Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.

Ketika Hukum Tetap dalam Perubahan, Paradoks Interpretasi di Era Digital

Jumat, 15 Agustus 2025 14:44 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
SINDOnews.com Eddy Hiariej, Wamenkumham Penyandang Gelar Profesor UGM di Usia 37 Tahun | Halaman Lengkap
Iklan

Bagaimana hukum mempertahankan prinsip-prinsip dasarnya sambil beradaptasi dengan realitas sosial yang berubah cepat?

 geotimes Ahmad Wansa Al-faiz, Pengarang GEOTIMES

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz

 


Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa konstitusi yang ditulis puluhan bahkan ratusan tahun lalu masih relevan di era digital ini? Atau bagaimana mungkin pasal-pasal hukum yang sama dapat menghasilkan putusan yang berbeda dalam konteks yang berbeda? Paradoks inilah yang menjadi jantung perdebatan hukum kontemporer: apakah hukum itu tetap atau berubah?

 Berkeadilan.com Prof. Eddy Hiariej: Pentingnya KUHAP Baru Berlandaskan Perlindungan HAM - Berkeadilan.com

Prof. Edy OS Hiariej, pakar hukum yang kini menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, menawarkan perspektif menarik melalui apa yang ia sebut "formula sosiologis alternatif." Menurutnya, hukum tidak berubah dalam nilai tetapnya, tetapi faktor realitas sosial menjadi sarana interpretasinya. Seperti matematika: angka 4 tetap 4, tapi konteks yang memberi makna pada angka itu bisa sangat beragam.

Matematika Hukum yang Tidak Sesederhana 1+1=2

Bayangkan hukum seperti persamaan matematika. Ada konstanta yang tidak berubah—prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, kepastian, dan perlindungan hak asasi. Namun ada juga variabel yang berubah sesuai konteks—interpretasi, implementasi, dan aplikasi dalam situasi konkret.

Ambil contoh sederhana: hak privasi. Sebagai prinsip, hak privasi tetap sama dari masa ke masa. Tapi bagaimana kita menginterpretasikan privasi di era surat-menyurat dengan privasi di era media sosial? Konstanta tetap sama, tapi variabel sosial mengubah cara kita memahami dan menerapkannya.

Prof. Hiariej menyebut ini sebagai "rasio-legal discourse"—percakapan antara logika hukum yang rigid dengan logika sosial yang dinamis. Bukan lah pertarungan yang harus dimenangkan salah satu pihak, melainkan dialog yang menghasilkan synthesis.

Ketika Realitas Sosial Menjadi Juru Bahasa Hukum

Dalam perspektif tradisional, hukum sering dipandang sebagai menara gading yang terpisah dari hiruk-pikuk kehidupan sosial. Hakim duduk di singgasana tinggi, menerapkan aturan dengan mekanis tanpa mempertimbangkan konteks sosial. Tapi pendekatan ini semakin tidak relevan di era yang berubah cepat.

Realitas sosial, menurut Hiariej, bukanlah pengganggu bagi hukum melainkan "juru bahasa" yang membantu menerjemahkan prinsip-prinsip abstrak ke dalam aplikasi konkret. Ketika teknologi blockchain mengubah cara kita bertransaksi, hukum kontrak tidak berubah prinsipnya, tapi cara kita menginterpretasikannya harus disesuaikan.

Ini bukan relativisme hukum yang sembarangan. Ada perbedaan mendasar antara "berubah karena angin" dengan "beradaptasi berdasarkan prinsip." Yang pertama adalah oportunisme, yang kedua adalah wisdom.

Dua Logika dalam Satu Sistem

Salah satu kontribusi menarik dari pemikiran Hiariej adalah konsep "rasio-logis" dan "sosio-logis kolektif." Rasio-logis adalah struktur berpikir yang mengutamakan konsistensi, koherensi, dan prediktabilitas. Sementara sosio-logis kolektif adalah cara masyarakat memahami dan menghayati norma-norma dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua logika ini tidak selalu sejalan. Rasio-logis mungkin menuntut penerapan hukum yang sama persis dalam semua kasus serupa. Tapi sosio-logis kolektif bisa menunjukkan bahwa konteks sosial, budaya, atau ekonomi membuat dua kasus yang tampak serupa sebenarnya sangat berbeda.

Ambil contoh kasus pencurian. Secara rasio-logis, pencurian adalah pencurian. Tapi sosio-logis kolektif membedakan antara pencurian oleh pengangguran yang kelaparan dengan pencurian oleh koruptor yang serakah. Hukum pidana tetap berlaku untuk keduanya, tapi cara interpretasi dan penerapan sanksinya bisa sangat berbeda.

Evolusi, Bukan Revolusi

Yang menarik dari formula Hiariej adalah penekanannya pada perubahan evolusioner, bukan revolusioner. Sistem hukum tidak perlu diubah total setiap kali ada perubahan sosial. Yang dibutuhkan adalah kemampuan interpretasi yang adaptif sambil mempertahankan kontinuitas dengan tradisi hukum yang sudah ada.

Ini seperti sungai yang mengalir. Airnya selalu berubah, tapi alur sungainya relatif tetap. Kadang ada erosi di sini-sini, kadang ada sedimentasi, tapi secara keseluruhan sungai tetap menuju muara yang sama.

Mahkamah Konstitusi Indonesia memberikan contoh yang bagus. Melalui judicial review, MK telah menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip konstitusional bisa dipertahankan sambil mengakomodasi perkembangan zaman. Putusan MK tentang UU ITE, misalnya, tetap menjaga prinsip kebebasan berekspresi tapi menyesuaikannya dengan realitas komunikasi digital.

Tantangan Era Digital

Era digital menghadirkan tantangan unik bagi sistem hukum. Kecepatan perubahan teknologi jauh melampaui kecepatan pembuatan undang-undang. Ketika legislators masih memahami media sosial, masyarakat sudah beralih ke metaverse. Ketika regulasi e-commerce baru selesai, masyarakat sudah bertransaksi dengan cryptocurrency.

Di sinilah pentingnya pendekatan interpretif yang adaptif. Daripada menunggu undang-undang baru untuk setiap perkembangan teknologi, sistem hukum perlu mengembangkan kemampuan untuk menginterpretasikan prinsip-prinsip yang sudah ada dalam konteks yang baru.

Tapi ini bukan carte blanche untuk interpretasi sembarangan. Hiariej menekankan pentingnya "principled flexibility"—fleksibilitas yang berdasarkan prinsip, bukan opportunistic adaptation.

Kritik dan Kekhawatiran

Tentu saja, pendekatan ini tidak tanpa kritik. Para formalis hukum khawatir bahwa terlalu banyak interpretasi akan mengancam kepastian hukum. Jika hukum bisa "berubah-ubah" interpretasinya, bagaimana masyarakat bisa memprediksi konsekuensi hukum dari tindakan mereka?

Kritik lainnya datang dari perspektif demokrasi. Jika hukum bisa berubah melalui interpretasi, bukankah ini menggerogoti peran legislatif yang dipilih secara demokratis? Mengapa hakim yang tidak dipilih rakyat bisa "mengubah" hukum melalui interpretasi?

Hiariej merespons kritik ini dengan menjelaskan bahwa interpretasi adaptif bukan substitusi dari proses demokratis, melainkan pelengkap yang memungkinkan kehendak demokratis diimplementasikan secara efektif dalam kondisi yang berubah. Interpretasi tetap harus terikat pada prinsip-prinsip konstitusional dan legislative intent yang ditetapkan secara demokratis.

Implikasi untuk Pendidikan Hukum

Pendekatan ini juga berimplikasi pada cara kita mendidik calon lawyer. Pendidikan hukum tradisional yang terlalu menekankan hapalan doktrin perlu dilengkapi dengan kemampuan analisis kontekstual. Mahasiswa hukum tidak cukup hanya menguasai pasal-pasal, tapi juga harus memahami bagaimana pasal-pasal itu berinteraksi dengan realitas sosial.

Ini berarti integrasi metode empiris, studi komparatif, dan pendekatan interdisipliner dalam kurikulum hukum. Lawyer masa depan harus mampu berpikir seperti sociologist, economist, dan technologist sambil tetap mempertahankan rigir legal reasoning.

Praktik Hukum yang Kontekstual

Bagi praktisi hukum, formula sosiologis alternatif mengimplikasikan pentingnya memahami konteks sosial dari klien dan kasus yang ditangani. Lawyer tidak bisa lagi bersembunyi di balik interpretasi literal dari teks hukum. Mereka harus mampu berargumentasi mengapa interpretasi tertentu lebih tepat dalam konteks sosial yang spesifik.

Ini juga berarti pentingnya continuing education untuk mengikuti perkembangan sosial dan teknologi yang bisa mempengaruhi interpretasi hukum. Lawyer yang tidak update dengan perkembangan zaman akan kesulitan memberikan advice yang relevan.

Masa Depan Hukum yang Responsif

Ke depan, sistem hukum Indonesia menghadapi pilihan strategis. Akankah kita mempertahankan pendekatan formalistik yang rigid tapi predictable, atau bergerak menuju pendekatan yang lebih adaptif tapi berpotensi uncertain?

Formula sosiologis alternatif Prof. Hiariej menawarkan jalan tengah yang menarik. Sistem hukum tidak perlu memilih antara stability dan adaptability. Keduanya bisa dicapai secara bersamaan melalui framework yang tepat.

Yang dibutuhkan adalah institutional safeguards yang memastikan bahwa interpretasi adaptif tetap principled dan accountable. Transparency dalam reasoning judicial, participatory process dalam law-making, dan continuous monitoring terhadap impact sosial dari legal decisions.

Pembelajaran dari Kasus Konkret

Pengalaman Indonesia dengan berbagai kasus hukum kontemporer memberikan pelajaran berharga. Kasus hate speech di media sosial menunjukkan bagaimana prinsip kebebasan berekspresi harus diinterpretasikan dalam konteks digital yang memungkinkan viral spread dengan damage yang massive.

Kasus fintech dan cryptocurrency menunjukkan bagaimana prinsip perlindungan konsumen dan financial stability harus diadaptasi untuk teknologi yang tidak ada ketika undang-undang perbankan pertama kali dibuat. Kasus ride-sharing menunjukkan bagaimana definisi "transportasi umum" harus diperluas untuk mengakomodasi model bisnis baru.

Dalam semua kasus ini, yang berubah bukan prinsip dasarnya—perlindungan konsumen, keselamatan publik, fair competition—tapi cara kita menginterpretasikan dan menerapkan prinsip-prinsip itu dalam konteks baru.

Peran Masyarakat dalam Interpretasi Hukum

Salah satu aspek menarik dari pendekatan Hiariej adalah pengakuannya terhadap peran masyarakat dalam proses interpretasi hukum. Hukum bukan monopoly para ahli hukum. Masyarakat sebagai subjek dan objek hukum juga memiliki voice dalam menentukan bagaimana hukum harus diinterpretasikan.

Ini tidak berarti populisme hukum yang mengikuti sentiment mayoritas tanpa pertimbangan prinsip. Tapi partisipasi masyarakat yang informed dan structured dalam proses interpretasi dan implementation hukum.

Public hearing, citizen consultation, dan participatory policy-making menjadi mekanisme penting untuk mengintegrasikan social input dalam proses hukum. Teknologi digital memberikan tools yang powerful untuk memfasilitasi partisipasi ini secara massive dan efficient.

Globalisasi dan Harmonisasi Hukum

Tantangan lain adalah bagaimana mengintegrasikan interpretasi adaptif dalam konteks lokal dengan kebutuhan harmonisasi hukum dalam era globalisasi. Indonesia tidak bisa menginterpretasikan hukum perdagangan internasional atau hukum HAM secara isolatif tanpa mempertimbangkan standard dan practices internasional.

Di sini diperlukan multilevel interpretation—kemampuan untuk mengintegrasikan local wisdom dengan global standards. Prinsip universality dengan cultural specificity. Hal ini memerlukan sophisticated understanding tentang hierarchy of norms dan interplay antara domestic dan international law.

Teknologi sebagai Enabler

Artificial Intelligence dan big data analytics memberikan opportunities baru untuk legal interpretation yang lebih evidence-based. Ketimbang mengandalkan intuisi atau precedent yang limited, sistem hukum bisa menggunakan data untuk memahami impact sosial dari different interpretive choices.

Predictive analytics bisa membantu memperkirakan consequences dari interpretasi tertentu. Natural language processing bisa membantu menganalisis consistency interpretasi across different cases dan institutions. Blockchain technology bisa memastikan transparency dan immutability dalam legal reasoning process.

Tapi teknologi adalah tool, bukan substitute untuk human judgment. Wisdom, empathy, dan understanding terhadap human condition tetap essential dalam legal interpretation yang meaningful.

Tantangan Implementation

Tantangan terbesar dari formula sosiologis alternatif adalah implementation. Mudah untuk membicarakan principled flexibility dalam level teoretis, tapi bagaimana memastikan hal ini terjadi secara consistent dalam thousands of courts, administrative agencies, dan legal institutions di seluruh Indonesia?

Diperlukan massive training program untuk judges, prosecutors, lawyers, dan civil servants. Legal education curriculum perlu diredesign. Performance indicators untuk legal institutions perlu disesuaikan. Public awareness tentang rights dan responsibilities dalam sistem hukum yang adaptif perlu ditingkatkan.

Yang tidak kalah penting adalah political will dari leadership untuk mendukung approach ini. Legal reform sering kali menghadapi resistance dari vested interests yang benefit dari status quo. Diperlukan coalition building yang kuat antara akademisi, practitioners, civil society, dan policy makers.

Refleksi untuk Demokrasi Indonesia

Pada akhirnya, perdebatan tentang interpretasi hukum adalah perdebatan tentang karakter demokrasi Indonesia. Apakah kita menginginkan sistem yang rule-bound tapi potentially rigid, atau system yang adaptive tapi potentially unpredictable?

Formula sosiologis alternatif Prof. Hiariej menawarkan synthesis yang promising: sistem hukum yang principled tapi responsive, stable tapi adaptive, predictable dalam framework-nya tapi flexible dalam application-nya.

Ini bukan easy solution. Memerlukan institutional maturity, professional competence, dan civic engagement yang tinggi. Tapi jika berhasil, ini bisa menjadi model untuk sistem hukum yang truly responsive terhadap kebutuhan masyarakat dalam era perubahan yang rapid.

Menuju Hukum yang Hidup

Konsep "living law" bukanlah new concept dalam jurisprudence. Tapi di era digital dan global connectivity, konsep ini mendapat urgency dan complexity yang baru. Hukum harus hidup bukan hanya dalam sense berinteraksi dengan masyarakat, tapi juga dalam sense mampu beradaptasi dengan speed of change yang unprecedented.

Prof. Hiariej memberikan contribution penting dalam theoretical framework untuk memahami bagaimana adaptasi ini bisa terjadi tanpa sacrificing fundamental principles yang menjadi foundation dari rule of law. Formula sosiologisnya memberikan roadmap untuk navigating complexity ini dengan principled approach.

Yang diperlukan sekarang adalah political will dan institutional commitment untuk mengimplementasikan framework ini secara systematic dan consistent. Tidak mudah, tapi certainly worthwhile untuk masa depan sistem hukum Indonesia yang lebih responsive dan effective.

Kita tidak bisa lagi mengabaikan realitas bahwa dunia berubah dengan kecepatan yang tidak pernah ada sebelumnya. Sistem hukum yang tidak mampu beradaptasi akan menjadi obsolete dan irrelevant. Tapi adaptasi yang tidak berprinsip akan menghasilkan chaos dan arbitrariness.

Formula sosiologis alternatif menawarkan jalan untuk menghindari kedua extreme ini. Hukum yang tetap dalam prinsipnya, adaptif dalam interpretasinya, dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat yang terus berevolusi.


Penulis adalah pengamat hukum dan kebijakan publik. Tulisan ini merupakan refleksi terhadap perkembangan pemikiran hukum kontemporer Indonesia dan tantangan-tantangannya di era digital.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontributor Pojok Desa

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Parau

Senin, 1 September 2025 14:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler