x

Juru bicara Koalisi Merah Putih, Tantowi Yahya (ketiga kiri) dan sekretaris jenderal partai anggota koalisi memberikan keterangan seusai sidang putusan MK di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, 21 Agustus 2014. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Lucius Karus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

RUU Pilkada, Demi Apa dan Siapa?

Fraksi-fraksi yang mendorong pilkada tidak langsung bukan tidak tahu dengan konsep demokrasi dan partisipasi tersebut. Mereka memang tidak sedang sibuk berwacana tentang demokrasi dan hak warga negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ahok meradang, melawan sikap dan perilaku elit - yang demi kepentingan kelompok - rela menggadai legislasi. Ya, RUU Pilkada tengah menyodok debat panas antara kubu yang menginginkan pilkada langsung dan pilkada tidak langsung (via DPRD).

RUU Pilkada ini konon akan menjadi noktah terakhir dari kerja legislasi DPR periode 2009-2014. Pembahasan RUU tersebut sudah memakan waktu 2 tahun lamanya di parlemen. Berbeda dengan RUU lain yang jumlahnya bejibun, yang penuntasannya dibiarkan saja terbengkelai sembari berharap DPR baru nanti akan memungut kembali untuk dibahas. RUU Pilkada seolah-olah begitu mendesak dibandingkan RUU lainnya sehingga terkesan harus disahkan sebelum berakhirnya masa kerja DPR sekarang yang hanya tersisa sebulanan lagi.

Anehnya RUU Pilkada yang terkesan mendesak, urgen, genting, dan tak bisa ditunda itu, menyelibkan klausul ‘berbahaya’. Klausul yang dimaksud adalah soal sistem pilkada. Sembilan fraksi di parlemen terbelah dua antara kelompok yang menginginkan pilkada langsung dan pilkada tidak langsung atau melalui DPRD.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menarik untuk melihat pembelahan fraksi-fraksi parlemen yang nampaknya bergerombol karena mobilisasi koalisi pilpres ketimbang atas nama kesamaan prinsip, sikap dan cara berpikir terkait sistem pilkada yang tengah menjadi pembahasan. Pendukung sistem pilkada melalui DPRD adalah partai-partai yang pada pilpres lalu menjagokan Prabowo-Hatta sebagai Capres-cawapres. Kelompok partai-partai ini populer dengan sebutan Koalisi Merah Putih. Adapun partai-partai itu adalah Golkar, Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan Demokrat.  Sedangkan kelompok yang mempertahankan pilkada langsung dimotori oleh PDIP yang pada pilpres lalu bersatu mendukung pasangan Jokowi-JK bersama PKB, dan Hanura.

Dari pemetaan kubu partai-partai antara yang mendukung pilkada langsung dan tidak langsung di atas kelihatan bahwa ada keterkaitan antara perseteruan masa pilpres dengan perbedaan sikap terkait RUU Pilkada. Kelihatan jelas bahwa dukungan yang diperlihatkan partai-partai pembahas RUU Pilkada tersebut tidak murni karena adanya kerangka berpikir yang mendasar terkait dengan pilkada. Ini hanya semacam mobilisasi mempertahankan “gengsi” sekaligus adu kekuatan yang tak ada hubungannya sama sekali dengan kepentingan Pilkada itu sendiri. Apalagi jika melihat jauh ke bagian terdalam dari fungsi legislasi sebagai perangkat hukum yang dibuat DPR untuk menjamin kehidupan berbangsa yang lebih baik.

Begitulah kiranya panorama dunia politik kita saat ini. Partai politik memegang kendali utama untuk sesuatu yang harus menjadi sikap dan prinsip para kadernya. Dan sekedar tambahan, parpol yang kita sedang bicarakan ini sesungguhnya merupakan sebuah wadah organisasi yang operasionalnya bergantung mutlak pada satu-dua elitnya yang berkuasa. Suara parpol, adalah suara satu dua elit yang saat itu menjadi pengendali parpol tersebut.

Demikianlah kemudian kita bisa menelisik posisi fraksi-fraksi parlemen terkait RUU Pilkada. Argumentasi-argumentasi yang dilontarkan di ruang publik baik oleh legislator yang ikut membahas maupun politisi lain yang bersuara di media, semuanya hanya upaya menjelaskan atau lebih tepatnya merasionalisasi keinginan atau sikap elit partainya.

Jika elit berkehendak agar pilkada melalui DPRD, maka para kader harus mencari argumentasi yang sedapat mungkin kedengaran logis, walaupun jika ditelaah jauh akan ketahuan dangkalnya. Apa mau dikata, elit partai punya misi terselubung atau kepentingan tersembunyi. Mulai dari dendam politik hingga nafsu untuk menguasai Indonesia melalui tangan-tangan pemerintahan daerah.

Para kader membahasakan keinginan terpendam di atas dengan menyusun argumentasi bahwa pilkada melalui DPRD dipilih demi menghemat biaya, meredam praktek money politics, menghindari konflik horisontal, dan lain-lain. Alasan-alasan ini sumir dan terkesan menyederhanakan soal. Money politics, politik berbiaya mahal, hanya berbicara tentang alat atau sarana, bukan tentang tujuan pilkada. Pilkada langsung bertujuan untuk mengaktualisasikan partisipasi warga negara. Partisipasi itu diberikan karena rakyat merupakan pemilik sah bangsa Indonesia.

Fraksi-fraksi yang mendorong pilkada tidak langsung bukan tidak tahu dengan konsep demokrasi dan partisipasi tersebut. Mereka memang tidak sedang sibuk berwacana tentang demokrasi dan hak warga negara. Yang sedang diperjuangkan oleh politisi-politisi itu adalah bagaimana memanfaatkan peluang terakhir rejim sekarang untuk bisa terus bertahan sepanjang 5 tahun mendatang. Jika mungkin bukan hanya sekedar untuk tujuan survival semata, tetapi mengendalikan negara dengan penempatan pion-pion kunci di daerah. Dan RUU Pilkada memberikan ruang untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Ahok dan banyak kepala daerah pun meradang. Mereka menolak dengan tegas keinginan mengembalikan Pilkada ke DPRD. Bagi Ahok dan kawan-kawan, pilihan pilkada melalui DPRD merupakan langkah sesat yang akan membajak para pemimpin daerah dalam bayang-bayang tirani parpol.

Tak hanya bersuara. Ahok bahkan melayangkan surat pengunduran diri sebagai bukti ketegasan sikapnya menentang niat legislator Senayan yang dianggap merupakan langkah mundur pergerakan demokrasi di Indonesia.

Ahok merupakan inspirasi di tengah arus utama politik kita yang pragmatis saat ini. Berani melawan tirani parpol merupakan sikap yang menjanjikan perubahan pada pemimpin kita. Jika parpol ngotot memutuskan cara yang salah, kader tak harus terseret  dalam kesalahan serupa. Rakyat memerlukan pemimpin yang masih bisa bersikap di antara pragmatisme parpol yang sangat merisaukan saat ini.

Ikuti tulisan menarik Lucius Karus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB