x

Nelayan lakukan tarian tradisional selama upacara Petik Laut di Pasuruan, Jawa Timur, 4 Agustus 2014. (Robertus Pudyanto/Getty Images)

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gaib yang Bersiap Raib?

Setiap tradisi punya kepercayaan gaib. Kini bersiap raib dalam arus rasionalitas modernisasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi Anda yang pernah membaca twitter saya, tulisan ini mungkin sudah kedengaran akrab. Saya tertarik untuk mengisahkannya kembali karena selain isinya yang dijamin unik, juga lantaran memang saya punya kenangan tersendiri terkait fenomena tersebut. Fenomena? Ya, kini saya akan menuturkan perihal satu fenomena masyarakat Bali yang berakar dari kepercayaan turun temurunnya, yaitu kemampuan ilmu hitam, atau bahasa bekennya (saya kira dia lebih kedengaran serem dibandingkan keren): black magic.

Setiap kebudayaan, terutama pada etnis yang masih menyisakan—ataupun mencoba mempertahankan—kepercayaan lokalnya di tengah arus besar keagamaan di dunia, pastilah memiliki keyakinan akan kekuatan-kekuatan gaib. Termasuk juga Bali.  Di sini, ilmu hitam sudah ibarat rahasia umum. Bahkan sewaktu usia saya masih SMP, jauh sebelum siaran reality show ‘Dunia Lain’ ataupun semacamnya, di Bali telah terdapat sebuah tayangan televisi yang secara terang-terangan memunculkan sosok-sosok pelaku ilmu hitam—atau lebih sering disebut ‘leak’. Bayangkan, acara itu pun konon merekam pula proses transformasi seorang penganut ilmu hitam dari sosok manusia menjadi mahluk menyeramkan, dengan muka mengerikan, taring panjang, rambut awut-awutan, dan bertubuh jangkung kurus sebagaimana tokoh calonarang yang Anda ketahui lewat tari barong yang turistik itu. Sejujurnya, saya tidak pernah berani menyaksikan tayangan tersebut. Hanya ayah saya yang doyan jahil itu selalu menceritakannya semata untuk menakut-nakuti anak ingusan macam saya ini. Maksudnya sih bercanda. Tapi imajinasi saya terlalu liar, sehingga penggambaran sosok makhluk itu terbayang sampai bermalam-malam. 

Meskipun meyakini praktik ilmu hitam itu benar-benar ada, namun saya kira tidak seluruh orang Bali pernah melihatnya secara langsung. Saya pun jelas tidak terlalu kompeten untuk memaparkannya lebih lanjut. Pertama, saya bukan pelaku ilmu hitam. Kedua, saya memang tak pernah menyaksikan ‘leak’ dalam kenyataan (ya Tuhan, semoga pula saya tidak dipertemukan dengannya). Namun bila Anda benar-benar ingin tahu, satu esai dari Putu Setia, atau yang sekarang dikenal dengan nama pendeta Mpu Jaya Prema Ananda, bisa menjadi referensi yang menarik. Saya bahkan masih terpingkal-pingkal bila mengingat tulisan tentang leak pada buku 'Menggugat Bali' yang dibuatnya. Pasalnya, dia menuliskan peristiwa jenaka perihal kasus pencurian vanili di Tabanan dengan modus penyamaran leak yang akhirnya terbongkar. Saya ketawa membayangkan betapa setelah lari tunggang langgang, leak gadungan itu pun berhasil ditangkap dan dipentung warga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Barangkali itulah cerita tentang leak paling lucu yang saya ketahui. Percaya atau tidak, sampai sekarang orang Bali ternyata masih meyakini bahwa praktik ilmu hitam ini benar-benar ada, sebagaimana yang dituturkan oleh teman kos saya yang baru pulang dari kampung halamannya nun di pedalaman pulau Bali. Kira-kira beginilah kisahnya.

Katanya—sekali lagi, katanya—ada dua jenis ilmu gaib yang berkembang di Bali. Satunya ialah penengen, atau golongan kanan dengan kemampuan magis menyembuhkan. Kebanyakan penganutnya berprofesi sebagai dukun maupun balian, yang selalu didatangi masyarakat yang ingin mengetahui berbagai hal seputar dunia niskala atau gaib. Golongan kedua ialah 'ekstrimis' kiri, kaum ilmu hitam dengan jurus-jurus mencelakakan orang. Satu di antara jurus itu disebut cetik, yakni ilmu meracun yang ampuh tak tertandingi.

Nah, kebetulan salah satu sepupu teman kos saya ini amat percaya pada kegaiban-kegaiban macam itu. Dia sampai tidak berani makan di warung-warung biasa lantaran cemas dicetik mati. Akibatnya, sepupu yang juga merantau bekerja di Denpasar itu memilih pergi ke restoran cepat saji seperti KF* atau M*D daripada makan di warung pinggir jalan atau yang dibuka oleh orang-orang Bali. Alasannya menurut saya kocak sekali. Katanya: bukankah ilmu para leak itu tercipta jauh sebelum munculnya bisnis waralaba? Maka pastilah ilmu itu tidak akan sampai ke sajian-sajian tersebut….

Oke, itu mungkin alasan yang cukup rasional untuk membantah anggapan perihal guna-guna cetik yang irasional tadi. Namun, tetap saja tindakannya bagi saya terasa tidak rasional betul. Pasalnya, bukankah leak hanya hidup di waktu dulu, tatkala pola masyarakat masih sangat tradisi? Saya jadi ingat geguyon dari almarhum cendikiawan Bali, Usadi Wiryatnaya, bahwa leak hanya muncul di kala gelap dan menari-nari di persimpangan jalan pada tengah malam. Sekarang Bali sudah penuh lampu. Nyaris tidak ada tempat gelap kecuali di hutan yang nun di pelosok gunung sana. Bahkan perempatan jalan pun kini dipenuhi anak muda yang doyan nongkrong sampai pagi. Artinya kurang lebih: leak Bali sudah teralienasi...

Ketika saya ungkapkan pendapat itu, eh, teman kos saya malah membantah kuat-kuat.

"Enggak begitu! Sekarang guna-guna bisa ditempatkan di mana saja, termasuk handphone, kursi, lemari, TV, motor ataupun mobil..."

Saya pun terperangah. Apa betul leak Bali sudah bertransformasi mengikuti kemajuan?

"Contohnya begini," teman saya melanjutkan penuh semangat. "Dua bulan lalu, paman saya tukar tambah mobil baru. Tetangganya suatu hari datang menjenguk untuk melihat kondisi mobil itu. Mereka ngobrol biasa saja, tidak ada masalah apa-apa. Kemudian entah mengapa, setiap kali dikendarai, mobilnya selalu oleng dan sampai pernah bikin celaka!"

"Pamanmu beli mobil bekas kali. Jadi onderdilnya ada yang macet..."

"Bukan! Sudah beberapa kali dibawa ke bengkel, katanya mobil tidak ada masalah. Tidak ada yang rusak."

"Terus?"

"Pamanku datang ke balian untuk minta petunjuk. Dan memang betul, mobil itu sudah diguna-guna!"

"Masa?" saya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut.

"Dan, balian menyebut ciri-ciri pelakunya. Orangnya tinggi, berambut putih. Juga masih kerabat dekat. Jadi, memang benar, tetangga itulah yang melakukannya..."

"Lha, kenapa menyimpulkan begitu? Bukankah balian tidak pernah sebutkan nama pelakunya? Ada banyak orang yang punya ciri-ciri begitu kan?"

Teman kos saya masih juga bersikeras meyakini pendapatnya benar. Kalau sudah begini, saya cuma bisa ehem-ehem saja. Membantah pun tak ada gunanya.

Saya nyaris tidak bisa mempercayai bahwa leak sudah benar-benar bertransformasi secanggih itu. Saya memang meyakini bahwa ada energi yang tidak terpahami di alam raya ini. Apakah itu kuasa Tuhan ataupun daya kekuatan lainnya, saya pun tidak dapat memastikannya. Daya rasional kita masih belum bisa menjelaskan segala hal. Namun, bukan berarti saya juga mempercayai tahayul gaib seperti ini. Berpegang pada tahayul adalah hal yang sangat tidak rasional. Namun berpedoman sepenuhnya pada rasionalitas juga adalah tahayul baru.

Ilmu gaib adalah bagian dari memori kolektif orang Bali. Ia lekat dengan kepercayaan tradisi, yang sekarang diperjuangkan untuk dipertahankan di tengah arus kemodernan dan globalisasi yang menggempur pulau ini. Hal ini, suka atau tidak suka, menimbulkan sikap kontradiksi yang menarik. Contohnya, orang-orang masih berpegang pada penyelesaian irasional untuk masalah yang sebenarnya boleh jadi rasional, sebagaimana kasus guna-guna pada mobil tadi. Tapi itu toh adalah pilihan orang, yang berdasar pada keyakinan masing-masing. Saya percaya, cepat atau lambat, cara berpikir orang Bali tentang dunia gaib dan kemodernan pasti akan berubah.

Masih ada banyak contoh tentang leak yang bisa kita ketahui. Bila Anda datang ke Bali, cobalah untuk tidak hanya mengunjungi daerah-daerah turistiknya, melainkan bergaul dengan masyarakatnya. Tetapi, saya sarankan, jangan langsung menjurus bertanya kepada orang setempat apakah di sana ada leak atau tidak, terutama bila Anda adalah tipe orang yang gampang kagetan kalau pintu kamar hotel Anda tiba-tiba diketuk seseorang di malam buta...

(Sumber foto: Arsip Tempo.co)

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB