Mental Illness: Luka Batin yang Sering Tak Terlihat
6 jam lalu
Bayangkan seseorang tersenyum di hadapan banyak orang, bercanda dengan penuh keriangan, tetapi di balik itu itu hatinya diliputi kehampaan.
***
Wacana ini ditulis oleh Lisa Maharani Rizki, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Naila Al Madina, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Bayangkan seseorang tersenyum di hadapan banyak orang, bercanda dengan penuh keriangan, tetapi di balik itu hatinya diliputi kehampaan yang dalam. Inilah wajah mental illness, sebuah luka batin yang tak kasat mata namun nyata keberadaannya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan hampir satu dari empat orang di dunia pernah mengalami gangguan mental sepanjang hidupnya (WHO, 2021).
Sayangnya, stigma masih begitu kuat melekat. Tidak sedikit yang menganggap gangguan mental hanya cerminan kurang iman atau tanda kelemahan pribadi. Padahal, seperti ditekankan oleh Nasir & Muhith, gangguan mental bukanlah kelemahan karakter, melainkan kondisi medis yang membutuhkan penanganan serius (2011: 25). Gangguan ini memiliki beragam bentuk, mulai dari depresi, kecemasan, bipolar, hingga skizofrenia. Di Indonesia sendiri, angka depresi cukup mengkhawatirkan, yakni 6,1 persen penduduk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang (Riskesdas, 2018).
Depresi kerap disalahartikan sebagai sekadar kesedihan. Faktanya, depresi dapat merampas energi, mematikan semangat hidup, bahkan memunculkan keinginan untuk mengakhiri kehidupan. WHO mencatat bahwa depresi kini menjadi penyebab utama disabilitas di seluruh dunia (Kessler et al., 2007). Gangguan kecemasan tidak kalah melelahkan. Gejalanya bisa berupa serangan panik, detak jantung yang berpacu, hingga rasa takut yang datang tanpa alasan dan melumpuhkan aktivitas sehari-hari. American Psychiatric Association (2013) menegaskan bahwa kecemasan kronis dapat mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan rutinitas hidup seseorang.
Selain faktor internal, lingkungan sosial berkontribusi besar dalam memperburuk kondisi mental. Tekanan ekonomi, diskriminasi, hingga perundungan menjadi pemicu yang signifikan. Sebuah penelitian lokal menunjukkan bahwa remaja korban perundungan memiliki risiko dua kali lebih tinggi mengalami depresi dibanding remaja lain (Setiawan, 2019). Pertanyaannya, mengapa mental illness kerap disebut luka batin yang tak terlihat? Ada setidaknya tiga alasan. Pertama, gejalanya tidak tampak jelas.
Berbeda dengan penyakit fisik, seorang penderita bisa terlihat “baik-baik saja” meskipun batinnya tengah berkecamuk. Kedua, stigma sosial yang begitu kuat. Survei Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari 70 persen penderita gangguan mental di Indonesia enggan mencari pertolongan medis karena takut dicap negatif (Kemenkes RI, 2019). Ketiga, keterbatasan layanan kesehatan. Rasio psikiater di Indonesia hanya 0,3 per 100.000 penduduk, jauh dari standar yang direkomendasikan WHO (2020). Akibatnya, banyak penderita tidak memperoleh layanan yang memadai.
Meski demikian, harapan tetap ada. Literasi kesehatan mental yang diperkenalkan sejak usia sekolah dapat mengubah cara pandang generasi muda terhadap isu ini. Keluarga dan masyarakat juga dapat menjadi ruang aman apabila bersedia mendengar tanpa menghakimi. Seorang konselor mengingatkan, kadang yang paling menyembuhkan bukanlah nasihat panjang, melainkan kesediaan telinga untuk mendengar (Handayani, 2020: 44). Mental illness memang tidak selalu terlihat, namun dampaknya sungguh nyata.
Mereka yang mengalaminya bukan hanya berjuang melawan dirinya sendiri, tetapi juga menghadapi stigma sosial serta keterbatasan sistem layanan kesehatan. Karena itu, penting bagi kita untuk berhenti menganggap gangguan mental sebagai aib.
Empati sederhana bisa menjadi penyelamat. Seorang penyintas berkata bahwa sekadar hadir mendampingi orang yang tengah berjuang sudah cukup berarti untuk menyalakan kembali harapan (Into the Light Indonesia, 2022). Dengan membuka hati, kita dapat membantu mereka perlahan keluar dari luka batin yang tak terlihat, menuju kehidupan yang lebih layak, sehat, dan bermakna.
Corresponding Author: Lisa Maharani Rizki
(email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menjaga Kesehatan di Era Digital
3 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler