Manusia yang masih mencari jati diri karena ketertarikannya pada isu anak, keluarga, komunitas, dan pemberdayaan. Berhasil dalam perjuangan memperoleh pengalaman dan pengetahuan di jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Dalam proses belajar dan menjadi manusia yang utuh
Ketika Pendidikan Tak Lagi Mendidik Hati Anak-Anak Kita
11 jam lalu
Masyarakat kehilangan empati karena sekolah hanya menilai angka, bukan nurani. Kita butuh pendidikan yang lebih manusiawi.
***
Belakangan ini, kita sering disuguhi berita tentang generasi muda yang tampak acuh terhadap penderitaan orang lain. Dari perundungan di sekolah hingga komentar dingin di media sosial, banyak yang menunjukkan tanda-tanda menurunnya empati dan kepekaan moral. Fenomena ini tidak bisa hanya dilihat sebagai gejala sosial semata. Ia bisa jadi cermin dari sesuatu yang lebih mendasar: adanya kekosongan moral dalam sistem pendidikan kita.
Apakah mungkin krisis moral masyarakat modern berakar dari pendidikan yang kehilangan jiwa? Mungkin iya. Sebab, sekolah sering kali lebih sibuk menyiapkan anak untuk “berhasil” secara akademik daripada untuk menjadi manusia yang peduli.
Ketika Prestasi Menggantikan Empati
Obsesi terhadap prestasi telah menggantikan empati dengan ambisi. Anak-anak sejak dini didorong untuk menjadi “yang terbaik”, bukan “yang bermanfaat.” Mereka belajar bersaing, bukan bekerja sama. Pola pikir ini terbawa hingga dewasa, ketika banyak orang lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada tanggung jawab sosial.
Sekolah yang hanya memuji nilai tinggi tanpa menumbuhkan rasa welas asih, pada dasarnya sedang menormalisasi keegoisan sebagai tanda keberhasilan. Siswa yang seharusnya berkembang menuju pemikiran etis justru terjebak dalam tahap penalaran moral yang dangkal—berpikir demi diri sendiri, bukan demi kebaikan bersama.
Hilangnya Imajinasi Moral
Selain itu, ada masalah yang lebih tak terlihat yaitu, ketiadaan imajinasi moral. Dunia kini menghadapi krisis global—ketimpangan, konflik, dan kerusakan lingkungan—yang membutuhkan kreativitas moral, bukan sekadar kecerdasan teknis. Namun, sistem pendidikan jarang mengajarkan anak-anak untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan penuh kasih.
Padahal, seperti yang ditegaskan filsuf Martha Nussbaum, kemampuan membayangkan diri di posisi orang lain—atau yang disebut imajinasi naratif—adalah dasar dari empati dan kewarganegaraan etis. Tanpa kemampuan ini, kita tumbuh menjadi manusia yang pintar menghitung, tetapi miskin rasa. Akibatnya, ketidakadilan dan penderitaan orang lain tampak seperti sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang perlu diperjuangkan.
Ketika Pendidikan Kehilangan Tujuan Kemanusiaan
Kondisi ini juga berakar dari cara kita membingkai tujuan pendidikan. Anak-anak didorong untuk “belajar demi pekerjaan,” bukan “belajar demi kehidupan yang bermakna.” Pandangan ini melahirkan generasi yang menilai segalanya—termasuk hubungan, etika, dan waktu—berdasarkan untung rugi. Akibatnya, masyarakat pun menjadi transaksional: eksploitasi terasa normal, dan altruisme dianggap naif.
Psikolog Viktor Frankl pernah menulis bahwa makna hidup, bukan kesenangan atau kekuasaan, adalah sumber motivasi terdalam manusia. Ketika pendidikan hanya menawarkan tujuan sementara seperti gaji dan status, ia merampas makna dari proses belajar itu sendiri. Kekosongan spiritual yang muncul kemudian diisi oleh ambisi dangkal—mengejar kesuksesan yang dapat diukur, tetapi tidak dirasakan.
Mengembalikan Moralitas ke Ruang Belajar
Untuk keluar dari krisis ini, pendidikan harus kembali menempatkan moralitas di jantung proses belajar. Sekolah perlu menjadi ruang yang mengajarkan empati melalui pengalaman nyata—seperti keterlibatan di lingkungan sekitar, refleksi, dan dialog lintas perspektif. Pengetahuan seharusnya dihubungkan kembali dengan kepedulian, agar siswa tumbuh menjadi warga negara yang berpikir etis, bukan sekadar efisien.
Pendidikan yang bermoral tidak memaksakan nilai, tetapi menumbuhkan hati nurani. Seperti kata pepatah, masyarakat tidak berubah ketika undang-undang diperbarui, tetapi ketika hati manusia dididik ulang.
Pendekatan ini juga sejalan dengan Etika Kepedulian, yang menekankan bahwa moralitas sejati lahir dari hubungan manusia—dari empati dan perhatian terhadap orang lain. Dengan menumbuhkan nilai-nilai ini, baik di sekolah, keluarga, maupun lingkungan sekitar, kita bisa membentuk generasi yang tidak hanya cerdas dan kompeten, tetapi juga memiliki kompas moral untuk memanusiakan manusia lain.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Masa Depan Anak Tidak Seharusnya Ditentukan oleh Dompet Orang Tua
Kamis, 2 Oktober 2025 21:09 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler