyedia pangan, tenaga, dan jasa yang membuat negara ini tetap berjalan. Namun, dalam praktiknya, sejak proklamasi kemerdekaan hingga kini, sistem kekuasaan di negeri ini masih dikuasai oleh segelintir elite politik dan ekonomi yang dikenal dengan istilah oligarki.

Setelah kolonialisme Belanda tumbang, kita memang berhasil mengusir penguasa lama. Tetapi ruang kosong kekuasaan itu tidak serta-merta diisi oleh rakyat. Justru, kelas penguasa baru lahir dari kalangan terdidik, birokrat, dan pengusaha yang memiliki akses terhadap jaringan politik. Mereka menguasai jalur distribusi kekuasaan dan kebijakan publik, yang pada gilirannya memberi mereka kendali penuh atas sumber daya ekonomi, hukum, dan bahkan opini publik.

Kondisi ini menimbulkan sebuah pola yang berulang: rakyat kebanyakan tetap berada di posisi bawah, terjebak sebagai buruh murah, petani gurem, atau pedagang kecil dengan akses terbatas terhadap modal, teknologi, dan pasar. Sementara itu, kelas penguasa terus memperkuat cengkeramannya lewat regulasi, monopoli, dan kontrol media.

Setiap kali rakyat kecil mulai menunjukkan tanda-tanda perlawanan atau kesadaran kolektif—entah melalui serikat, gerakan mahasiswa, atau protes sosial—sistem politik dan ekonomi segera “mengatur ulang permainan”. Bisa melalui revisi undang-undang, represi aparat, atau kooptasi tokoh-tokoh gerakan. Semua ini bertujuan memastikan dominasi kelas penguasa tetap terjaga.

Inilah bentuk penindasan modern yang tidak selalu tampak kejam di permukaan. Tidak ada cambuk atau rantai seperti di masa kolonial, tetapi ada jebakan struktural yang membuat rakyat sulit sekali naik kelas. Kesenjangan ekonomi dan politik dipelihara dengan rapi, seakan menjadi bagian alami dari kehidupan bangsa.

Dalam kerangka dialektika historis, kemiskinan yang kita saksikan hari ini bukanlah kecelakaan atau nasib buruk, melainkan kemiskinan struktural—kemiskinan yang sengaja dibiarkan, bahkan dipelihara, demi menjaga kestabilan kekuasaan. Hannah Arendt pernah menyebut konsep banality of evil untuk menjelaskan bagaimana keburukan bisa terjadi secara rutin dan tanpa rasa bersalah, seolah itu hanya “bagian dari pekerjaan sehari-hari”.

Di Indonesia, banality of evil ini terlihat dalam birokrasi yang korup, aparat yang memeras rakyat kecil, masyarakat yang menormalisasikan praktik suap, atau pemerintah yang memelihara premanisme ormas. Semua itu berjalan tanpa ada rasa bersalah karena sistemnya memang mengizinkan, bahkan mendorong, perilaku seperti itu.

Marhaenisme mengajak kita melihat lebih dalam, menembus kabut moralitas semu yang sering dipakai untuk menyalahkan rakyat kecil. Ia mengungkap bahwa persoalan kita adalah pertarungan kelas yang belum selesai: kelas penguasa yang mempertahankan status quo, berhadapan dengan rakyat yang terus mencari ruang untuk menentukan nasibnya sendiri.

Artinya, solusi bukan sekadar memperbaiki perilaku individu atau memberi bantuan sesaat, melainkan mengubah struktur kekuasaan agar rakyat benar-benar menjadi penguasa di tanahnya sendiri. Tanpa itu, kemerdekaan hanya akan menjadi slogan, dan “penguasa sejati”—kaum Marhaen—tetap menjadi penonton di panggung sejarahnya sendiri.

Seruan Perlawanan

Delapan puluh tahun merdeka seharusnya cukup untuk memastikan setiap anak bangsa dapat hidup layak, berpendidikan, dan bebas dari jerat kemiskinan yang disengaja. Tetapi kemerdekaan sejati bukanlah hadiah yang datang dari langit—ia harus diperjuangkan, dikawal, dan dipertahankan setiap hari.

Apabila kita membiarkan ketidakadilan menjadi rutinitas yang tak dipertanyakan, maka kita sedang berjalan di jalan yang sama seperti yang diingatkan Hannah Arendt: membiarkan kejahatan menjadi banal. Maka, peringatan HUT RI ke-80 seharusnya bukan hanya seremoni pengibaran bendera, tetapi momentum untuk memutus rantai penindasan struktural, menumbuhkan kesadaran kelas, dan mengembalikan kemerdekaan ke tangan rakyat yang sebenarnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bung Jack

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Revolusi! Tak Ada Jalan Tengah!

Kamis, 4 September 2025 09:38 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler