Kala Kekuasaan Melindungi Dirinya Sendiri

9 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Demokrasi
Iklan

Represi bukanlah kecelakaan tapi fitur kelangsungan kapitalisme. ***

Pekan lalu, yel-yel perlawanan bergema di jalanan di seluruh penjuru Indonesia--pelajar dan mahasiswa serta buruh bersatu dalam amarah. Tapi manakala malam tiba suara-suara solidaritas itu tenggelam di antara semburan asap dari gas air mata dan ayunan pentungan polisi, yang mengingatkan pada satu hal ini: bahwa kekuasaan akan melindungi dirinya lebih dulu.

Bukan hanya itu. Respons Presiden Prabowo Subianto--menepis rasa frustrasi, mengabaikan kesulitan hidup mayoritas rakyat, dan menyempitkan ruang kebebasan--jadi mengaburkan sebab musabab timbulnya demonstrasi. Yang menongol dengan jelas justru perintahnya kepada tentara dan polisi untuk menindak protes yang dilabelinya sebagai “anarkis”, “makar”, dan “terorisme”, sebuah sinyal bahwa pemerintahannya memilih memprioritaskan stabilitas bagi investor (oligark, kapitalis) ketimbang akuntabilitas demokratis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai tindakan menuruti perintah presiden, polisi telah menahan sejumlah orang dan menjadikan mereka tersangka kasus penghasutan. Jauh dari tujuan keadilan, penangkapan serampangan ini adalah taktik intimidasi--satu peringatan yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa jeri, dan yang sangat boleh jadi bakal berlanjut.

Pada intinya, konflik ini menghadapkan dua pihak yang saling berlawanan: elite politik dan kapitalis di satu pihak, dan mahasiswa, buruh, petani, dan kaum miskin kota di pihak lain. Tujuan pihak yang terakhir ini untuk turun ke jalan sebetulnya jelas: demi meminta transparansi, reformasi, dan empati. Maka, represi merupakan konflik kelas yang diteruskan dengan cara-cara lain, sebuah upaya untuk melindungi kepentingan elite.

Polisi dan tentara bukan cuma pelaksana ketertiban umum yang netral; mereka sendiri merupakan bagian dari blok penguasa. Kedua institusi ini sejak lama terlibat dalam kegiatan ekonomi--dari konsesi lahan hingga pengamanan sumber daya alam--yang memberi mereka kepentingan langsung dalam mempertahankan status quo. Manakala mereka memukuli dan menghalau demonstran di jalanan, mereka bukan saja melindungi otoritas presiden tapi juga menjaga kepentingan mereka sendiri dalam kapital dan kendali.

Tetapi angkatan yang memegang senjata hanya satu bagian saja dari mesin yang lebih besar. Sebagai negara, meski secara formal mengklaim sebagai demokrasi, Indonesia bekerja dengan logika kapitalisme: untuk pertumbuhan terus-menerus, akumulasi modal, dan maksimalisasi profit, tak peduli kerusakannya bagi masyarakat dan ekologi.

Agar tujuan-tujuan tersebut bisa terus dicapai, sebagaimana yang telah terjadi di sepanjang sejarah kapitalisme, perlawanan--atau bahkan indikasi kecil adanya gerakan antikapitalisme--harus direpresi. Terkait dengan hal ini, timbulnya otoritarianisme sama sekali bukan suatu kecelakaan; ia bersifat struktural, menyangkut bagaimana modal dikelola, terutama di negara yang ekonominya bergantung pada sumber daya alam.

Sistem ini menghasilkan kontradiksi-kontradiksi yang muram, jauh dari janji-janji indah para elite. Alih-alih kesetaraan, ketimpangan malah melebar; apa yang timbul bukanlah kepemilikan dan pengakuan atas hak milik, tapi perampasan; dan yang terjadi bukanlah pelestarian, melainkan penghancuran ekologi.

Sejarah memperlihatkan reformasi seperti New Deal pada suatu kali memang meredakan hantaman-hantaman kapitalisme. Tapi pemunduran yang dilakukan neoliberalisme sejak 1970-an telah menggerogoti keuntungan-keuntungan yang didapat, menimbulkan alienasi yang dieksploitasi banyak pemimpin di dunia melalui pengambinghitaman dan otoritarianisme.

Krisis Indonesia tidak khas. Di seluruh dunia, para elite mengerahkan tindakan pembatasan dan otoritarianisme untuk melindungi kekayaan dan pengaruh mereka. Bagi mereka, ini soal keberlangsungan, di atas penderitaan banyak orang.

Apa yang terjadi di jalanan itu lebih dari bentrokan antara demonstran dan polisi; ia merupakan permukaan dari konflik yang lebih dalam antara kaum mayoritas yang menanggung biaya pembangunan Indonesia dan kelompok minoritas yang justru meraup keuntungan dari kegiatan itu. Letupan gas air mata mungkin membungkam massa untuk sementara, tapi ia tak dapat menyembunyikan kebenaran yang suaranya terus mengencang setiap hari: kecuali kita mengonfrontasi kapitalisme yang menuntut kekerasan negara agar bisa bertahan, demokrasi tetap akan jadi slogan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

4 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua